Lebih jauh Ma’ruf menyebut kurangnya kemampuan berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti ancaman kesehatan reproduksi, keselamatan persalinan, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, mencegah anak agar tidak mengalami stunting akibat tidak terpenuhi kebutuhan nutrisinya, sehingga menciptakan generasi yang lemah.
“Dalam perkawinan sering kali yang menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Dalam perkawinan, yang tidak sehat kedudukan perempuan menjadi sangat lemah. Sehingga tidak memiliki posisi tawar dalam mengelola keluarga. Perempuan tergantung secara ekonomi, tidak memiliki kesempatan terbaik untuk menyediakan gizi bagi keluarga dan anak-anaknya,” katanya.
Ma’ruf juga menyinggung terkait pendidikan bagi calon pasangan yang hendak menikah. Dia mengajak agar program kelas konseling pranikah bagi calon pasangan yang hendak membangun rumah tangga agar digalakkan.
“Dalam konteks ini perlu digalakkan lagi adanya semacam kelas konseling pranikah dalam konseling tersebut perlu diajarkan hal-hal paling krusial dalam perkawinan. Misalnya tujuan perkawinan, hak dan kewajiban, serta cara saling memahami pasangan masing-masing, seluk-beluk kesehatan reproduksi dan persalinan kesehatan ibu hamil dan anak,” katanya.
“Bahkan, apabila diperlukan, dibuat aturan bagi calon pasangan perkawinan harus lulus kelas konseling pranikah, baru boleh nikah. Ini supaya dia siap betul,” tambahnya.
Dia memaparkan data perceraian pasangan suami-istri di Indonesia yang semakin tinggi. Menurutnya, faktor tingginya perceraian tersebut disebabkan karena faktor tidak harmonis, tidak bertanggung jawab, faktor ekonomi, hingga adanya pihak ketiga.
“Data ini menggambarkan bahwa pengetahuan yang memadai calon pasangan perkawinan menjadi hal yang sangat mendasar. Sehingga kebijakan yang diambil tentu meminimalkan kasus perceraian yang begitu tinggi harus mengarah pada faktor hulu, yaitu kesiapan mental dan pengetahuan calon mempelai untuk membangun sebuah keluarga,” pungkasnya. (*/Detik)