Isu Poligami Jaksa Agung, Ini Aturan PNS soal Beristri Lebih dari Satu

JAKARTA – Isu poligami di lingkungan instansi pemerintahan kembali mencuat.
Baru-baru ini, seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kejaksaan Agung dilaporkan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) karena diduga melanggar izin perkawinan PNS.

Laporan itu dibuat oleh Direktur Eksekutif Jaga Adhyaksa, David Sitorus, menyusul pemberitaan media massa yang menyebutkan bahwa Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin telah berpoligami dengan pejabat satu instansi.

Berdasarkan penelusuran David dari pemberitaan yang beredar, pejabat yang menjadi istri kedua Burhanuddin itu berinisial MA dan bekerja di Kejaksaan Agung.

“Laporannya bukan langsung dalam arti Jaksa Agungnya. Ini laporan terkait dugaan yang bertentangan dengan peraturan pemerintah,” kata David, saat dihubungi, Kamis (4/11/2021).

“Kita kan melihat media melakukan investigasi, kita lapor di KASN supaya dicek oleh KASN yang benar yang mana, diambil tindakan sesuai dengan hukum dan sesuai dengan sebenarnya,” tegasnya.

Berkaca dari kasus ini, bagaimana sebenarnya aturan perkawinan atau poligami di lingkungan pemerintahan?

Praktik poligami di instansi pemerintah diatur sangat ketat. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi PNS yang hendak berpoligami.

Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. PP ini merupakan revisi dari regulasi sebelumnya, yakni PP Nomor 10 Tahun 1983.

Dalam beleid itu disebutkan bahwa PNS pria yang hendak berpoligami harus mendapat izin lebih dahulu.

“Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat,” demikian bunyi Pasal 4 Ayat (1) PP tersebut.

Permintaan izin poligami tersebut diajukan secara tertulis. Surat harus memuat alasan lengkap yang mendasari PNS pria hendak berpoligami.

Sebagaimana bunyi aturan yang lama atau PP Nomor 10 Tahun 1983, yang dimaksud dengan pejabat bisa berupa menteri, jaksa agung, pimpinan lembaga pemerintah non departemen, pimpinan kesekretariatan lembaga tertinggi/tinggi negara, gubernur, pimpinan bank milik negara, pimpinan BUMN, pimpinan bank milik daerah, dan pimpinan badan usaha milik daerah.

Nantinya, setiap pejabat yang menerima permintaan izin dari PNS yang hendak berpoligami harus memberikan pertimbangan selambat-lambatnya 3 bulan.

“Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud,” bunyi Pasal 5 Ayat (2) PP Nomor 45 Tahun 1990.

Pada PP yang lama juga diatur tentang syarat yang harus dipenuhi PNS jika hendak berpoligami.

Pasal 10 PP Nomor 10 Tahun 1983 menyebutkan bahwa izin untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh pejabat apabila PNS memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif.

Syarat alternatif yang dimaksud yakni:

a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

atau

c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Sementara, yang dimaksud syarat kumulatif yakni:

a. ada persetujuan tertulis dari istri;

b. PNS pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan

c. ada jaminan tertulis dari PNS yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

Adapun izin untuk berpoligami tidak diberikan oleh pejabat apabila:

a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut PNS yang bersangkutan;

b. tidak memenuhi syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif;

c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau

e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

PP tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS juga mengatur bahwa PNS wanita tidak diizinkan menjadi istri kedua/ketiga/keempat.

“Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat,” bunyi Pasal 4 Ayat (2) PP Nomor 45 Tahun 2021. (*/Kompas)

Sumber: Kompas.com

Comments (0)
Add Comment