FAKTA BANTEN – Jagat media sosial Tanah Air terkejut dengan testimoni seorang buzzer dengan nama samaran Alex. Dia mengaku turut bermain mengaduk-aduk emosi pengguna internet di Indonesia. Bersama 20 buzzer lainnya, Alex menggalang isu suku, ras, agama dan antargolongan (SARA) pada Pilkada DKI Jakarta.
Untuk menyalurkan propaganda tersebut, menurut investigasi laman The Guardian, Alex membuat akun media sosial misalnya Twitter, Facebook dan Instagram palsu untuk ‘berperang’ melawan lawan politiknya, buzzer tim Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies Baswedan.
Alex blak-blakan bekerja di belakang barisan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kala itu merupakan Gubernur petahana DKI Jakarta. Sehari-hari, kala itu, Alex dan buzzer lainnya menyebarkan 60 hingga 120 berita di akun palsu Twitter mereka. Sedangkan di Facebook, intensitas mereka menyebarkan informasi pesanan mereka tak sekencang di Twitter.
Alex mengakui, perang di jalur dunia maya itu memang akhirnya menjurus ke arah SARA. Sampai akhirnya memuncak saat muncul demonstrasi besar-besaran massa yang mengatasnamakan Islam, menuntut Ahok dipenjara karena menistakan Islam untuk kepentingan politik.
Pilkada DKI tahun lalu memang menyisakan perang SARA dan kebencian. Mengaduk-aduk emosi pengguna internet sampai membelah siapa kubu pendukung sana dan siapa kubu pendukung sini.
Pengakuan Alex bagai menguak desas-desus politik di media sosial yang sudah berhembus lama selama ini, bahwa media sosial telah disesaki dengan akun partisan. Makanya, lazim saja publik sudah paham muncul pengakuan ‘pabrik’ akun media sosial palsu dipakai untuk kelompok tertentu. Hanya soal waktu saja menunggu rahasia tersebut terbongkar.
Buzzer yang dijalani Alex bukan barang baru, Tahun lalu, mata publik publik Tanah Air terbuka dengan penangkapan admin buzzer Muslim Cyber Army, sebuah akun media sosial yang gencar melancarkan propagandanya.
Kelompok tersebut punya pola yang mirip dengan kerja sehari-hari Alex. Muslim Cyber Army merupakan produsen hoaks dan penyebar kebencian dengan tujuan tertentu. Polisi telah membekuk admin MCA dan telah menetapkan enam tersangka dalam di berbagai daerah. Polisi menuding konten hoaks yang disebarkan MCA bertujuan mengadu domba umat beragama dan warga negara, apalagi setelah Pilkada DKI Jakarta 2017. Isu yang diamplifikasi MCA yakni penculikan ulama atau kiai, kebangkitan PKI, sampai isu SARA.
Isu SARA memang sentral untuk menggalang dukungan di Indonesia. Sementara di sisi lain, buzzer juga cerdik mengambil isu ini untuk menari perhatian pengguna internet dan media sosial.
Magnet Twitter
Peneliti Siber Sehat Indonesia, Renaldi Tambunan, mengatakan buzzer tak habis akal dengan terpaku pada isu SARA saja. Bahkan orang di balik pabrik akun palsu dan penyebar hoaks akan memanfaatkan isu apapun di luar SARA, untuk menemukan momentumnya.
“Isu agama memang selalu seksi untuk dieksploitasi dan menjadi pusat perhatian,” katanya, Senin malam, (23/7/2018).
Untuk itu, Renaldi meminta masyarakat dan figur publik jangan sampai terpancing di air keruh. Dia meminta aktor politik untuk tidak mudah terjebak dalam pertikaian dengan isu agama. Sebab masyarakat nanti dengan mudah terpancing emosi dan pelaku hoaks dengan cepat akan memanas-manasi suasana.
Fenomena yang menarik dari ‘pabrik’ akun palsu ini adalah mereka menyebarkan propaganda menggunakan media sosial Twitter. Platform ini memang cukup menjadi andalan penyebaran propaganda.
Renaldi mengaku tak heran buzzer membanjiri Twitter. Sebab, platform komunikasi ini terbilang berbeda dengan platform seperti Faceook, YouTube dan Instagram. Menurutnya, Twitter memang menjadi magnet, apalagi publik figur rata-rata lebih sering bicara di platform berlogo burung biru tersebut.
“Namun memang khusus Twitter ini agak menarik. Twitter termasuk dalam media sosial yang menjadi etalase para elit politik. Jadi ada perdebatan yang seru disana,” ujar Renaldi.
Namun demikian, menurutnya, pengakuan ‘pabrik’ akun Twitter palsu ini menyadarkan semua orang. Hoaks tidak jauh dari Twitter.
Pengamat teknologi informasi Ismail Fahmi juga senada. Twitter memang jadi senjata utama bagi penyebaran propaganda. Ismail yang memiliki peranti lunak analisis percakapan di media online dan media sosial Drone Emprit berpandangan, fitur dan platform Twitter memungkinkan sebuah informasi bisa cepat menyebar dan viral dalam waktu singkat.
Trending topic atau hashtag yang diciptakan di Twitter, meski muncul selama satu hingga dua jam saja, cukup untuk membangun narasi. Ismail mengatakan, narasi di Twitter ini seringkali menjadi isu dan dimakan oleh media berita. Selain itu, jangkauan Twitter juga lebih mudah untuk cepat meluas.
“Twitter mudah dimonitor siapa pun, dilihat dan dibaca meski bukan teman atau follower, sehingga memudahkan beritanya sampai ke siapa pun yang mengamatinya,” tulis Ismail dalam akun Facebook miliknya.
Twitter bukan satu-satunya kanal yang dipakai dalam kampanye. Kanal lain juga dipakai, seperti Facebook, Instagram, YouTube dan lainnuya. “Namun, Twitter masih jadi favorit untuk urusan politik,” ujar Ismail.
Renaldi sepakat, buzzer akan ramai saat mendekati momentum politik. Soal tren aksi buzzer di Twitter, sudah terendus sejak hampir lima tahun lalu. Renaldi mengingatkan kepada publik, munculnya akun Twitter @triomacan2000 yang menjadi magnet sepanjang 2014. Tren akun politik yang muncul seiring dengan tahun atau momentum politik tak berhenti dengan penangkapan admin akun @triomacan2000.
“Kemarin saat Pilkada dan saat ini menjelang Pilpres-Pileg juga banyak akun-akun anonim yang mengeluarkan berbagai pernyataan sangat kontroversial, bahkan terkesan sangat jorok, contoh @kakekdetektif. Ini perlu diwaspadai oleh kita semua, terutama oleh aparat agar segera bisa bertindak,” jelas Renaldi.
Selain platform Twitter, Renaldi meminta publik dan pemerintah juga harus teliti dalam mengonsumsi konten di aplikasi perpesanan WhatsApp. Menurutnya konten bisa lebih cepat menyebar melalui WhatsApp.
Merepons testimoni ‘pabrik’ akun media sosial palsu, Kementerian Komunikasi dan Informatika punya sisi pandang lain atas hal tersebut. Kominfo mengaku tidak melihat orang sebagai pemilik akun karena wewenang tersebut dimiliki setiap platform.
Namun, konten yang dibuat oleh penggunalah yang diawasi oleh pemerintah. Kominfo menegaskan, standar penindakan sebuah konten atau akun yakni apakah melanggar hukum atau tidak. Kominfo tidak melihat penyebar atau ‘pabrik’ akun media sosial palsu itu punya kubu atau kelompok siapa.
“Apakah kontennya bertentangan dengan undang-undang atau tidak? Kita tidak melihat itu punya siapa. Tidak peduli,” ujar Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan kepada VIVA, Senin 23 Juli 2018.
Ia melanjutkan, soal akun yang diduga palsu bisa langsung dilaporkan kepada platform masing-masing. Karena media sosial, lanjut Semuel, sudah membuat aturan mengenai hal tersebut dalam Community Guidelines.
Lain halnya jika bicara soal konten, entah berupa berita palsu atau informasi fitnah, kata Semuel, menjadi wilayah penegak hukum kepolisian. Dia mengatakan Kominfo cuma bisa menindak akun penyebar berita palsu dan fitnah, yakni menghapus atau menurunkan akun yang meresahkan tersebut.
Namun demikian, langkah penghapusan ini perlu pelaporan dari pelapor.
Tindak buzzer hitam
Mengingat potensinya yang mengacaukan ruang publik, munculnya pabrik akun palsu dan isu hoaks SARA wajib menjadi perhatian pemerintah. Renaldi berpandangan, Kominfo, Polri bersama Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) harus bergerak. Dia mengakui lembaga tersebut sudah berusaha memantau akun di media sosial dan menciptakan sistem yang lebih ketat pada media sosial.
Misalnya Kominfo membatasi kepemilikan kartu prabayar dengan registrasi ulang maksimal tiga kartu SIM, menurutnya, cukup bisa diapresiasi. Namun dia mencatat, pembatasan lewat registrasi itu ternyata belum efektif membasmi penyebar hoaks dan munculnya ‘pabrik’ akun media sosial palsu.
Sebab satu NIK KK bisa digunakan lebih dari tiga nomor kartu prabayar. Artinya pelaku produsen hoaks bisa memakai identitas orang lain untuk melakukan registrasi pada nomor yang akan dipakai menyebarkan hoaks.
“Hoaks ini kan lewat media sosial (begitu) massif. Persebaran lewat akun media sosial dan WhatsApp, keduanya memerlukan nomor seluler untuk mendaftar. Di sinilah harusnya dipersulit,” ujarnya.
Juru BSSN, Anton Setiawan, mengaku tidak bisa memberi komentar lebih jauh mengenai ‘pabrik’ akun media sosial palsu tersebut.
Namun yang pasti, Anton menuturkan, kepalsuan dalam bentuk apapun, baik secara riil maupun di dunia maya, tidak akan memberikan manfaat positif bagi masyarakat secara luas.
“Kami mengajak semua unsur agar berkompetisi secara sehat dan turut mendidik masyarakat di media sosial,” kata dia.
Aparat harus tegas dan serius merespons isu ‘pabrik’ akun media sosial palsu. Chairman Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha mengatakan, sebaiknya pemerintah memang bertindak supaya situasi politik menjelang Pilpres tidak makin memanas.
Pratama mengatakan, informasi investigasi The Guardian itu perlu ditelusuri lebih lanjut dan kalau perlu diusut siapa otak di balik operasi tersebut. Dengan buzzer hitam ditindak hukum dan diseret ke pengadilan, menurutnya, akan menurunkan tensi yang menghangat di media sosial.
“Bila para buzzer hitamnya tidak diselidiki, pasti akan menghangatkan suasana media sosial Tanah Air,” kata pria asal Blora tersebut.
Kepolisian, menurutnya, bisa bertindak dengan investigasi lebih mendalam dibanding laporan The Guardian. Apalagi, aparat penegak hukum punya segudang sumber daya manusia dan prasarana untuk membongkar di balik ‘pabrik’ akun media sosial palsu tersebut.
Investigasi ini perlu, supaya isu tersebut tak liar dan dimanfaatkan oknum tak bertanggung jawab.
“Bila ditindak, harapannya para buzzer hitam yang ada tidak akan melakukan hal sama dalam proses Pilpres dan Pileg 2019. Minimal tidak ada lagi pemain baru yang coba melakukan hal serupa,” katanya.
Untuk memberantas akun palsu di Twitter, Pratama mengatakan, pemerintah bisa memanfaatkan momentum. Dalam enam bulan terakhir, Twitter sedang gencar bersih-bersih akun anonim dan akun abal-abal.
Untungnya, Kominfo mengaku sudah bisa sedikir meredam derasnya isu memecah masyarakat di media sosial. Buktinya Semuel mengatakan, selama penyelenggaraan pilkada serentak 27 Juni lalu, pelaporan masyarakat tentang konten meresahkan jauh menurun, atau sekitar 90 persen, dibandingkan Pilkada tahun sebelumnya.
“Masyarakat sudah mulai pandai dan punya pengalaman dari yang sebelum-sebelumnya. Pelanggaran tidak sebanyak Pilkada sebelumnya. Kami berharap tahun depan bahwa bisa jauh lebih kondusif dalam berpolitik,” ujar Semuel. (Viva)