Oleh : Hersubeno Arief
Hanya butuh waktu tujuh bulan menjadi menteri bagi Idrus Marham untuk menjadi seorang kesatria. Sebutan terhormat itu datangnya dari Presiden Jokowi setelah Mensos itu memilih mundur karena ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka. Pujian yang sama juga disampaikan oleh Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Kata-katanya juga sama persis seperti Jokowi. “Idrus Marham adalah seorang kesatria.”
Di Medsos ada upaya membangun opini, ldrus Marham adalah seorang gentleman. Berani berbuat dan berani tanggung jawab. Langkah mantan Sekjen DPP Golkar itu sebagai tradisi baru dalam politik yang harus diteladani. Idrus dinilai mempelopori budaya baru seperti para pejabat tinggi Jepang yang langsung mengundurkan diri ketika berbuat kesalahan.
Benar bahwa Idrus mengundurkan diri. Benar bahwa dia (harus) berani bertanggung jawab. Tapi apakah seorang petinggi partai pendukung pemerintah, menggunakan kedudukannya untuk mempengaruhi kebijakan. Menggunakan posisinya dan mendapatkan imbalan suap miliran rupiah karena menggolkan proyek, juga merupakan sikap seorang kesatria?
Kalau mengacu pada budaya Jepang, kira-kira kesatria apa ya yang menjadi rujukan. Seorang Samurai, atau Kesatria Baja Hitam, Black Kamen Rider?
Kalau dia Samurai, maka tidak cukup hanya mengundurkan diri. Biasanya permintaan maaf itu diikuti dengan ritual seppuku, bunuh diri (harakiri) dengan merobek perut sendiri menggunakan pedang. Sikap itu menunjukkan betapa orang Jepang sangat menjunjung tinggi budaya malu (shame culture).
Apakah layak seorang pejabat menerima suap disebut sebagai seorang kesatria? Nah ini yang Pak Jokowi perlu pertimbangkan sebelum menyampaikan pernyataan. Pak Jokowi itu presiden lho. Kata-katanya menjadi pegangan rakyat. Sabdo Pandhito Ratu. Semua perkataannya sangat dijunjung tinggi oleh rakyat. Jangan sampai salah mengirim pesan.
Menjaga elektabilitas Jokowi
Mengikuti kasus Idrus ini memang cukup menarik. Kabarnya KPK sebenarnya juga akan menangkap Idrus ketika para petugasnya mendatangi rumah dinasnya dan mencokok politisi Golkar Eni Maulani Saragih. Tapi entah mengapa kemudian diurungkan. Saat itu Idrus sedang menggelar pesta ulang tahun anaknya. Eni ditangkap karena menerima suap dari pengusaha Johanes Kotjo. Dengan menggunakan pengaruhnya Idrus membantu Kotjo mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Idrus dijanjikan akan mendapat imbalan sebesar USD 1.5 juta.
Pasca penangkapan Eni dan Kotjo, KPK mulai memeriksa Idrus. Statusnya sebagai saksi. Dia diperiksa sebanyak tiga kali. Status saksi ini biasanya hanya menjadi pintu masuk KPK untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Setelah seseorang menjadi tersangka, KPK akan melakukan penahanan. Ritual sakral itu kebanyakan dilakukan pada hari Jumat. Karena itu dikalangan media dikenal istilah “Jumat keramat.” Semua proses itu diumumkan oleh KPK kepada publik secara terbuka. Biasanya diiringi dengan drama politik yang menarik. Media terutama TV menjadikan momen tersebut sebagai breaking news. Persis seperti bahasa anak gaul, beritanya pecaaahhhh.
Ketika menetapkan Ketua Umum DPP Golkar Setya Novanto, KPK juga menyampaikan secara resmi melalui media. Bahkan sampai dua kali. Yang pertama Setnov menang praperadilan. Pada penetapan sebagai tersangka yang kedua, Setnov sempat buron. Dia ditangkap di rumah sakit setelah kepalanya kejedot tiang listrik.
Untuk Idrus prosesnya cukup istimewa. Idrus memilih “mengumumkan” sendiri statusnya sebagai tersangka. Tak lama setelah menghadap Presiden Jokowi dan meyerahkan surat pengunduran diri, kepada media dia mengaku telah menerima surat perintah penyidikan (sprindik) dan ditetapkan sebagai tersangka. Artinya Idrus sudah diberi tahu statusnya oleh KPK secara tertutup.
Bagi Idrus hari “Jumat keramat,” berubah menjadi “Jumat yang sakral,” karena hari itu dia ditahbiskan oleh Presiden Jokowi sebagai seorang “kesatria.” Jadi kalau toh Idrus menjadi tersangka koruptor, maka dia adalah seorang tersangka koruptor yang kesatria. Boleh juga Anda menyebutnya sebagai kesatria yang koruptor. Terserah saja mana yang Anda pilih.
Mengapa Idrus terkesan diistimewakan, bahkan dibandingkan dengan mantan bosnya Setya Novanto? Yang harus publik pahami Idrus adalah petinggi partai pengusung Jokowi. Dia juga menjadi pembantu presiden. Penetapan Idrus sebagai tersangka jelas akan sangat berpengaruh terhadap pencapresan Jokowi. Lawan politik bisa menggunakannya sebagai amunisi baru untuk menyerang Jokowi. Karena itu sebelum sempat digoreng oposisi, harus dibuat kemasan public relation (PR) yang cantik. Maka muncullah kata yang seragam antara Jokowi, dan Hasto. “Kesatria.” Jangan dianggap kata itu muncul begitu saja dari langit.
Jokowi dan konsultan PRnya, tampaknya perlu memikirkan kosa kata lain, berjaga-jaga bila ada petinggi partai pendukungnya, dan pejabat lain yang bakal terkena imbas kasus Idrus Marham, atau terkena kasus lain. Tidak bisa lagi mereka disebut sebagai seorang kesatria. Harus ada sebutan lain yang lebih impresif.
Ketua Umum PPP Romahurmuziy misalnya sudah dipanggil KPK. Dia diperiksa sebagai saksi dalam kasus suap dana alokasi perimbangan keuangan daerah pada RAPBN-P. Statusnya bisa saja segera berubah menjadi tersangka. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar kembali diungkit-ungkit kasusnya yang dikenal sebagai “kardus duren.”
Yang lebih serem lagi bila KPK menindaklanjuti pengakuan Mahfud MD. Ketika berbicara di program ILC TV One, Mahfud mengutip pernyataan Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj bahwa dari semua bakal cawapres Jokowi dari NU, hanya dirinya dan Mahfud yang tidak terkena kasus korupsi. Mahfud juga mengaku punya datanya.
Kalau semua kemudian ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, kira-kira apa ya julukan yang tepat untuk mereka? Ada usul? (*/Harsubenoarief.com)