Kuasa, Gaji dan Pancasila

Oleh: Ikhsan Kurnia
Penulis dan Pemerhati Politik Kebangsaan

Peribahasa Inggris mengatakan “might is right”, yang kuat adalah yang benar. Saat kekuatan dilekatkan pada otoritas struktur, maka kebenaran berpotensi termonopoli. Dengan demikian, kerja keras Nietzsche dan Einstein akan sia-sia. Peradaban kritis hanya menjadi ornamen tanpa manifestasi. Dampaknya bisa sangat serius: malapetaka bersosial, berbudaya, dan berbangsa.

Kuasa struktur yang sudah pasti arogan itu tidak sepatutnya dituduhkan secara agresif kepada civil society. Dalam sejarah kedzaliman (history of despotism), bahkan mungkin sejarah kejahatan (history of evil), dosa terbesarnya tidak pernah dibebankan kepada kaum lain, selain pada penguasa (kepala kaum, atau pemerintah). Namun, penguasa selalu memiliki argumen (dalih rasional maupun irrasional) untuk menyalahkan pihak lain, yang sejatinya lemah.

Kuasa strutur, dalam sejarahnya, tidak hanya menggunakan instrumen hard power, namun juga soft power, include hegemoni dan konspirasi. Tidak jarang pula, mereka memakai jasa ”knowledge engineer” yang mampu merekayasa rasionalitas dan objektivitas. Politik nalar semacam itu dimainkan demi memperoleh pengikut setia (loyal followers), bahkan memunculkan kelompok yang dalam terminologi marketing disebut ”brand advocator”, atau dalam bahasa zaman now dinamakan ”buzzer”, yang dengan sukarela membela penguasa tanpa peduli benar-salah.

Intelektual pendukung kuasa struktur sejatinya berada dalam posisi yang memaksanya menjadi ”setengah intelek” (half intellectual). Pertama, di satu sisi mereka dapat berbangga diri mengerahkan segenap pengetahuannya untuk mengkreasi satu narasi, di sisi lain mereka meng-cover (mengunci mati) diri dari outsider narration (narasi di luar diri dan kelompoknya) yang boleh jadi mengandung nilai kebenaran.

Kedua, mereka terbelenggu pada inkonsistensi, dan sejatinya, mengkerdilkan diri sendiri. Sebagai contoh, kita seringkali mendengar narasi ”jangan terjebak pada logika oposisi-biner”, ”jangan memonopoli kebenaran”, ”hargai the other (liyan, yang lain)”. Di waktu yang sama, justru tuan merekalah (kuasa struktur) yang paling sering inkonsisten dalam melakoni ”kata-kata mutiara” tersebut. Dan yang (sudah) tidak aneh (lagi), tidak ada satupun narasi yang jujur untuk mengkritik tuan-nya saat terang-terangan berlaku despotik.

Ketiga, hilangnya keseimbangan dalam berfikir, karena mereka terperangkap pada satu narasi yang seolah (harus) benar dan dibenarkan. Saat ada satu kelompok yang dinilai menghina penguasa, kita akan dengan sangat mudah menemukan tulisan-tulisan yang mengutuknya. Namun, saat yang melakukan penghinaan berasal dari ”sesama kaumnya”, seketika itu spontan terjadi kematian intelektualitas.

Tentang Gaji

Berita terpanas pasca isu terorisme adalah mengenai gaji pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Gaji dewan pengawasnya di atas 100 juta rupiah. Bahkan, gaji ketua dewan pengawasnya nyaris dua kali lipatnya gaji Presiden.

Spontan saya marah. Namun, saya mencoba berupaya menahan diri. Apalagi ini bulan Ramadhan. Saya mencoba membuka website BPIP dan mengunjungi akun twitternya, untuk mengetahui apa sesungguhnya peran dan pekerjaan mereka. Apakah lebih penting dari tugas seorang kepala negara dan para menteri?

Sebelum berbicara nominal, saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan filosofis: Kira-kira apa landasan dan pertimbangan seseorang (yang bekerja) mendapatkan haknya (gaji)? Apakah karena beban kerjanya, keahliannya (expertise), ruang lingkupnya (scope), atau karena kepatutannya? Untuk menjawab hal ini, saya mencoba memberikan pendapat subjektif.

Jika orang digaji berdasarkan pada beban kerja, keahlian atau ruang lingkupnya (atau ukuran objektif lainnya), maka ukuran tersebut seharusnya memiliki eksplanasi ilmiah dan rasional, kemudian secara deskriptif harus dapat dijelaskan kepada publik. Perlu diingat bahwa BPIP adalah termasuk badan publik yang memperoleh sumber pendanaan dari APBN.

Mengingat Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 mendefinisikan badan publik sebagai lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Publik harus mengetahui bagaimana rinciannya.

Namun, kalaupun ukuran tersebut yang digunakan, agaknya tetap tidak dapat mengungguli beban kerja, keahlian dan ruang lingkup dari kerja Presiden dan para Menterinya. Namun, faktanya gaji para Direksi BUMN banyak yang jauh lebih tinggi dari Presiden dan para Menterinya. Mengapa gaji BPIP dipersoalkan?

Disinilah titik perbedaannya. Menurut saya, jika kita dapat menerima gaji Direksi BUMN yang lebih tinggi dari gaji Presiden, itu berarti kita menerima bahwa landasan dan pertimbangan dalam pemberian gaji memang berbeda. Apa pembedanya? Pembedanya adalah unsur etika dan kepatutan.

Di negara manapun, logika yang diyakini bersama oleh para pejabat negara (dan juga dapat dinalar oleh masyarakatnya) adalah bahwa jabatan politik-kenegaraan-kebangsaan adalah lebih berorientasi pada pengabdian, bukan profesionalitas. Logika kebangsaan dan sosial tidak dapat disamakan dengan logika ekonomi. Barangkali ini eksplanasi yang paling masuk akal.

Lalu dimana posisi BPIP, apakah penggajiannya lebih berorientasi kebangsaan-pengabdian, ataukah ekonomi-profesionalisme?

Jika dua logika ini yang harus dipilih, maka landasan etika-kepatutan yang seharusnya lebih dikedepankan dalam pemberian gaji. Lagipula, maaf beribu maaf, sejujurnya saya tidak menemukan urgensi peran dari BPIP dalam konteks membangun keadaban ber-pancasila.

BPIP: Jubir Pancasila?

Nilai-nilai Pancasila sejatinya sudah lama dipelajari, diinternalisasi bahkan diamalkan dalam praxis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Persoalan di kemudian hari muncul justru karena adanya monopoli kebenaran atas tafsir Pancasila dari kuasa struktur. Mereka merekrut para intelektual yang diklaim paling capable dalam mendefinisikan pancasila.

Di waktu yang sama mereka memposisikan “the others” (liyan) tidak memiliki kompetensi dalam menafsirkannya. Alhasil, BPIP justru berisi sekumpulan orang yang memiliki pemahaman monolitik (tunggal), bahkan cenderung tertutup dan tidak berkenan mendengar perspektif alternatif.

Jika dalam agama yang dipandang ultimate saja terdapat khasanah diskursus fiqih yang memberi ruang terhadap perbedaan pemahaman, mengapa ruang diskursif dalam menginterpretasikan pancasila digembok mati, bahkan direpresi dan dituduh makar?

Berkaca dari perbedaan pemahaman khilafiyah dalam tradisi fiqih, agaknya mayoritas umat Islam dapat mentoleransi perbedaan-perbedaan yang ada. Bahkan mereka sudah sangat dewasa dan mengedepankan ukhuwah Islamiyah. Kecuali memang ada anomali, yakni mereka yang berfaham khawarij. Merekalah orang-orang yang ekstrem dalam memonopoli kebenaran tanpa mau mendengar perspektif “the others”. Namun, yang menarik, mentalitas dan karakter khawarij tersebut justru semakin tidak dirasakan di lingkungan civil society, melainkan sangat kuat dirasakan di lingkaran istana putih di negara yang semakin hari semakin lucu ini. (*/Kanigoro.com)

BPIPGaji
Comments (0)
Add Comment