Belajar Ikhlas di Hari Raya ‘Iedul Adha

SEBAGAI hari besar Islam, Idul Adha yang tahun ini secara hitungan ilmu falaq jatuh pada tanggal 1 September 2017 hari ini, ummat Islam berkumpul pada pagi hari untuk melakukan Shalat Ied berjama’ah di Masjid-masjid hingga di tanah lapang, seperti ketika ‘Iedul Fitri.

Pada hari besar yang bersejarah ini pula dianjurkan bagi ummat Islam yang mampu untuk menyembelih hewan qurban, untuk memperingati peristiwa agung ketika Nabiyullah Ibrahim As rela mengorbankan putranya Ismail As untuk Allah, yang kemudian digantikan oleh-Nya dengan domba.

Sejenak izinkan pemikiran penulis iseng; bisa dibayangkan kalau peristiwa agung tersebut terjadi di zaman ini, dimana doktrin-doktrin pemikiran dan sistem dari dunia barat sudah demikian berkembang luas dan tidak sedikit yang telah diadopsi oleh Negara kita.

Bagaimana kalau seumpamanya peristiwa penyembelihan Nabi Ismail As oleh bapaknya Nabi Ibrohim As itu dibikin terjadi saat ini?

Bisa jadi banyak manusia sekarang yang menolaknya karena menganggap sebagai kekejaman, tidak manusiawi, melanggar HAM dan sebagainya. Alangkah sibuknya Kepolisian, Komnas HAM, aktivis HAM sedunia bahkan mungkin PBB yang ikut sibuk berupaya mencegah peristiwa ini terjadi. Hehehe…

Kalau menurut saya, kejam tidaknya suatu tindakan ada konteksnya, sebagaimana Nabi Khidir As mencekik anak kecil di hadapan Musa As. Semua terserah-terserah Allah. Bukankah Alam Semesta, kita dan semua isinya ini Milik-Nya?

Selain ‘Iedul Adha, hari besar ini juga sering disebut Hari Raya Haji, ‘Iedul Qurban, atau Lebaran Haji, dan pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada kita untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Bagi ummat Islam yang belum mampu untuk mengerjakan Ibadah Haji, maka kita diberi kesempatan untuk berqurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan kita kepada Allah SWT.

Berqurban Sebagai Bentuk Ketakwaan Kepada Allah SWT dan Kasih Sayang Sesama Manusia

Selain berqurban adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bisa juga sebagai bentuk kepedulian kita kepada sesama manusia. Karena daging hewan qurban yang kita sembelih dibagikan kepada sesama utamanya fakir miskin yang mungkin jarang sekali untuk bisa mengkonsumsi daging karena tidak terjangkau oleh keadaan ekonominya.

Penyembelihan hewan kurban dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah Shalat ‘Iedul Adha, atau sampai dengan tanggal 13. Ketiga hari terakhir ini disebut dengan hari Tasyriq. Dan penyembelihan tidak boleh dilakukan sebelum pelaksanaan Shalat ‘Iedul Adha.

Sebagaimana hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim: Rasululullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih hewan qurban sebelum Shalat maka harus menyembelih hewan lain untuk menggantinya. Dan barang siapa yang belum menyembelih, maka sembelihlah (sesudah Shalat) dan sebutlah nama Allah”.

Setelah disembelih, daging hewan langsung diberikan dengan mengutamakan golongan fakir miskin yang mungkin dalam kesehariannya tidak mempunyai kemampuan untuk mengkonsumsi daging, karena di luar jangkauan daya beli mereka. Apabila di daerah orang yang berkurban masyarakatnya sudah terbiasa mengkonsumsi daging, maka boleh saja hewan tersebut disebarkan daerah-daerah yang betul-betul membutuhkannya.

Adapun hewan qurban yang disembelih jika memiliki keleluasaan dana maka hendaknya yang jantan, yang gemuk dan bertanduk, sebagaimana qurban yang dilakukan oleh Rasululullah Saw.

Dan perlu diketahui, menyembelih hewan qurban pada Hari Raya ‘Iedul Adha seperti dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim As yang mendapatkan perintah melalui mimpi untuk menyembelih anaknya yang sangat dicintainya, yaitu Nabiyullah Ismail As. Dan karena ketundukkan dan keikhlasannya kemudian Allah menggantikannya dengan seekoor kibasy (domba). Dan hingga kini bahkan terus berlanjut sampai akhir zaman. Sebagaimana diungkapkan kisahnya dalam Al-Qur’an surat Ash-Shaffat (37) ayat 102-111.

Masih banyak hikmah yang dapat dipetik dari keteladanan Nabi Ibrahim As dan putranya Ismail As ini, diantaranya sebagai bentuk syukur kita yang mewujud dalam prosesi ritual pelaksanaan syariat-Nya.

 

Makna Qurban Untuk Ummat Islam Bisa Belajar Ikhlas

Selain hikmah, ada banyak makna yang yang terkandung dalam peristiwa agung tersebut, dan utamanya adalah ummat Islam belajar bersama untuk bisa Ikhlas. Yang sudah semestinya kita peroleh tahun ini ketika kita kembali dipertemukan oleh Idul Adha.

Maka, janganlah pernah lupa makna sesungguhnya Idul Adha yang mengisahkan tentang keikhlasan seorang Ayah bernama Nabi Ibrahim AS dalam merelakan putranya yang telah dinantikan kehadirannya selama bertahun-tahun, namun harus diqurbankan sesuai dengan perintah-Nya.

Sudahkah tahu rasanya menunggu bertahun-tahun lamanya sesuatu yang sangat kita harapkan kedatangannya??

Apakah kita pernah merasakan kebahagiaan tiada tara saat sesuatu yangg kita tunggu begitu lama itu akhirnya datang kepada kita??

Tapi, pernahkah kita tahu rasanya merelakan sesuatu yang sudah kita tunggu begitu lama, dan kita sudah sedemikian cintanya, namun harus diqurbankan dan dikembalikan kepada-Nya??

Itulah perasaan Nabi Ibrahim AS kala itu.
Merelakan sesuatu yang sangat kita cintai, tentu bukan hal yang mudah. Apalagi hal tersebut telah sangat kita nantikan bertahun lamanya. Namun ketika akhirnya Allah SWT mengujinya dengan perintah untuk berqurban, disanalah keimanan dan ketaqwaan Nabi Ibrahim As diuji untuk merelakan, mengikhlaskan Nabi Ismail As putranya untuk disembelih.

Namun, sungguh rencana-Nya begitu indah dan tepat pada waktunya. Keikhlasan Nabi begelar Kholilullah (Sahabat Karibnya Allah) terjawab sudah, dan terganti kebahagiaan. Beliau tidak harus kehilangan putranya. Atas perintah Allah, Malaikat dengan kecepatan yang mungkin tidak bisa dihitung oleh Einstein atau ilmuwan modern sekarang, Nabi Ismail As yang dalam posisi akan tersembelih tiba-tiba berubah menjadi domba yang sudah tersembelih. Dan tiba-tiba berada disamping Ayahnya Nabi Ibrohim As. Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar laa ilaahailallah wallahuakbar Allahuakbar walillahilmamd…

Peristiwa agung tersebut hingga kini masih terabadikan oleh ummat Islam sedunia yang memperingatinya dengan menyembelih hewan qurban, dan fantastisnya dampak ekonomi serta kebahagiaan kaum muslimin bisa menikmati daging dari momentum luar biasa ini.

Begitulah cara Allah menguji kita, terkadang Allah ingin tahu seberapa besar keimanan dan kecintaan kita kepada-Nya, apakah kita masih menomorsatukan-Nya atas segala apapun yang fana didunia ini?

Melalui kisah diatas kita diingatkan, ketika kita kehilangan sesuatu yang sangat kita cintai, atau ketika kita harus merelakan kepergian sesuatu yang sudah sangat kita jaga begitu lama. Maka tetaplah berbaik sangka, karena sesungguhnya rencana dan ketetapan-Nya maha indah, baik, bahkan lebih dari apa yg kita harapkan.

Dan apa definisi ikhlas itu? Tentu akan sulit mendefinisikannya, tapi melalui kisah peristiwa besar yang setiap tahun diperingati dan terkandung di dalam Al-Qur’an ini, perasaan hati kita bisa merasakannya dan logika kita bisa menalarnya.

Setahu penulis sih, Ikhlas bukanlah saat kita mengatakan; “Saya ikhlas kok”, menunjukan pemberian atau kebaikan-kebaikan kita di Media Massa dan Medsos, apalagi ada tujuan-tujuan kepentingan pribadi dan kelompok.

Aih, cecakal untuk memotivasi? Menunjukan kebaikan untuk memotivasi itu ada harus lebih dulu memahami nafsu diri, ruang serta batas konteksnya. Karena tidak baik juga seseorang berbuat kebaikan karena selalu dimotivasi. Bisa-bisa jadi marak bisnis motivasi. Hehehe

Pada dasarnya keikhlasan bukan sesuatu yang diucapkan oleh mulut, melainkan dari hati. Saat kita ikhlas, dalam niat puasa sunnah Arafah kita tidak ada tendensi agar dosa kita dalam sekian tahun dihapus, setahu saya itu sih namanya pamrih. Puasa ya puasa aja, cuma karena Allah. Titik.

Saat kita ikhlas, maka tidak akan ada rasa sakit yang dapat menyentuh kita, karena kita sudah ikhlas, karena kita berserah diri dan berbaik sangka kepada Allah, karena kita percaya Allah memiliki rencana dalam kehidupan ini, dan hanya kepada Allah lah kita menggantungkan hidup kita.

Dalam tulisan ini seyogyanya kita bisa belajar bersama, dalam meraih hikmah ‘Iedul Adha dan memahami esensi makna keikhlasan yang diskenariokan oleh Allah SWT beberapa millenium silam. Maha Besar Allah, peristiwa tersebut hingga kini dan seterusnya masih kita peringati.

Selamat Hari Raya ‘Iedul Adha 1438 Hijriyah.

Semoga setelah kita memahami makna keikhlasan, kita bisa mengaktualisasikannya pada kehidupan sehari-hari, sehingga kita bisa ridho atas setiap ketetapan Allah selama “outbond” sejenak di dunia ini. Dan bagi saudara-saudara kita yang sedang ikhlas dalam beribadah Haji, semoga menjadi Haji Mabrur. Aamiin. (*)

*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten

Idul Adha
Comments (1)
Add Comment