JAKARTA – Profesor riset bidang sosilogi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Turmudzi menilai Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas salah paham soal populisme Islam.
Dia menyebut Yaqut keliru saat mengartikan populisme Islam sebagai upaya menggiring agama menjadi norma konflik. Endang berkata pemahaman itu lebih mendekati definisi radikalisme.
“Kalau popularisme Islam [dianggap] bahaya, karena memang persepsinya yang keliru; jadi populisme Islam diartikan dengan radikalisme,” kata Endang kepada wartawan, Senin (28/12/2020).
Baca juga: Menag Yaqut Tak Ingin Populisme Islam Merebak di Indonesia
Endang menjelaskan populisme adalah kosakata dalam ilmu politik yang berarti gagasan dari kalangan elite yang memberikan perhatian kepada kepentingan rakyat kecil.
Populisme Islam, kata dia, bisa dimaknai gagasan yang mengartikulasikan kepentingan umat Islam. Endang mencontohkan politikus yang mencoba menerapkan nilai Islam dalam berpolitik.
Mantan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu berpendapat populisme Islam tidak berbahaya. Justru tindakan itu adalah bagian dari penerapan demokrasi.
“Kalangan Islam, seperti kalangan lain, punya aspirasi, punya keinginan dalam hidup bernegara. Itu kan juga bagian dari demokrasi,” tuturnya.
Sebelumnya, Menag Yaqut Cholil Qoumas menyatakan akan mencegah populisme Islam berkembang. Ia mengartikannya sebagai upaya pihak tertentu untuk menggiring agama menjadi norma konflik.
“Agama dijadikan norma konflik. Dalam bahasa paling ekstrem, siapapun yang berbeda keyakinannya, maka dia dianggap lawan atau musuh, yang namanya musuh atau lawan ya harus diperangi. Itu norma yang kemarin sempat berkembang atau istilah kerennya populisme Islam,” kata Yaqut dalam diskusi daring, Minggu (27/12/2020). (*/CNN)