JAKARTA – Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja terus dikebut pembahasannya di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Meskipun menuai kontroversi dari asosiasi pekerja atau buruh, pembahasannya diperkirakan akan rampung di awal Oktober 2020.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja seharusnya tidak dibahas dalam waktu cepat. Dia menyarankan sebaiknya pemerintah fokus dulu tangani pandemi virus Corona (COVID-19).
“Jangan buru-buru dibahas dulu karena mestinya pada saat sekarang pemerintah fokus kepada penanganan wabah dan menanggulangi resesi ekonomi. Kalau kemudian diburu-buru saat sekarang, fokusnya bisa pecah, jadi pemulihan ekonominya kurang efektif atau lebih lama,” kata Faisal kepada wartawan, Senin (17/8/2020).
Jika RUU Cipta Kerja dipaksakan selesai pembahasannya dan disahkan pada tahun ini, hasilnya dinilai tidak akan efektif dan bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Bahkan bisa jadi bumerang karena kalau diburu-buru kita tahu sekarang kontroversial, makin banyak yang menolak, jadi kalau diburu-buru untuk kemudian diselesaikan ini akan menimbulkan resistensi. Jadi memang harus pelan-pelan,” jelasnya.
Lagi pula, Faisal bilang, adanya RUU Omnibus Law tidak akan bantu banyak jika masih ada pandemi Corona. Sehingga, pemerintah perlu menyelesaikan wabah dan ekonomi terlebih dahulu, baru membahas kembali RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini.
“Ketika wabah masih ada walaupun itu sudah disahkan kita berharap lantas ada investasi yang masuk, investasi tidak akan meningkat ketika masih ada wabah. Jadi masih ada dampaknya di situ karena ketika wabah masih ada, konsumsi atau permintaan itu turun dan itu mempengaruhi sisi produksi. Kalau sisi produksi juga tidak menguntungkan, investasi tidak masuk,” terangnya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad. Meskipun tujuan Omnibus Law Cipta Kerja baik, pemerintah tidak boleh mengorbankan banyak kepentingan yang bertolak belakang dengan kepentingan ekonomi.
“Misalnya soal lingkungan, soal kesejahteraan buruh yang saat ini bekerja dan katakanlah berkaitan dengan keberadaan UMKM di tingkat lokal,” sebutnya.
Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah melakukan strategi komunikasi dengan pihak yang merasa keberatan dan mencari jalan tengah dari permasalahan tersebut. Hal ini harus dilakukan agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
“Saya kira memang ada kecenderungan itu harus direvisi. Revisinya tergantung kedua belah pihak agar bisa terjadi keseimbangan dalam banyak hal,” tandasnya. (*/Detik)