JAKARTA – Rangkaian tahapan pemilihan presiden 2019 telah dimulai. Kini memasuki masa kampanye dan debat bagi kedua pasangan calon dalam meraih simpati pemilih.
Namun, di tengah hiruk pikuk pendukung kedua pasangan calon, baik di kehidupan sehari-hari maupun di sosial media, terdapat kelompok lain yang cenderung tidak mendukung salah satu pasangan calon atau mitra koalisinya. Kelompok ini muncul karena berbagai alasan.
Belakangan, kemunculan kelompok yang tidak mendukung alias golput (golongan putih) kepada salah satu pasangan calon presiden itu, dianggap sebagai sesuatu yang buruk atau tidak patut.
Padahal dalam kehidupan demokrasi, tidak memilih alias golput adalah juga hak, seperti halnya memilih; dan setiap orang memiliki kebebasan dalam menjalankan hak pilihnya tersebut.
“Kehadiran kelompok yang tak memihak kedua pasangan politisi itu seharusnya dibaca sebagai ekspresi protes atau penghukuman terhadap mekanisme penentuan capres-cawapres oleh partai politik yang masih didominasi pertimbangan politik praktis dan mengesampingkan nilai-nilai seperti integritas individu, ataupun rekam jejak yang bersih, anti-korupsi, dan berpihak pada hak asasi manusia,” tulis keterangan gabungan NGO yang bergerak di bidang Hukum Dan HAM yang diterima redaksi, sesaat lalu (Rabu, 23/1).
Gabungan NGO ini yakni ICJR, Kontras, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, PBHI, YLBHI.
Karena itu, gabungan NGO ini menilia posisi seseorang atau sekelompok orang yang memilih untuk tidak memilih sama sekali bukan pelanggaran hukum dan tak ada satu pun aturan hukum yang dilanggar.
“Sebab, Undang-Undang nomor 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak melarang seseorang menjadi golput,” tambah gabungan NGO ini.
Kendati demikian, pidana dalam pemilu pada dasarnya mengatur mengenai kemungkinan Golput, namun berdasarkan pasal 515 UU Pemilu, terdapat unsur-unsur pidana yang sudah diatur dengan jelas.
Menurut gabungan NGO ini, pasal 515 UU Pemilu memiliki unsur yang jelas yakni pertama, memperhatikan unsur “dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih,” dengan unsur ini maka yang dapat dipidana hanya orang yang menggerakkan orang lain untuk golput pada hari pemilihan dengan cara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya.
“Dengan demikian tanpa adanya janji atau memberikan sejumlah uang atau materi, tindakan sekedar menggerakkan orang untuk golput tidak dapat dipidana,”
Lalu Kedua, orang yang memilih golput atau mendeklarasikan dirinya golput tidak dapat dipidana.
“Masih sejalan dengan unsur sebelumnya. Seorang yang memilih golput tidak dapat dipidana,” kata gabungan NGO ini.
Atas dasar itu, mengambil sikap golput di dalam pemilihan presiden 2019 adalah hak politik warga negara sepenuhnya dan bukan pelanggaran hukum. Demikian juga dengan menyebarluaskan gagasan atau ekspresi tentang pilihan politik ini.
“Apabila nanti terjadi penyelidikan untuk kasus seperti ini, maka penting untuk memastikan unsur-unsur pidana dalam pasal 515 UU Pemilu harus diimplementasikan dengan ketat. Penggunaan pasal ini bagi mereka yang Golput atau melakukannya ekspresi politiknya dengan berkampanye Golput adalah pelanggarans serius bagi hak konstitusi negara,” demikian keterangan gabungan NGO ini. (*/RMOL)