CILEGON – Banyaknya pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Joko Widodo nyatanya tak menggenjot industri baja di Tanah Air. Hal ini terlihat pada merosotnya penjualan Krakatau Steel.
Bahkan perusahaan plat merah ini harus merestrukturisasi ribuan karyawannya.
“Faktanya penjualan Krakatau Steel merosot, merugi. Harusnya naik dong dengan proyek infrastruktur, malah sebaliknya,” kata Rizal Ramli saat wawancara di salah satu stasiun TV swasta, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, ada dua hal yang menyebabkan rendahnya penjualan baja dalam negeri ini. Pertama, adalah serangan produk dari luar negeri yang memiliki harga lebih murah.
“Market share-nya diambil oleh produk impor, produk China. Kemudian yang kedua memang sudah akut,” tegasnya.
Bagi RR, sapaan Rizal, bangsa Indonesia harus memiliki pemimpin yang besar pula agar mampu memaksimalkan potensi ekonomi dalam negeri.
Kebijakan Sektoral Tidak Membantu Krakatau Steel Untung
Rizal Ramli yang merupakan Menko Perekonomian era Presiden Gusdur ini meyakini jika pemerintah menerapkan kebijakan antidumping tarif sebesar 25 persen terhadap baja dan turunannya maka Krakatau Steel (KS) akan untung lagi.
Mantan anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu berpendapat, restrukturisasi KS membuat utang sustainble akan tetapi tidak meningkatkan penjualan.
“Saya mohon maaf, itu hanya memberikan temporary solution, solusi sementara karena itu pada level korporasi,” kata Rizal dalam Indonesia Bussiness Forum TV One, baru-baru ini.
Rizal mencontohkan dalam industri baja. Ekonomi Tiongkok dalam 25 tahun sebesar 12-14 persen. Namun kuartal I 2019 hanya mencapai 6,4 persen. Akibatnya Tiongkok mengalihkan kelebihan produksinya ke pasar lain dengan harga sangat murah. Salah satunya ke Indonesia.
“Baja Tiongkok masuk, dijual dengan harga sangat murah dibantu dengan regulasi, dibikin standar impor itu lebih rendah. Kita kan punya standar nasional industri,” jelas Rizal.
Makanya, lanjut Rizal, jor-joran pembangunan infrastruktur pemerintah Jokowi seharusnya membuat KS untung, tapi nyatanya malah buntung.
“Karena kebijakan sektoral tidak membantu. Solusinya apa? tahun lalu saya sudah bilang, kita kenakan antidumping tarif sebesar 25 persen. Kalau itu terjadi, baja KS jadi compatitive. Artinya infrastruktur maju, Krakatau Steel maju, tapi kita nggak berani melakukan ini. Biasa-biasa saja antidumping policy,” kritik Rizal.
Rizal juga menyoroti kehadiran perusahaan Tiongkok dalam industri baja di Indonesia. Hebei Bishi Steel Group yang merupakan produsen baja asal China berencana mendirikan pabrik baja di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Rizal mengingatkan, ekonomi Tiongkok saat ini berada di masa-masa sulit. Pengangguran di negara itu terbilang tinggi.
“Makanya begitu dia ada project, dia mau ambil semua dari ujung tangki, bahan bakunya, orangnya, dan lain sebagainya. Tapi itu tergantung kita, kita maunya seperti apa? kita bisa negosiasi dengan Tiongkok, maksimum pekerja asingnya 10 persen. Malaysia begitu, tapi kita nggak ambil policy ini,” tutur mantan menteri Maritim dan Sumber Daya era Jokowi ini.
Kemudahan regulasi pemerintah juga dinilai Rizal menguntungkan perusahaan manufaktur Tiongkok yang berdiri di Indonesia terhindar dari efek perang dagang. Sebab, produk-produknya diubah menjadi made in Indonesia.
“Kebayang nggak, kalau pabrik baru dibangun di Kendal, dikasih 30 tahun tax holiday, Krakatau Steel kan nggak dapat. Artinya mereka bisa jual dengan lebih murah lagi, 25-35 persen, in the longterm 10 tahun perspektif kegulung Krakatau Steel. Nah kita tidak hati-hati,” Rizal menekankan. (*/RMOL)