*) Oleh: Aswar Hasan
FAKTA BANTEN – Sutan Syahrir tokoh Sosialis Radikal yang pernah menjadi Perdana Menteri Negara RI di Zaman Orde Lama Dalam sistem Kabinet Parlementer pernah berkata bahwa: Politik bukanlah sekadar perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat dan bersikap moral tinggi. Para pemimpin haruslah menjadi pahlawan laksana para nabi.”
Pertanyaannya kemudian, apakah pemikiran politik sebagaimana Syahrir kemukakan itu ada secara jamak diamalkan sekarang ini? jawabnya hampir pasti tidak ada yang sepakat secara bulat setuju dengan Syahrir. Kenyataannya, politik saat ini lebih dipahami sebagai sebuah kontestasi yang sarat perhitungan.
Praktik politik saat ini justru sarat dengan berbagai perhitungan yang penuh aroma spekulasi sebagaimana halnya sebuah perjudian yang mengejar sejumlah kemungkinan dalam ketidakpastian. Maka definisi politik sebagai seni mengubah ketidakmungkinan menjadi hal yang mungkin semakin mendapat legitimasi sosial tanpa moral.
Politik, khususnya dalam kontestasi Pilkada, telah sarat dimuati pragmatisme yang diwarnai hitung-hitungan melalui mekanisme survei popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas. Berbagai tingkatan posisi tersebut telah dimotori dan didesain dengan merekayasanya melalui kekuatan isi tas (uang). Ada yang awalnya tidak dikenal dan tidak diterima, tetapi karena adanya jasa konsultan politik dengan berbagai saran perlakuan tindakan di lapangan berdasarkan hasil survei pemetaan, maka dalam jangka tidak terlalu lama posisi calon bisa disulap menjadi populer dan disenangi. Itu karena ada uang yang bisa menggerakkan elemen-elemen penentunya.
Dapat disimpulkan, bahwa praktik politik masa kini hampir pasti tidak bisa dimenangkan tanpa digerakkan dengan uang, dan uang itu juga harus didayagunakan dan diperlakukan seperti halnya memainkan dadu di atas meja judi. Harus berani mengambil keputusan berdasarkan hitung-hitungan spekulatif. Tidak ada teman sejati dalam perjudian. Yang ada hanya teman dalam persekongkolan untuk menang. Komitmen untuk berteman tidak lagi bisa diperpegangi. Idealisme telah tergusur oleh pragmatisme. Menghalalkan segala cara untuk menang, semakin mendapatkan momentumnya. Inilah masa dimana politik sebagai seni dan idealisme serta ilmu pengetahuan dan etika mencapai puncak krisisnya.
Akhirnya kata demokrasi yang asal kelahirannya dari rakyat untuk rakyat justru menjadikan rakyat sebagai korban utamanya yang terparah. Rakyat tertipu dalam buaian para politisi dan terexploitasi untuk kepentingan syahwat para elite politik. Rakyat yang seharusnya bisa mendikte menurut rumus demokrasi, justru menjadi pihak yang didikte. Rakyat begitu sulit bersatu untuk memperjuangkan kepentingannya. Namun di sisi lain rakyat begitu mudah dipersatukan melalui Event Politik demi kepentingan para politisi. Rakyat semakin mudah dibentuk dalam politik kepentingan, di sisi lain, rakyat juga mudah saling membentak diantara mereka sendiri, demi memenuhi kehendak patron politiknya. Rakyat terkotak berdasarkan kotak-kotak para politisi yang bermain cari hidup di tengah rakyat.
Demikianlah situasi politik kita akhir-akhir ini. Sebuah potret buram demokrasi kita, akibat transformasi politik yang salah arah dan gagal. Demokrasi tersandera oleh para bandar, bandit dan badut politik. Nyaris tidak ada pesta demokrasi Pilkada tanpa ada bandar yang bermain di belakangnya, lalu menjadi seru dan serius menegangkan oleh ulah para bandit. Namun, kita pun terpaksa tertawa, karena juga ada badutnya. sampai kapan wajah dan tingkah politik kita terus begini?
Wallahu A’lam Bishawwab. (*)