Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kemudian Baginda Maulana entah siapa tamu kami malam itu bertanya kepada para pemuda-pemudi yang berada di tempat itu bersama saya:
“Di mana malam ini kalian berkumpul? Bukankah malam ini jatuh jadwal bulanan kalian yang sudah berlangsung lebih dua puluh tahun?”
“Kami memutuskan untuk tinggal di rumah masing-masing sampai waktu tertentu”, jawab salah seorang spontan.
“Waktu tertentu itu berapa lama?”
“Kami tidak tahu. Kami menunggu tanda pemberitahuan itu dari Allah. Terus terang saya sendiri sejak tadi berpikir bahwa kehadiran Panjenengan membawa tanda dari Allah itu. Siapa tahu kami termasuk hamba-hamba yang disayang oleh Allah”.
Beliau tidak menjawab, malah bertanya lebih lanjut: “Kalian tidak berkumpul malam ini apakah karena takut penyakit yang tersebar oleh kerumunan kalian?”
“Tidak, Baginda”, seorang remaja di antara mereka menjawab, “Kami tidak berani melanggar keniscayaan yang Allah anugerahkan bahwa tidak ada takut dan sedih kecuali yang berkaitan dengan posisi kami di hadapan ketentuan Allah.Ala inna auliya`allahi la khoufun ‘alaihim wala hum yahzanun, meskipun kami juga takut untuk takabur dengan gedhe rumangsa merasa bahwa kami adalah Wali-wali Allah”.
Temannya menambahkan: “Takut hanya kepada Allah dilandasi oleh ilmu yang Allah juga penganugerahnya, agar tepat perspektif, konteks dan proporsinya. Karena kita hanya takut kepada Allah maka kita juga takut kepada keterpelesetan untuk berbuat dosa, untuk takabur dan sembrono. Kalau kami takut hanya kepada Allah tidak berarti kami berani bunuh diri misalnya dengan terjun dari gedung bertingkat ke tanah”.
“Apakah kalian berbangga hati bahwa kami datang dari atas angkasa menemui kalian?”
Temannya si remaja menjawab: “Kami tidak punya rumus pengetahuan untuk merasa bangga atau takut atau apapun lainnya. Ada logika dan cara berpikir yang kami pahami, tetapi Allah lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu di balik kehendak-Nya sendiri. Sejauh-jauhnya upaya kami hanyalah menghasilkan prasangka. Dan kami takut prasangka kami itu akan membuahkan dosa. Oleh karena itu kami tidak tahu apakah kami bangga atau tidak”.
Remaja yang di sampingnya lagi menambahkan: “Kami tahunya hanya bahwa kami tidak berdaya, la haula wa la quwwata illa billah. Andaikan pantas dan diperkenankan, kami sangat berharap diciprati daya dan kuasa Allah itu melalui Baginda”.
Tiba-tiba tamu angkasa itu menunjuk seorang remaja lainnya dan bertanya: “Bagaimana kalau kamu dihinggapi penyakit yang kalian sangat takuti itu?”
Anak itu menjawab, selancar teman-temannya sebelumnya: “Saya dan kami semua berlindung kepada Allah atas kemungkinan itu. Tetapi kalau menurut Allah yang terbaik bagi kami adalah dihinggapi penyakit itu, kami meyakini bahwa Allah mengetahui persis apa yang baik bagi kami. Sami’na wa atha’na. Mungkin kami harus membayar kepada Allah dosa-dosa kami. Kami akan tanamkan benih keimanan kepada pernyataan Allah lau anzalna hadzal Qur`ana ‘ala jabalin laroaitahu khosyi’an mutashoddi’an min khosyyatillah…”
Remaja yang sebelumnya menambahkan: “Simbah kami pada suatu hari di sebuah Rumah Sakit divonis umurnya tinggal 3,5 bulan oleh Pusat Ilmu Kedokteran Modern. Sesampainya di rumah, Simbah kami mandi menyelam dengan membaca Al-Hasyr 21 itu berulangkali sekuat napasnya. Esoknya datang lagi ke para Dokter Rumah Sakit itu dalam keadaan sehat walafiat. Akan tetapi itu bukan pelajaran tentang kehebatan atau iman manusia, melainkan cermin tentang kuasa dan cinta Allah kepada hamba-Nya, tanpa seorang pun hamba yang bisa mengetahui apakah Allah mencintainya atau tidak”.
“Kalau kalian dipanggil Allah ke alam akhirat dengan lantaran Corona?”
“Tidak ada siapapun makhluk Allah yang punya hak asasi atas apapun saja, termasuk atas badan dan nyawanya. Semua milik Allah. Inna lillahi wa inna ilaiHi roji’un. Asalkan diambilnya kami itu tidak karena Allah murka, maka kami akan terima apapun saja ketentuan-Nya. “In lam takun ‘alayya Ghodlobun fala ubali” — demikian Kanjeng Nabi Muhammad Saw mengajari kami. Kami belajar tenteram dengan itu di naungan Allah, karena yang Allah panggil adalah jiwa yang tenteram. “Ya ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’i ila Robbiki rodliyatan mardliyah”. Mudah-mudahan Allah Swt memanggil karena menunggu hamba-Nya di sorga-Nya. “Fadkhuli fi ‘ibadi wadkhuli jannati”. Tak ada yang lebih membahagiakan melebihi Allah mengakui kita sebagai hamba-Nya. Itu eksistensi sejati. (*/Red)