Rilis KPAI Terkait Pembelajaran Jarak Jauh di Tengah Wabah Covid-19

JAKARTA – Kebijakan belajar di rumah diterapkan sejumlah pemerintah daerah dalam menyikapi pandemi Covid-19 telah berjalan empat minggu. Selama pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), ada beragam cara yang dilakukan guru dalam melaksanakan PJJ, yaitu berupa pembelajaran daring, link aplikasi belajar daring dan memberikan penugasan-penugasan kepada siswa.

Terkait dengan ratusan pengaduan yang diterima, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan analisis dan kemudian menindaklanjuti ke instansi terkait, diantara Kemendikbud dan Dinas-dinas Pendidikan setempat, bahkan ada juga yang langsung mengontak Kepala Sekolah karena pengadu memberikan nomor seluler Kepala Sekolahnya.

KPAI mengapresiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang telah merespon suara para siswa yang “mengeluhkan” beratnya penugasan-penugasan dari para guru selama penerapan kebijakan belajar dari rumah, dengan membuat Surat Edaran (SE) terkait panduan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan membuat “Rumah Belajar Kemdikbud”. Keluhan belajar daring yang meberatkan para orangtua menyediakan kuota internet juga akhirnya direspon dengan mengandeng TVRI dalam program “Belajar Dari Rumah” selama 3 bulan.

KPAI juga mengapresiasi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur yang menindaklanjuti usulan KPAI untuk membuat Surat Edaran Panduan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang menyenangkan dan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak. Pemberian tugas wajib mempertimbangkan kondisi siswa dan tetap memenuhi hak-hak anak untuk bermain, istirahat cukup dan hak untuk sehat.

Komisioner KPAI berkomunikasi langsung dengan Kepala Dinas Pendidikan di tiga provinsi tersebut karena pengaduan tertinggi yang diterima KPAI memang berasal dari para siswa di jenjang SMA/SMK/MA, baik negeri maupun swasta yang kewenangannya berada di pemerintah provinsi. dan para siswa dari ketiga provinsi tersebut menjadi pengadu yang terbanyak.

KPAI Menerima 213 Pengaduan PJJ

Mulai Senin, 16/3/2020 sampai Kamis, 9/4/2020 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terus mendapatkan pengaduan dari para siswa di berbagai daerah di Indonesia terkait berbagai penugasan sekolah yang mereka harus kerjakan di rumah. Setelah penerapan kebijakan belajar dari rumah berlangsung 3 minggu, KPAI sudah menerima pengaduan terkait PJJ sebanyak 213 kasus, dimana pengaduan didominasi oleh para siswa sendiri terkait berbagai penugasan guru yang dinilai berat dan menguras energi serta kuota internet.

Dari 213 pengaduan tentang PJJ tersebut, setelah dianalisis oleh tim pengaduan KPAI, diperoleh fakta-fakta sebagai berikut :

PERTAMA, ada 5 jenis pengaduan bidang pendidikan

Seluruh pengaduan online bidang pendidikan selama kebijakan belajar dari rumah, setelah dipelajari terdiri dari 5 jenis pengaduan, yaitu :
(1) Penugasan yang maha berat dan waktu pengerjaan yang pendek;

Pengaduan terkait penugasan adalah pengaduan yang tertinggi, hampir 70% pengadu menyampaikan betapa beratnya penugasan-penugasan yang diberikan setiap harinya oleh para guru, dan waktu yang diberikan untuk mengerjakan juga sangat pendek. Siswa SMA/SMK banyak yang ditugaskan menulis esai hampir di semua bidang studi. Ada siswa SMP yang pada hari kedua PJJ sudah mengerjakan 250 soal dari gurunya. Ada siswa SD di Bekasi yang diminta mengarang lagu tentang corona. Dinyanyikan disertai music dan dan harus di videokan.

(2) Banyak Tugas Merangkum Bab dan Menyalin Soal di Buku

Tugas Yang Paling Tidak disukai anak-anak : merangkum bab materi dan menyalin soal di buku cetak. Ada guru di jenjang SMP dan SMA selalu yang memberikan tugas merangkum bab baru setiap jam pelajarannya tiba. Ada siswa SD yang mendapat tugas menyalin 83 halaman buku cetak sebagai bentuk penugasan dari gurunya. Selain itu, siswa SD kelas 4 ditugaskan untuk menuliskan bacaan sholat, mulai dari bahas Indonesianya, Bahasa latinnya dan Bahasa arabnya, padahal semuanya ada di buku cetak. Banyak siswa yang mengaku dapat tugas menjawab soal, tetapi harus dituliskan soalnya padahal ada di buku cetak mereka.

(3) Jam Belajar Kaku, Seperti Jam Sekolah Normal

Proses pembelajaran di sekolah seharusnya tidak disamakan dengan jam belajar di sekolah, tidak kaku menerapkan jam pertama sampai jam trerakhir, padahal mayoritas ganti jam, ganti mata pelajaran, berarti dapat tambahan tugas baru yang tak kalah berat, padahal tugas sebelumnya belum selesai dikerjakan para siswa.

(4) Tidak memiliki kuota dalam pembelajaran daring terutama untuk pengadu yang kepala keluarganya merupakan pekerja upah harian;

Pembelajaran daring ternyata juga dikeluhkan oleh anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ada supir ojek online (ojol) yang memiliki 3 anak (2 di jenjang SD dan 1 di jenjang SMA) kewalahan dalam membeli kuota internet, padahal penghasilan sebagai ojol menurun drastic. Seorang guru di Jogjakarta juga menceritakan bahwa pembelajaran daring dengan para siswa hanya bisa dilakukan pada minggu pertama belajar di rumah, setelah itu sudah tidak bisa lagi karena orangtua peserta didiknya tidak sanggup lagi memberli kuota internet.

(5) Tidak memiliki laptop/computer PC sehingga kesulitan ujian daring yang akan dilaksanakan akhir April-Mei 2020 oleh sebagian siswa dari keluarga yang kurang mampu secara ekonomi;

Ada anak supir ojol yang mengaku gantian menggunakan handphone dengan ayahnya. Kalau siang dipakai bekerja, jadi malamnya baru bisa digunakan si anak untuk mengerjakan tugas dari gurunya. Masalah sinyal juga menjadi kendala di beberapa daerah yang berbukit-bukit, akibatnya ada siswa yang setiap hari harus berjalan 10 KM untuk mendapatkan signal dan wifi.

(6) Masih adanya aktivitas siswa dan guru di sekolah, padahal seharusnya belajar dari rumah;

Pada awal penerapan kebijakan belajar dari rumah, KPAI menerima 3 pengaduan (DKI Jakarta, kota Bekasi dan Palangkaraya) yang menyatakan bahwa sekolah anaknya belum libur, padahal pemerintah daerahnya memutuskan meliburkan sekolah. Ketiganya sekolah swasta di jenjang SD, dan pada minggu kedua KPAI menerima pengaduan ada SD swasta di kabupaten Bogor meliburkan sekolah tetapi tetap melayani les/privat di sekolah.

(7) Penolakan membayar biaya SPP bulanan secara penuh karena siswa belajar dari rumah bersama orangtua.

Menjelang minggu ke-4 kebijakan belajar dari rumah, ada beberapa pengaduan siswa sekolah swasta yang menyatakan keberatan membayar uang iuran sekolah/SPP secara penuh karena tidak ada aktivitas pembelajaran di sekolah dan banyak orangtua mengalami masalah ekonomi pasca perpanjangan masa belajar dan bekerja dari rumah. Bahkan, orangtuanya yang pengusaha pun turur terpukul secara ekonomi sehingga memiliki masalah finansial.

KEDUA, Siswa mengaku lelah dan jenuh menjalankan PJJ, sementara Guru mengaku bingung mengelola PJJ

Setelah melewati masa tiga minggu para siswa mengaku mengalami kejenuhan, karena guru selalu memberi tugas tiap harinya per mata pelajaran yang menguras energy, namun guru tidak pernah menjelaskan materi, tidak terjadi pembelajaran dua arah. Padahal penugasan justru berasal dari materi baru yang belum diajarkan guru ybs.

Di sisi lain, para guru yang awalnya bereaksi keras di media social dan menolak bahwa penugasanya berat sehingga membuat siswa stress dan kelelahan, belakangan ini justru banyak guru diberbagai diskusi di media social mengaku kebingungan karena tidak paham mengelola Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang menarik dan menyenangkan. Ragam media juga tidak jadi pilihan alternative untuk mengembalikan semangat siswa maupun guru.

KETIGA, Pengaduan PJJ mencapai 213 kasus dalam pelaksanaan kebijakan empat minggu siswa belajar dari rumah. Pengaduan berasal dari semua jenjang pendidikan, yaitu dari jenjang Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan jenjang SMA/SMK. Pengaduan jenjang SMA sebanyak 95, SMK sebanyak 32, MA sebanyak 19, SMP sebanyak 23, MTs hanya 1, SD sebanyak 3 kasus dan TK hanya satu pengaduan.

KEEMPAT, Pengaduan terbanyak (sekitar 60%) berasal dari Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. adapun wilayahnya meliputi 14 provinsi dengan 45 kabupaten/kota. Pengaduan dari sekolah-sekolah yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMDIKBUD) maupun Kementerian Agama (KEMENAG).

Adapun rincian wilayahnya adalah Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat (DKI Jakarta); kota Bekasi , kab. Bekasi, Depok, Karawang, Garut, Tasikmalaya, Kuningan, Cirebon, Sukabumi, Tasikmalaya, kota Bogor, kab. Bogor, dan kota Bandung (Jawa Barat); Surabaya, Kediri, Nganjuk, Sidoarjo, dan Malang (Jawa Timur); Puwokerto, Tegal, Cepu, dan Karanganyar (Jawa Tengah); Kota Tangerang, kab. Tangerang, Serang, Rangkas, dan Tangsel (Banten); Pangkal pinang (Bangka Belitung); Pontianak dan Sintang (Kalimantan Barat); Sukawati dan Denpasar (Bali); kota Medan (Sumatera Utara); kota Palangkaraya (Kalimantan Tengah); Lombok Timur dan Lombok Tengah (NTB); Kampar (Kepulauan Riau); Banjar baru (Kalimantan Selatan), dan Sinjai (Sulawesi Selatan).

Rekomendasi :

1. KEMDIKBUD dan KEMENAG harus segera menetapkan kurikulum dalam situasi darurat. Hal ini perlu dilakukan agar Dinas-dinas Pendidikan daerah dan Kanwil agama tidak melakukan tekanan terhadap para guru untuk menyelesaikan target kurikulum seperti pada kondisi normal. Harus dingat bahwa mewabahnya covid 19 saat ini adalah kondisi darurat yang waktunya bisa lebih dari 3 bulan. Artinya pembelajaran jarak jauh dengan segala keterbatasan akan berlangsung lama dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai serta minim pendampingan guru dalam proses pembelajaran.

Kemdikbud harus segera menetapkan kurikulum sekolah dalam kondisi darurat. Karena jika tidak segera, ketika Dinas Pendidikan menekan guru menyelesaikan kurikulum, maka secara otomatis para guru pasti akan menekan anak-anak didiknya untuk memenuhi tuntutan Dinas Pendidikan tersebut. Anak yang akhirnya menjadi korban. Para guru menyampaikan kepada KPAI bahwa mereka setiap hari wajib lapor hasil penilaian atau kinerja setiap hari, sehingga mereka terpaksa menugaskan siswa setiap setiap hari juga sesuai jadwal bidang studi yang bersangkutan.

2. Prinsip belajar jarak jauh maupun Penilaian Akhir Semester jarak jauh wajib mempertimbangkan kondisi siswa yang berbeda-beda, tidak bisa disamakan perlakuannya, karena ada anak yang orangtua tidak masalah dalam penyediaan kuota internet, namun ada anak-anak yang orangtuanya tidak sanggup membeli kuota internet.

3. Sehubungan dengan perpanjangan masa belajar jarak jauh karena wabah covid 19 yang diperkirakan hingga kenaikan kelas tahun ajaran 2019/2020 pada akhir Juni 2020, maka KPAI membentuk tim kajian untuk melakukan monitoring dan evaluasi terkait Pembelajaran Jarak Jauh dan Ujian Kenaikan Kelas jika akan dilakukan secara daring. Mengingat ada kebijakan baru bahwa dana BOS boleh digunakan untuk pembelian kuota internet siswa, karena selama 4 pekan ini para siswa membeli kuota internet sendiri dan sudah banyak yang merasakan terbebani pengeluaran tersebut, belum lagi keterbatasan peralatan yang dibutuhkan, seperti laptop/Komputer PC, dan handphone yang spesifikasinya memenuhi.

Jakarta, 13 April 2020
Retno Listyarti, Komisioner KPAI

Comments (0)
Add Comment