JAKARTA – Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menyebut Front Pembela Islam (FPI) bukan jenis organisasi terlarang seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini merujuk pada aturan perundang-undangan dan sekaligus pernyataan pemerintah saat menyatakan membubarkan FPI.
Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh enam kementerian dan lembaga itu menyebut lantaran tak mengurus izin ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Kata Zoelva, melalui cuitan di akun twitter resminya @hamdanzoelva, pemerintah menyatakan FPI bubar secara de jure karena tidak terdaftar di pemerintahan.
“Membaca dengan seksama keputusan pemerintah mengenai FPI, pada intinya menyatakan ormas FPI secara de jure bubar karena sudah tidak terdaftar. Melarang untuk melakukan kegiatan dengan menggunakan simbol atau atribut FPI, dan pemerintah akan menghentikan jika FPI melakukan kegiatan,” kata Zoelva dikutip dari Twitternya, Senin (4/1).
Namun, kata dia, merujuk pada pembubaran itu FPI bukanlah ormas terlarang. Dia mencontohkan ormas terlarang yang secara nyata diatur dalam undang-undang adalah PKI.
Ia menyatakan bahwa PKI jelas terlarang sesuai Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 Pasal 107a KUHPidana yang menyebutkan bahwa menyebarluaskan dan mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme, adalah merupakan tindak pidana yang dapat dipidana.
Beda dengan Partai Komunis Indonesia yang merupakan partai terlarang dan menurut UU 27/1999 (Pasal 107a KUHPidana) menyebarluaskan dan mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme, adalah merupakan tindak pidana yang dapat dipidana. – Hamdan Zoelva (@hamdanzoelva) January 3, 2021
Sementara FPI pembubarannya bukan karena organisasi terlarang, namun karena secara hukum tak mengurus berkas-berkas ke Kemenkumham.
Oleh sebab itu, kata Zoelva, tak ada ketentuan pidana yang bisa menjerat siapa saja warga yang mengedarkan konten FPI.
“Tidak ada ketentuan pidana yang melarang menyebarkan konten FPI karenanya siapa pun yang mengedarkan konten FPI tidak dapat dipidana. Sekali lagi objek larangan adalah kegiatan yang menggunakan simbol atau atribut FPI oleh FPI,” katanya.
Dia pun membeberkan perihal putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/82/PUU-XI/2013 yang menjelaskan soal tiga jenis ormas yang diakui negara yakni ormas yang memiliki badan hukum, Ormas Terdaftar, dan terakhir Ormas Tidak terdaftar.
“Ormas tidak terdaftar tidak mendapat pelayanan pemerintah dalam segala kegiatannya, sedangkan ormas terdaftar mendapat pelayanan negara,” katanya.
Meski demikian, kata dia, UU pun sebenarnya tidak mewajibkan suatu ormas harus terdaftar atau harus berbadan hukum sebab hak berkumpul dan berserikat dilindungi konstitusi.
“Negara hanya dapat melarang kegiatan ormas jika kegiatannya mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau melanggar nilai-nilai agama dan moral,” kata dia.
Di sisi lain, negara atau pemerintah memang bisa membatalkan badan hukum suatu ormas atau mencabut pendaftaran suatu ormas sehingga tidak berhak mendapat pelayanan dari negara jika melanggar larangan-larangan yang ditentukan UU.
“Negara dapat melarang suatu organisasi jika organisasi itu terbukti merupakan organisasi teroris atau berafiliasi dengan organisasi teroris, atau ternyata organisasi itu adalah organisasi komunis atau organisasi kejahatan,” katanya.
Pemerintah secara resmi mengumumkan FPI sebagai organisasi terlarang melalui SKB enam pejabat tinggi kementerian/ lembaga pada 30 Desember lalu. Pemerintah kini melarang seluruh kegiatan dan penggunaan simbol FPI di wilayah Indonesia.
Diketahui, setelah dibubarkan oleh pemerintah, FPI mengubah nama menjadi Front Persatuan Islam. Terdapat 19 deklarator Front Persatuan Islam yang menentang pembubaran FPI.
Deklarator Front Persatuan Islam antara lain mantan Ketua Umum FPI, Ahmad Sobri Lubis. Kemudian Munarman yang pernah menjadi Sekretaris Umum FPI. (*/CNN)