JAKARTA – Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Profesor Mudzakir mempertanyakan pasal 160 dan 216 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikenakan kepada Habib Rizieq Shihab (HRS). Sementara lima tersangka lainnya dalam kasus yang sama hanya diancam dengan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
“Harusnya kalau kita ngomong masalah kesehatan itu kekarantinaan, kalau orang lain sama terkait itu (kasus kerumunan massa) mestinya kekarantinaan. Dulu (HRS) dipanggil, karena dia ada mengundang orang, kalau begitu mestinya undang-undang kekarantinaan,” ujar Mudzakir saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (11/12/2020).
Menurut Mudzakir, sejak awal kasus ini bergulir semua saksi yang konon katanya diundang untuk dimintai keterangan itu terkait dengan kerumunan kesehatan pada saat acara akad nikah puteri HRS. Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Gubernur Anies diperiksa karena undang-undang kekarantinaan, juga dengan saksi-saksi lainnya. Sehingga, heran jika HRS dikenakan dua pasal KUHP sekaligus.
“Kayaknya undang-undang kekarantinaan itu kepada Habib tidak terbukti, karena tidak terbukti dialihkan kepada pasal yang lain. Ini yang nggak benar, praktik penegakkan hukum yang menurut saya tidak benar, dari mana dia mencantolkan ke (pasal) yang lain,” tutur Mudzakir.
Selain itu, lanjut Mudzakir, Pasal 160 KUHP adalah terkait dengan penghasutan, maka syaratnya harus ada provokasi untuk melakukan perbuatan pidana. Sementara dalam kasus ini siapa yang diprovokasi dan yang bersangkutan memprovokasi untuk orang melalukan kejahatan, kejahatannya apa? Maka harus ada bukti kejahatannya. Kalau misalnya memprovokasi untuk melawan petugas, apakah petugas dilawan karena provokasi HRS atau karena memang dia tugasnya untuk mengamankan HRS.
“Jadi menurut saya, kalau di 160 juga belum jelas di mana letak perlawanan. Misalnya terhadap aparat penegak hukum, kalau itu pengamanan sampai Habib Rizieq mau meninggalkan enam orang mati syahid itu ada tidak perintah Habib Rizieq?” tanya dengan heran.
Dalam kasus penembakan enam laskar FPI, Mudzakir menilai, polisi pun tidak fair. Mereka tidak pernah memberi kode bahwa dia adalah seorang polisi.
Kalau polisi preman yang tidak seragam berarti dia tidak ada identitasnya seorang kepolisian. Kecuali langsung menunjukkan identitasnya. Jadi kalau begitu orang yang menyamar sebagai polisi yang tidak menunjukkan identitasnya pada saat itu maka tidak bisa dikatakan melawan petugas.
“Coba kalau petugas itu pura-puranya dia sebagai misalnya saja izinnya teknik jebakan tiba-tiba dipukulin orang. Itu bukan melawan petugas karena dia tidak menunjukkan identitas sebagai polisi itu resiko namanya SOP penyamaran,” terang Mudzakir
Selanjutnya, penyematan Pasal 216 KUHP terkait dengan melawan penguasa umum juga tidak tepat. Bagaimana HRS melawan penguasa umum atau tidak patuh terhadap undang-undang. Mudzakir menyarankan, sebaiknya kasus ini tidak perlu melebar ke mana-mana, kalau memang HRS tidak bersalah, maka hormati.
“Bahwa Habib Rizieq itu tidak melakukan kejahatan. Nggak usah gengsi-gengsi hukum itu tidak boleh gengsi,” tutup Mudzakir. (*/Republika)