Oleh: Roby Ahdiyat
Sebagaimana kita ketahui, pembahasan paling sentral yang sampai hari ini menjadi kebanggaan Ummat Islam di indonesia, dimana Eksistensi Ulama begitu mewarnai corak sejarah peradaban Intelektual di Indonesia dari masa ke masa. Harus diakui, bahwa Para Ulama Nusantara begitu besar pengaruhnya dalam perdaban kemanusiaan dan keummatan di tanah air.
Dalam kaitannya dengan ini, saya berupaya mengulas dari berbagai sumber, antara lain referensi Buku yang berjudul “Ulama dan Kekuasaan ; Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia” yang ditulis Prof DR Jajat Burhanudin MA (Peneliti juga Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Ada pembahasan menarik yang saya dapati dalam sumber tersebut tentang kehidupan sosial – keagamaan “Komunitas Jawi di Timur Tengah” sejak awal abad 19 berdasarkan pengamatan langsung di Mekkah pada 1884 – 1885 oleh Snouck Hurgronje.
Adapun Komunitas Jawi adalah istilah yang digunakan untuk umat Islam Nusantara dan Asia Tenggara yang tinggal dan belajar di Makkah, ini membuktikan bahwa semangat tholabul ‘ilmi menjadi salah satu aspek utama kehidupan bagi mereka. Jadi keberangkatan umat Islam Nusantara ke Mekkah bukan hanya dalam rangka menunaikan ibadah haji dari rukun Islam ke 5 saja, tetapi juga tholabul ‘ilmi, sehingga sekembalinya mereka ke tanah air membawa perubahan dan kemajuan yang begitu besar dalam Transmisi nilai – nilai keislaman.
Fakta menunjukan bahwa Pada akhir abad ke 19 semakin banyak jumlah jama’ah haji dari Nusantara yang melahirkan peningkatan jaringan keilmuan dengan Timur Tengah yang membuat Islam di Nusantara semakin terintegrasi secara penuh dengan pusat Islam. Kemudian berpengaruh besar terhadap peradaban kemanusiaan, keummatan dan corak sejarah Nusantara untuk generasi selanjutnya sampai kini. Sehingga ingin saya katakan, “Merekalah Para Intelek (Ulama) dari Nusantara untuk Nusantara.”
Terbentuknya Komunitas Jawi, Meningkatkan Jaringan Keilmuan di Nusantara. Makkah menjadi peranan penting sebagai “Jantung Kehidupan Keagamaan di Nusantara” (Snouck Hurgronje 1931 : 291). Komunitas Jawi memperkuat jaringan yang makin intensif antara Asia Tenggara dan Timur Tengah. Sebagai bukti meningkatnya jaringan tersebut, dengan beredar luas buku – buku agama (kitab) dan meningkatnya permintaan pendapat hukum (fatwa) kepada ulama – ulama Makkah adalah diantara bukti meningkatnya jaringan tersebut. Pengalaman para ulama yang belajar di Makkah berdampak besar pada perkembangan ulama menjadi sebuah komunitas berbeda (distinct community), yang melalui cara itu mereka membangun otoritas keagamaan di antara umat Islam dunia. Itu yang kemudian menjadi bagian terpenting dari pengalaman menjadi para Ulama Nusantara menjadi Komunitas Jawi di Makkah, selain melaksanakan ibadah haji.
Ulama – Ulama Jawi Terkemuka di Timur Tengah
Dalam kaitan ini, diantaranya ialah : Nawawi Al-Bantani (1813-1897), Syekh Ahmad Abdul Ghani Sumbawa, Syekh Akhmad Khotib Sambas Kalimantan, Syekh Ahmad bin Zaid dari Solo Jawa Tengah, Yusuf Sumbulaweni, Nahwrawi, Abdul Hamid al-Daghestani, Mahfudz Termas, Pacitan Jawa Timur (1868-1919).
Nawawi Banten (Muhammad Nawawi Al – Bantanai, 1813 – 1897). Beliau tidak hanya mencicipi posisi intelektual terkemuka di Timur Tengah sebagai “Sayyid Ulama al-Hijaz” yang bertarap internasional, tetapi juga salah satu ulama paling penting yang berperan dalam proses transmisi Islam ke Hindia – Belanda. Karya – karyanya berpengaruh besar di Nusantara, bahkan menjadi materi utama yang dipelajari dalam pembelajaran di pesantren (Wijoyo 1997: 108 – 110), sehingga beliau diakui sebagai arsitek pesantren. Menjadi sumber intelektual bagi perkembangan diskursus Islam di Hindia Belanda abada 19.
Dari Komunitas Jawi inilah, di Tangan Nawawi dan Mahfudz, lahir sejumlah ulama terkemuka diantaranya seperti ; Kholil Bangkalan (w.1923) dari Madura, Hasyim Asy’ari (1871 – 1947) dari Jombang Jawa Timur, Wahab Hasbullah (1887-1943) dari Yogyakarta, Asnawi Kursus (1861 – 1959), Mu’amar bin Kiai Badawi dari Lasem, Ma’sum bin Muhammad Lasem dari Jateng, Kiai Abbas Buntet dari Cirebon Jawa Barat, KH Ahmad Dahlan. Sementara dari Banten kampung Halaman Nawawi juga penting disebutkan diantaranya Haji Ilyas dari Serang, Tubagus Muhammad Asnawi dan Abdul Ghaffar dari Caringin, K.H Mas Abdurahman dari Menes Pandeglang Pendiri Mathla’ul Anwar (MA:1916).
Dimana kemudian mereka mentransformasikan spirit Nawawi dan Mahfudz ke dalam bentuk pengajaran di Pesantren yang mereka dirikan. Yang kelak akan mewarnai peradaban di Nusantara.
Seperti Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdatul Ulama (NU) pada 1926, menandai puncak solidaritas yang kuat diantara para ulama, KH Mas Abdurahman Mendirikan Mathla’ul Anwar (MA) pada 1916 di Menes Pandeglang – Banten, setelah sebelumnya KH Ahmad Dahlan mendirikan Mumahadiyah (MD) pada 1912.
Ada juga Zaenudin Sumbawa dari Nusa Tenggara yang juga tinggal di Makkah semasa dengan Nawawi, yang kemudian mendirikan Nahdatul Wathon (NW). Sebetulnya masih banyak yang belum di sebutkan yang kemudian menjadi kekuatan Kosmik yang bergerak dibidang dakwah, pendidikan dan sosial, seperti Persatuan Islam (Persis), Alkhaeriyah.
Bermula dari Komunitas Jawi itulah, kemudian bermunculan intelektual – intelektual (ulama nusantara) yang berpengaruh besar mewarnai corak sejarah peradaban sekaligus menjadi Benteng – Benteng kekutan Kosmik di Tanah Air dari abad 19 sampai saat ini .(*/adm)