Islam dan Pemberantasan Korupsi

JAKARTA – Pada zaman Nabi Musa AS, pernah suatu ketika bani Israil memenangi perang. Sejumlah orang kemudian menyembunyikan sebagian ganimah ke dalam ikat pinggangnya karena takut bagian itu tidak diberikan kepadanya.

Nabi Musa AS kemudian menyerukan kepada pengikutnya tentang barang-barang ganimah. Seketika barangbarang yang disembunyikan oknum yang curang tersebut berloncatan dari ikat pinggang.

Untuk diketahui, syariat yang berlaku pada beliau AS dan bani Israil adalah kaum beriman tidak boleh mengonsumsi ganimah sehingga seluruh harta itu harus dibakar habis dengan mengharapkan keridhaan Allah SWT.

Hal itu berbeda dengan syariat yang berlaku untuk Rasulullah SAW dan umat nya. Ganimah boleh dikonsumsi setelah harta itu dikumpulkan kepada dan dibagi-bagikan oleh Nabi SAW sebagai panglima perang dan kepala negara.

Buya Hamka mengutip sebuah riwayat bahwa asbabun nuzul ayat surah Ali Imran di atas berkenaan dengan suatu kasus pasca-Perang Uhud. Para pemanah yang meninggalkan pos-posnya di bukit menyangka tidak akan kebagian ganimah sehingga mereka lalai dari tugasnya.

Mengetahui hal tersebut, Nabi SAW bersabda kepada mereka, Apakah kamu sangka kami akan berbuat curang dan tidak akan membaginya kepada kamu? Maka turunlah firman Allah SWT tersebut.

Tiga ayat lainnya yang relevan untuk membahas korupsi adalah surah al-Maidah ayat 42, 62, dan 63. Ketiganya menyebut persoalan makan yang haram (akl as-suht). Bahkan, dalam dua ayat yang ter sebut paling akhir, Allah SWT menegaskan amat buruk apa yang mereka telah ker jakan.

Subjek mereka adalah dalam ayat ke-62 kebanyakan dari orang-orang Yahudi (yang) bersegera dalam berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram, sedangkan dalam ayat berikutnya adalah orang-orang alim atau pendeta-pendeta dari kalangan orang-orang Yahudi yang tidak melarang mereka dalam mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram.

Syamsul Anwar mengutip definisi dari Ibn Mas’ud (wafat 652) tentang as-suht sebagai menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dan penguasa untuk suatu kepentingan.

Sementara itu, Khalifah Umar bin Khaththab dikatakannya juga mengemukakan pengertian yang serupa, yakni as-suht adalah seseorang yang berpengaruh di lingkungan sumber kekuasaan menjadi perantara dengan menerima imbalan bagi orang lain yang berkepentingan sehingga penguasa tadi meloloskan keperluan orang itu.

Dengan perkataan lain, dalam as-suht selalu ada penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan atau orang lain dengan menerima imbalan atas perbuatannya. Gratifikasi diharamkan dalam Islam.

Syamsul Anwar menjelaskan sebuah hadis Nabi SAW terkait hal itu, yakni Dari Abu Humaid as-Sa’idi (diriwayatkan) bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Pemberian hadiah kepada para pejabat adalah korupsi (ghulul).’

Hadiah itu bersifat gratifikasi ka rena berkaitan dengan jabatan yang dipegang si penerimanya. Tidak ada masalah bila hadiah diberikan oleh seseorang atas dasar apresiasi kepada orang lain yang bukan pejabat. (*/REPUBLIKA.CO.ID)

islamPemberantasan Korupsi
Comments (0)
Add Comment