JAKARTA — Sertifikat halal memang belum menjadi standar yang perlu dipenuhi setiap produsen, terutama bidang farmasi. Namun, sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam, sertifikasi halal tentu dapat menjadi sebuah kebutuhan demi terjaminnya keamanan umat muslim dalam mengonsumsi suatu makanan atau obat-obatan.
Meski begitu, sejatinya pemerintah telah mencanangkan sertifikasi halal ini sejak 2014 silam dengan merumuskan undang undang jaminan produk halal (UU JPH). Selain itu, pemerintah juga tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah Jaminan Produk Halal (RPP JPH), dengan mengerahkan pihak dari MUI, kementrian agama, dan kementrian kesehatan.
Direktur Lppom MUI Lukmanul Hakim mengakui, hingga kini, sertfikat halal produk farmasi memang masih sulit ditemui, meskipun sudah ada peningkatan dibandingkan sebelumnya. Minimnya produk farmasi berstandar halal disebabkan banyaknya pengusaha atau produsen yang enggan mengurus sertifikasi halal.
“Karena jumlah obat yang beredar sangat banyak, lalu ini juga ada keterlambatan (respon dari pengusaha obat untuk sertifikasi halal) sehingga obat yang halal masih sangat sedikit,” kata Lukman.
“Dari ribuan jenis obat yang beredar di Indonesia, obat yang telah dipastikan kehalalannya masih kurang dari satu persen,” tambah dia.
Menurut Lukman, sertifikat halal juga belum dijadikan sebagai sebuah mandatori atau kewajiban oleh pemerintah, sehingga banyak produsen yang mengesampingkan pengurusannya. Jika melihat dari sisi positifnya, Lukman menganggap sertifikasi halal ini seharusnya dapat dijadikan sebagai upaya produsen dalam memenuhi kepuasan konsumen.
“Mereka (produsen) banyak yang melihat bahwa obat ini sesuatu yang darurat jadi mengesampingkan kehalalan tadi. Padahal, sudut pandang ini salah, karena tidak semua obat seperti itu (darurat),” kata Lukman. (*/Republika.co.id)