Menyantuni dengan Rendah Hati

Oleh: Kang Juki*)

Salah satu kegiatan yang banyak dilaksanakan selama bulan Ramadhan adalah pemberian santunan kepada anak-anak yatim piatu dan kaum dhuafa. Baik dilakukan oleh perorangan maupun komunitas. Sebagai satu bentuk kepedulian kepada mereka yang kurang beruntung kegiatan ini bagus, karena bisa membantu meringankan beban mereka untuk beberapa hari ke depan. Dalam ajaran Islam mereka yang tidak mempedulikan kelompok tersebut bahkan dinilai sebagai pendusta agama, sebagaimana ditegaskan Al Qur’an, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” (Q.S. Al-Ma’un: 1-3).

Meski begitu, sebagai sebuah kegiatan rutin tahunan, evaluasi perlu dilakukan. Dari tahun ke tahun jumlah penerimanya berkurang, tetap atau bertambah. Jika berkurang, perlu diteliti lebih lanjut penyebabnya. Apa mereka yang pada tahun sebelumnya menerima dan sekarang tidak, karena kehidupannya sudah lebih baik, pindah domisili atau dana untuk santunan berkurang, sehingga jumlah penerimanya juga dikurangi. Kalau penerimanya berkurang karena kehidupannya menjadi lebih baik, maka berarti perkembangan ekonomi daerah tersebut bagus dan merata. Namun bila penerima berkurang karena sebagian sudah berpindah domisili, atau sumber dana santunan menyusut, bisa menjadi indikasi perekonomian di daerah sedang lesu, atau perkembangannya tidak merata. Orang miskin tak mendapatkan peluang untuk bisa melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya.

Demikian juga apabila jumlah penerima santunan tetap atau malah bertambah. Jumlah anak yatim piatu bertambah, berarti banyak orang yang mati dalam usia relatif muda, meninggalkan anak-anaknya yang belum dewasa. Kematian dalam usia muda, bisa karena penyakit atau kecelakaan. Hal ini mengindikasikan tata kehidupan masyarakat yang belum disiplin dan teratur. Sehingga wabah penyakit mudah terjangkit atau peristiwa kecelakaan yang merenggut nyawa gampang terjadi.

Sebagai makhluk yang mengemban tugas menjadi khalifatullah fil ardh (QS. Al-Baqarah 30), maka manusia bertanggung jawab dalam mengelola sistem yang berlaku dalam kehidupan di muka bumi ini. Sehingga ketika banyak terjadi peristiwa yang mencelakakan sesama manusia, sebagai akibat tata kehidupan yang kurang baik, merupakan kegagalan manusia mengemban amanah kekhalifahan tersebut. Salah satu bentuk pertanggungjawabannya adalah membantu mereka yang kehidupannya masih jauh dari cukup. Karena itu seharusnya kegiatan pemberian santunan kepada yatim piatu dan dhu’afa dilaksanakan dengan penuh kerendahan hati. Semakin banyak yang diberi santunan, semakin prihatin bukan malah bertambah bangga.

Kita bisa bercermin kepada tindakan Khalifah Umar bin Khaththab r.a. ketika blusukan tengah malam bersama salah seorang sahabatnya, Aslam, menemukan seorang janda tua dan anaknya yang tengah kelaparan. Dengan serta merta Khalifah Umar mengambil bahan makanan di baitul mal dan mengangkat sendiri ke rumah janda tua tersebut. Tak cukup sampai di situ, Khalifah Umar juga langsung memasak dan menyiapkan hidangan untuk janda tua bersama anaknya yang kelaparan.

Sahabatnya Aslam yang hendak menggantikan memanggul bahan makanan, ditolak Khalifah Umar. “Aslam, jangan kau jerumuskan aku ke dalam neraka. Kau bisa menggantikanku mengangkat karung gandum ini, tetapi apakah kau mau memikul beban di pundakku ini kelak di Hari Pembalasan?” jawab Khalifah Umar tegas.

Langkah Khalifah Umar merupakan respon segera atas ucapan janda tua yang malam itu ditemuinya sedang memasak batu dan mengeluhkan kepemimpinannya. “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku yang sedang kelaparan. Semua ini adalah dosa Khalifah Umar bin Khattab. Dia tidak mau memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sejak pagi aku dan anakku belum makan. Makanya kusuruh anakku berpuasa dan berharap ada rezeki ketika berbuka. Tapi, hingga saat ini pun rezeki yang kuharap belum juga datang. Kumasak batu ini untuk membohongi anakku sampai dia tertidur. Sungguh tak pantas jika Umar menjadi pemimpin. Dia telah menelantarkan kami.”

Berbeda dengan Khalifah Umar yang segera memberi respon positif, sahabatnya Aslam sempat hendak menegur si janda tua karena keterusterangan ucapannya itu, tapi berhasil dicegah Khalifah Umar. Begitulah yang kadang terjadi, ada penguasa yang berhati lembut, orang sekelilingnya malah bisa bertindak lepas kontrol dan menutupi kelembutan hati penguasanya. Bagaimana pula kalau penguasanya tak memiliki kelembutan hati? Orang sekelilingnya lebih mungkin berlaku semena-mena.

Kembali kepada masalah pemberian santunan kepada yatim piatu dan dhuafa. Para pemberi santunan mesti berkaca pada tindakan Khalifah Umar tersebut. Jangan sampai terdengar lagi, penerima santunan diharuskan antri sampai ada yang pingsan. Perlu menjadi bahan renungan, bahwa banyaknya orang miskin yang disantuni merupakan indikasi dari kegagalan penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Berkuasanya orang yang tidak bisa menjalankan roda pemerintahan dengan baik merupakan kegagalan masyarakat secara kolektif yang tak mampu memilih pemimpin dengan tepat.

Pada akhirnya, banyaknya anak yatim piatu dan kaum dhuafa merupakan kegagalan semua pihak. Barangkali karena lebih banyak orang yang tidak mau berbagi ilmunya, sehingga keberhasilannya tak pernah ditularkan kepada kerabat dan orang-orang di sekitarnya. Atau karena berjalannya sistem yang tidak adil di tengah masyarakat, tanpa ada yang secara serius berusaha mengubahnya, malah mungkin menikmatinya karena bisa ikut mendapatkan keuntungan dari ketidakadilan sistem yang berlaku tersebut.

Dengan sejumlah latar belakang tersebut, mari kita ubah cara pandang terhadap kegiatan santunan anak yatim dan dhuafa, khususnya di bulan Ramadhan ini. Anak-anak yatim piatu dan kaum dhuafa bukanlah asesoris untuk melegitimasi kedermawanan seseorang atau kepedulian sebuah komunitas. Melainkan pengingat belum sempurnanya kita menjalankan amanah kekhalifahan.

Jangan pula beranggapan dalam kegiatan pemberian santunan hanya terjadi hubungan searah pemberi-penerima, tapi sesungguhnya yang terjadi adalah proses saling memberi dan menerima. Pemberi santunan sejatinya juga menerima pelajaran dari penerima santunan. Pelajaran tentang sabar dalam penderitaan, tentang syukur meski masih hidup penuh kekurangan dan lain sebagainya. Sudahkan para pemberi santunan, baik yang melakukan secara pribadi maupun bersama komunitas merasakan hal seperti ini?

Proses saling memberi dan menerima bisa terjadi, manakala terjadi interaksi yang saling menghargai, bukan memposisikan penerima sebagai orang yang memerlukan bantuan sampai diharuskan antri menunggu giliran diberi. Apalagi melakukannya seperti Khalifah Umar, membawa sendiri apa yang hendak diberikan ke rumah penerima. Sehingga benar-benar tahu kondisi sehari-hari penerima santunan. Dengan proses seperti itu, maraknya kegiatan pemberian santunan tak akan diikuti orang yang berpura-pura miskin lalu mendatangi berbagai tempat pemberian santunan. Ketika masyarakat membangun relasi secara jujur, maka orang yang hanya berpura-pura dengan cepat akan terbuka kedoknya.

Mudah-mudahan hal ini bisa memberikan pencerahan bagi yang setiap tahunnya melaksanakan pemberian santunan anak yatim dan dhu’afa, baik secara pribadi maupun bersama komunitas. Sementara bagi yang belum, jadi tergerak untuk ikut berpartisi dalam memberikan perhatian kepada anak yatim dan dhu’afa, apa pun bentuk perhatiannya, baik secara individu maupun bersama komunitasnya. Aamiiin.

*) Penulis novel “Pil Anti Bohong” dan “Silang Selimpat”.

 

Sumber: kanigoro.com

Bulan RamadhanSantunan
Comments (0)
Add Comment