JAKARTA – Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai ada potensi kerugian negara dalam transaksi saham PT Freeport Indonesia. Hal tersebut bisa terjadi jika Holding Industri Pertambangan PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum melakukan pembelian sebelum keluarnya izin perpanjangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Kerugian negara dianggap terjadi karena harga pembelian participating interest didasarkan harga bila mendapat perpanjangan. Padahal ijin perpanjangan dari Kementerian ESDM belum diterbitkan,” kata Himahanto dalam keterangan tertulis, Sabtu, 14 Juli 2018.
Pada 12 Juli, Freeport McMoran menyepakati pelepasan 51 persen saham anak usahanya, PT Freeport Indonesia kepada Inalum. Induk usaha pertambangan pelat merah itu akan menyelesaikan transaksi pembelian pada dua bulan ke depan.
Direktur Utama PT Inalum Budi Gunawan Sadikin mengatakan nilai transaksi itu sebesar US$ 3,85 miliar. Inalum akan menggelontorkan US$ 3,5 miliar untuk membeli 40 persen hak partisipasi Rio Tinto di PT Freeport Indonesia.
Lebih lanjut Hikmahanto mengatakan dalam laman London Stock Exchange disebutkan bahwa harga penjualan 40 perasn participating Interest disebutkan sebesar US$ 3,5 miliar. Harga tersebut menurut Hikmahanto telah memperhitungkan perpanjangan konsesi PT FI hingga 2041.
Dengan demikian, Hikmahanto menyarankan Inalum tidak melakukan pembelian sebelum keluarnya ijin perpanjangan dari Kementerian ESDM.
“Bila tidak, maka manajemen Inalum pada saat ini di kemudian hari ketika telah tidak menjabat dapat diduga oleh aparat penegak hukum melakukan tindak pidana korupsi,” kata Hikmahanto. Hal itu bisa terjadi karena manajemen Inalum dianggap telah merugikan keuangan negara saat membeli saham Freeport. (*/Tempo)