Tata Kelola Pilkades

Ini tentu tak cukup untuk menyelesaikan ”permainan” yang sudah menjamur di tengah masyarakat. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam negeri dan Pemerintah Daerah masih punya kelemahan dalam sistem pengawasan. Tentu hal ini harus menjadi perhatian khusus, terutama DPR, untuk meninjau UU Desa. Faktanya, selama ini, setiap menjelang pemilihan umum, semua peserta membuat kesepakatan menolak money politics yang disaksikan semua aparat penyelenggara, pengawas, dan pengamat, tapi selalu ada yang diam-diam mengkhianati kesepakatan tersebut.

Ironisnya, baik UU Desa, maupun Permendagri yang secara spesifik mengatur tentang pilkades, sama sekali tidak mencantumkan pasal dan atau ayat yang mengatur tentang penegakan hukum proses pilkades, di antaranya mengenai sanksi yang dikenakan kepada pelaku politik uang.

Kekosongan hukum itu dimanfaatkan betul oleh para calon kepala desa. Yang dirugikan jelas masyarakat. Logikanya adalah, saat pemilu dan atau pilkada, dimana sanksi politik uang diatur sedemikian ketat, masih saja terjadi kasus jual beli suara, antar kandidat dengan pemilih. Apalagi pilkades yang sama sekali tidak ada aturan mengenai hal itu.

Sengketa Hasil Pilkades

Pasal 37 ayat 5 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Dea menerangkan, Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih menjadi Kepala Desa paling lama 30 hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.

Ayat 6 UU 6/2014 menyebutkan, dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat 5.

Dapat dimaknai bahwa Bupati/Walikota diberi kewenangan dalam menyelesaikan perselisihan hasil pilkades. Itu artinya, mekanisme politik yang digunakan dalam memutus sengketa dimaksud. Karena Bupati/Walikota adalah pejabat politik tertinggi di Kabupaten/Kota. Kondisi demikian tentu saja akan menjadi sangat rentan karena Bupati/Walikota tentu akan mempertimbangkan aspek politik dalam menyelesaikan perkara. Terlebih jika Bupati/Walikota dimaksud terafiliasi atau bahkan memegang jabatan struktural pada parpol tertentu.

Dalam konteks Provinsi Banten, 3 dari empat daerah yang hendak menggelar pilkades, kepala daerahnya adalah ketua parpol. Bupati Serang Rt Tatu Chasanah adalah Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Banten, Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya adalah Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Banten, sementara Ahmad Zaki Iskandar adalah Ketua DPD Partai Golkar Provinsi DKI Jakarta. Sementara Bupati Pandeglang Irna Narulita terafiliasi dengan PKS, karena posisi suaminya Dimyati Natakusumah sebagai Anggota Komisi III DPRI RI dari Fraksi PKS. Posisi itu jelas mempengaruhi sang kepala daerah dalam memutus perkara hasil pilkades.

Layaknya sebuah pemilihan, harus ada mekanisme hukum yang dilakukan untuk menyelesaikan perkara hasil pilkades. Harus ada lembaga hukum yang diberi kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pilkades. Ini semata untuk menjamin kepastian hukum sekaligus legitimasi hasil pilkades. (***)

Pemilihan kepala desaPilkadesPILKADES Serentak
Comments (0)
Add Comment