Oleh: Ikhsan Kurnia
Kata “liberal” memang sangat seksi. Konon, kata tersebut hanya konsumsi orang-orang pinter, orang yang suka baca buku. Dulu, waktu saya masih sangat muda belia, saya merasa curious dengan istilah tersebut. Waktu duduk di bangku Sekolah Dasar hingga kelas 1 SMP, saya termasuk anak yang tidak gemar membaca buku. Saya lahir dan besar di kota Tegal, dimana atmosfer intelektual di kota itu cenderung kurang mendukung seorang anak remaja seperti saya untuk memiliki kemampuan berwacana yang tinggi. Barangkali lain ceritanya jika saya di Jogja, Bandung, atau Jakarta.
Hingga suatu hari, tepatnya saat saya kelas 2 SMP, saya mengikuti sebuah kajian motivasi. Saat itu, sang pembicara berkata bahwa di dunia ini ada sepuluh ribu buku terbit tiap harinya. Saya lantas ditanya, berapa buku yang sudah saya baca sejak saya bisa membaca hingga saya berusia 14 tahun? Jika kita hitung dengan seksama, berapa milyar atau trilyun buku yang pernah terbit di dunia ini yang belum kita baca?
Sepulangnya dari acara tersebut, entah kenapa, saya jadi keranjingan membaca buku. Saya jadi sangat nerd terhadap buku. Sejak kelas 2 SMP hingga SMA, barangkali saya nyaris membaca 1 judul buku per 2 hari. Di usia saya yang masih sangat belia itu, saya kemudian berkenalan dengan berbagai jenis pemikiran intelektual. Hingga saya pun bersentuhan dengan buku-buku yang dinilai “liberal”. Saya sudah membaca buku Madilog karya Tan Malaka dan buku-buku “liberal” Nurcholis Madjid sejak SMP. Di samping itu saya juga bersentuhan dengan buku-buku filsafat barat dan tasawuf. Saya sudah mengenal siapa Socrates, Plato, Aristoteles, Rene Descartes, Karl Marx, Nietzsche dan filsuf-filsuf barat lainnya. Waktu SMA saya belum terlalu banyak bersentuhan dengan filsafat Postmodernism dan tokoh-tokohnya seperti Derrida, Lacan, Foucault dan teman-temannya. Namun saya sudah tahu secara sepintas. Maklum saja, tahun 2000an di Tegal sepertinya belum banyak buku-buku Posmo.
Selain itu, saat SMA saya sudah familiar dengan nama-nama seperti Rumi, Al Hallaj, Al Ghazali, Suhrawardi, Mulla Sadra, Ibnu Rusyd, Ali Syariati, Murtadha Mutahhari, Muhammad Iqbal. Saya juga membaca buku-buku Hasan Al Banna, Al Maududi, Rasyid Ridha, Mustafa Mansyur, Yusuf Qordhawi, Said Hawa, Ibnu Taimiyah, Albani hingga Al Faruqi, Ziauddin Sardar dan Naquib Al Attas. Para cendekiawan muslim di tanah air juga tidak kalah menarik: Harun Nasution, Cak Nur, Kuntowijoyo, Amin Rais, HM Rasyidi, HAMKA, Endang Saefuddin Anshari, Jalaluddin Rakhmat, Quraisy Shihab, Komarudin Hidayat, Azzumardy Azra dan yang lainnya.
Sejak kelas 2 SMP hingga SMA di kota Tegal itulah, aktivitas saya sehari-hari adalah membaca buku. Waktu itu belum ada social media semacam facebook. Sehingga yang saya lakukan adalah menjadi intellectual hunter. Saya datangi orang-orang yang pernah mengenyam bangku kuliah, para mantan aktivis organisasi yang memiliki wacana intelektual cukup baik, dan siapapun orang yang bisa diajak untuk berdiskusi. Saya tidak hanya mengajak berdiskusi tentang tema-tema umum, namun juga tema-tema yang sangat mendasar: tentang ushuluddin, tawasuf, tentang Tuhan, takdir, Qur’an, Yahudi, Nashrani, hingga sampai juga ke diskursus liberalisme, sosialisme, kapitalisme, pluralisme, sekularisme, freemasonry, zionisme dan semacamnya. Saya kira, waktu itu, pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari kepala saya cukup wild dan berani. Namun, waktu itu belum ada social media, sehingga apa yang saya diskusikan dengan beberapa orang tidak tumpah ke ruang publik. Namun, untungnya pemikiran saya yang “liar” itu hanya sebatas wacana di tingkat individu. Alhamdulillah saya tetap sholat dan menjalankan perintah agama lainnya.
Saya tidak tahu, bagaimana seandainya waktu itu sudah ada facebook. Barangkali apa yang dirisaukan oleh fikiran saya akan tumpah tak terbendung. Untungnya, meskipun merasa masih haus, gejolak pemikiran saya masih cukup dapat terakomodir melalui diskusi dengan orang-orang tertentu. Untungnya lagi, bacaan saya cukup seimbang. Saya tidak hanya bergelimang buku-buku “liberal”, namun juga buku-buku “konservatif”. Sebagai anak remaja yang masih puber, tentu keliaran intelektual sangat susah terbendung. Sehingga di saat saya galau, saya tidak tahan untuk berkunjung ke orang-orang tertentu untuk saya ajak berdiskusi. Sehingga, silaturahmi kepada orang-orang tersebut sudah menjadi rutinitas harian. Bagaimana dengan sekolah formal saya? Waktu itu, saya tidak begitu peduli dengan sekolah formal. Meskipun karena pertolongan Allah dan mungkin saja faktor “luck”, studi formal saya tidak hancur-hancur amat. Saya masih bisa masuk UGM, dan kini saya sedang melanjutkan S2 saya di ITB. Tidak terlalu buruk untuk orang yang di masa mudanya lebih mengutamakan bacaan “umum” dibandingkan sekolah formal.
Saya bisa memahami jika ada anak remaja yang menjadi “liberal” karena bahan bacaan yang dilahapnya. Apalagi jika anak tersebut tidak memiliki guru atau pembimbing, dan bahan bacaannya tidak berimbang. Namun yakinlah, bahwa anak usia belasan tahun itu sesungguhnya masih sangat labil dan masih mentah dari sisi intelektual. Masih banyak waktu untuk mengubah cara berfikirnya.
Secara pribadi, saya masih suka meluangkan waktu untuk ngobrol dengan anak-anak remaja, usia SMP dan SMA. Secara umum, saya merasa sangat amat prihatin. Anak-anak remaja yang saya temui rata-rata tidak memiliki tradisi membaca yang baik dan intens. Apalagi tradisi menulis? Fenomena ini juga terjadi pada anak-anak remaja yang berlatar belakang aktivis Islam. Seharusnya, sebagai seorang organisatoris muda, tingkat intelektual dan wacana mereka berada di atas rata-rata (above the average). Rupanya tidak.
Sehingga, jika ada anak remaja yang sudah mampu menulis tema-tema “berat”, dari sisi litarasi itu sudah lebih baik daripada anak-anak remaja yang hanya pintar di sekolah namun awam di arena luar sekolah. Saya pribadi dapat memahami anak-anak remaja yang lagi haus-hausnya membaca buku dan gemar menulis konten yang cukup berisi. Yang dibutuhkan oleh anak-anak seperti itu adalah: bacaan yang berimbang, partner diskusi yang sepadan dan pembimbing yang memahami proses berfikir.
Saya pribadi pernah melewati fase-fase itu, sehingga cukup memahami bagaimana proses petualangan intelektual itu berjalan. Saat lulus dari SMA, saya kuliah di FISIPOL UGM, aktif di beberapa organisasi mahasiswa, pergerakan Islam dan mengikuti training-training wacana intelektual. Saya mengenal cukup banyak mahasiswa dan orang-orang yang jauh lebih cerdas, jauh lebih liar, jauh lebih liberal, jauh lebih sekuler, bahkan sebagian dari mereka ada yang agnostik dan atheis. Namun bukan itu persoalannya. Persoalannya adalah, kita sendiri mau menjadi apa dan bagaimana?
*Ikhsan Kurnia
Penulis, Pebisnis, Aktivis, Mahasiswa Pascasarjana MBA ITB.
Sumber: kanigoro.com