*) Oleh: Hersubeno Arief
Markas Kodam Jaya di kawasan Cililitan, Jakarta Timur banjir karangan bunga.
Narasi dan pesan yang ingin disampaikan, sangat jelas.
Rakyat mendukung langkah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman.
Pangdam Jaya memang tengah jadi perbincangan nasional, menyusul tindakannya mencopot dan membersihkan baliho ucapan selamat datang Habib Rizieq Shihab (HRS).
Bahwa tindakan Mayjen Dudung didukung oleh rakyat, itu bisa terlihat jelas dari beragamnya nama pengirimnya.
Mulai dari perorangan maupun organisasi kemasyarakatan.
Sekali lagi itu kesan dan pesan yang ingin dibangun.
Tapi apakah benar strategi komunikasi dengan cara show of force, membanjiri markas Kodam Jaya dengan karangan bunga itu berhasil?
Publik menangkap pesan dan mempunyai persepsi yang sama? Masyarakat kemudian ikut mendukung dan memberi basis legitimasi.
Dengan begitu Pangdam Jaya dapat terus melanjutkan tindakannya?
Kelihatannya tidak begitu. Publik malah menangkap sebaliknya.
Narasi yang berkembang, terutama di media sosial, para cukong yang dulu mendukung mantan Gubernur DKI Ahok berada di balik aksi pembersihan baliho HRS.
Lho kok bisa begitu?
Pertama, pilihan membanjiri Markas Kodam Jaya dengan karangan bunga ini bukan ide strategi komunikasi yang orisinil. Duplikasi.
Publik dengan mudah diingatkan kembali pada modus yang sama. Saat Ahok kalah pada Pilkada DKI 2017. Saat itu Kantor Pemprov DKI berubah menjadi lautan karangan bunga.
Jadi tidak salah bila kemudian publik menyimpulkan, pelaku atau aktor yang menggerakkan aksi ini sama dengan pelaku 2017.
Kalau menggunakan terminologi pidana, pelakunya adalah residivis. Mengulang perbuatan pidana yang sama. Cuma yang ini residivis karangan bunga ha…ha…ha….
Tentu ini bukan perbuatan pidana. Tidak bisa dihukum. Yang menghukum publik.
Tidak percaya dengan pesan yang ingin dibangun dan disampaikan.
Kedua, banjir karangan bunga ke Pemprov DKI bukan sebuah strategi yang sukses.
Media saat itu berhasil membongkar fakta, bahwa sebagian besar pengirim bunga itu hanya dilakukan oleh beberapa orang saja.
Seorang pemilik toko bunga mengaku mendapat pesanan ratusan karangan bunga dari seseorang, dengan nama pengirim yang berbeda-beda. Alias nama fiktif.
Sesungguhnya ada juga perorangan yang benar-benar mengirim karangan bunga. Tapi fakta itu tertutup dengan temuan media.
Ada cukong yang membayari karangan bunga itu.
Jadi dapat disimpulkan dukungan kepada Ahok tidak natural. Ada mobilisasi.
Ada cukong yang jadi Bandar, sehingga kantor Pemprov DKI menjadi lautan bunga.
Kecurigaan yang masuk akal juga.
Karena pandemi, ekonomi sulit. Hanya orang yang punya kelebihan duit saja, yang mau buang-buang duit membeli karangan bunga.
Dari sisi komunikasi, modus pengiriman bunga ini adalah strategi komunikasi yang gagal (communication failure).
Agak mengherankan bila sebuah strategi yang gagal, kok diulang kembali?
Kekonyolan serupa juga terjadi. Aliasi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merasa dicatut namanya.
Mereka tidak pernah merasa mengirim karangan bunga.
Akibatnya yang ketiban apes, ya Mayjen Dudung.
Publik menilai ada tangan-tangan cukong Ahok di balik penertiban baliho HRS.
Maksud hati dari siapapun yang berada di balik gerakan mobilisasi pengiriman bunga ini mendukung Pangdam Jaya, malah berbuah sebaliknya.
Foto-foto Pangdam Jaya sedang berfoto dengan para pengusaha etnis Cina, menyebar luas di medsos.
Targetnya untuk mendiskreditkan Mayjen Dudung. Padahal bisa saja foto-foto itu tak ada kaitannya.
Pangdam Jaya layak menegur keras si oknum yang memobilisasi pengiriman bunga ini, siapapun orangnya.
Ketiga, sebelum heboh pengiriman karangan bunga ini publik juga digemparkan dengan adanya video seorang wanita yang mengenakan baju kotak-kotak ikut naik panser.
Kendaraan tempur itu digunakan untuk mengawal pasukan yang membersihkan baliho HRS di kawasan Petamburan.
Publik saat itu menyebutnya ada Ahoker alias pemuja Ahok yang ikut bersama TNI menertibkan baliho HRS.
Penerangan Kodam Jaya sudah menjelaskan bahwa wanita tersebut adalah seorang wartawan. Dia naik panser dengan pertimbangan keamanan.
Wartawan naik kendaraan tempur itu sebenarnya praktik biasa. Namanya embedded journalism. Tapi biasanya itu hanya terjadi di medan tempur.
Kegiatan itu menjadi terkenal ke seluruh dunia, ketika para wartawan ikut bersama pasukan AS menyerbu Iraq dalam Perang Teluk.
Masalahnya penerangan Kodam Jaya juga tidak menyebut jelas identitas si wartawan dan dari media mana.
Spekulasi liar dibiarkan berkembang di tengah publik, dengan berbagai bumbu penyedapnya.
(Pesan tidak jelas)
Kegagalan strategi komunikasi politik semacam itu harus jadi pelajaran, terutama bagi instansi pemerintah.
Di era digital, dimana informasi bisa dibuat dan disebar secara bebas oleh semua orang, dampaknya bisa sangat serius.
Apalagi untuk keputusan penting dan sensitif. Bisa berantakan gak karuan.
Seorang pejabat tidak boleh mengambil sebuah kebijakan, tanpa memikirkan strategi komunikasi politiknya secara matang.
Semuanya harus dirancang secara matang . Ditimbang-timbang plus minusnya. Tidak boleh asal tabrak.
Gaya militer zaman dulu: hajar dulu, urusan belakangan, sudah tidak berlaku.
Satu hal lagi yang perlu dberi catatan, pesan harus jelas, dan tidak boleh berubah-ubah.
Mayjen Dudung sebelumnya mengklaim bahwa pencopotan baliho HRS adalah instruksinya.
Belakangan setelah mendapat serangan dari berbagai kalangan. Istana dan juga Mabes TNI membantah memberi instruksi, Mayjen Dudung mengatakan pencopotan itu atas permintaan Satpol PP.
Mana yang benar? Publik telanjur tidak percaya karena pesan yang disampaikan Pangdam tidak jelas, dan berubah-ubah.
Orang Minang punya pepatah menarik untuk menggambarkan situasi ini.
“Kato nan dahulu, sabana kato. Kato kudian, kato nan dicari-cari.”
Kata yang diucapkan paling awal, adalah kata sesungguhnya. Kata yang diucapkan kemudian, merupakan dalih yang dicari-cari.
Kasus pencopotan baliho bisa menjadi contoh menarik kegagalan sebuah strategi komunikasi politik.
Banjir karangan bunga malah berubah menjadi banjir caci maki. (***)