Oleh: Ahmad Basori
Mewabahnya Covid-19 di Indonesia menyebabkan sejumlah pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan meliburkan sekolah. Proses pembelajaran dilakukan dari rumah menggunakan jaringan internet. Bukan hanya anak, orangtua pun terkena aturan untuk bekerja dari rumah guna memutus mata rantai penyebaran wabah Covid-19. Akibat positifnya, orangtua memiliki porsi waktu yang cukup besar untuk mendidik anak dibandingkan guru di sekolah.
Kebijakan “merumahkan” peserta didik dan orang tua merupakan momentum untuk membangun kembali tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak seperti yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara dengan trimatra pendidikan. Selama ini orangtua cenderung menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak kepada sekolah. Faktanya tak sedikit orangtua yang menelantarkan anak karena disibukkan mencari nafkah.
Sebagai lembaga pendidikan pertama, keluarga memiliki peran yang signifikan bagi kualitas pendidikan anak. Menurut para ahli, faktor dominan yang menyebabkan kenakalan anak dan berkembang potensi kejahatannya bersumber pada kesalahan pendisiplinan ayah, supervisi ibu, dan lemahnya kondisi keutuhan keluarga.
Ahmad syalabi menegaskan bahwa anak merupakan gambaran karakter keluarga, baik kebaikan maupun kejelekan. Segala yang didengar dan dilihat anak dalam keluarga terutama dari ibu dan ayahnya akan membentuk tabiatnya. Menurut Sigmund Freud, masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan psikologis yang dihadapi orang dewasa disebabkan perlakuan yang salah terhadap anak pada masa kecil.
Kebijakan “merumahkan” siswa membuat orangtua mengalami kegagapan dalam mendidik anak. Dalam mendidik anak, orangtua memiliki persepsi yang keliru mengenai pendidikan keluarga yang berpandangan bahwa perannya sebatas menggantikan pengajaran guru di kelas, sebatas mengawasi belajar secara daring dan membantu anak mengerjakan tugas yang diberikan guru.
Idealnya, peran orangtua dalam mendidik anak lebih dari sekadar menggantikan guru di sekolah. Orangtua harus berada di garda terdepan dalam pembentukan karakter anak bangsa.
Artinya, pendidikan keluarga yang bersifat informal itu menekankan hubungan interaktif, tak hanya kuantitas tetapi tentu saja kualitas pergaulan orangtua-anak melalui komunikasi personal yang mendalam. Untuk itu, sangat urgen diupayakan pengefektifan pendidikan karakter melalui harmonisasi kehidupan keluarga, pemberian wawasan dan aplikasi kasih sayang, penyampaian pesan dan kemampuan mengatasi konflik orangtua-anak.
Sebagai garda terdepan dalam membentuk karakter anak bangsa, orangtua harus dibekali pengetahuan teoritis maupun praktis cara mendidik. Pemberian bekal itu harus menjadi tanggung jawab seluruh eleman bangsa.
Secara struktural, pemerintah melalui direktorat pembinaan pendidikan keluarga harus memiliki program yang langsung menyentuh kesadaran orangtua, sebagai misal, melalui seminar, workshop, atau pelatihan terkait pendidikan dalam keluarga.
Selama ini pemerintah terkesan mengabaikan pendidikan informal (keluarga) padahal di dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan 3 jalur pendidikan yaitu pendidikan formal, informal dan nonformal. Dari ketiga jenis pendidikan itu pendidikan formal terasa di abaikan dan di anak tirikan.
Sementara itu, sekolah mesti membangun komunikasi intensif dengan orangtua dalam membentuk karakter anak didik. Kesuksesan sekolah dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan ke dalam jiwa anak didik tergantung pada sedalam apa karakter ditumbuhsuburkan di keluarga. Sebagus apa pun program sekolah dalam membentuk karakter anak tidak akan berjalan optimal bahkan gagal, jika di rumah, orangtua tidak sinergis dan komunikatif dengan sekolah dalam melaksanakan pendidikan keluarga secara maksimal.
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses terwujudnya pendidikan berkualitas dalam keluarga melalui komunitas-komunitas parenting hingga pengajian keagamaan yang materinya secara sistematis tentang pendidikan keluarga.
Sudah saatnya seluruh elemen bangsa memperhatikan pendidikan keluarga dengan serius.
Kegagapan orangtua menjadi guru keluarga dapat menjadi persoalan pendidikan bangsa. Karena pembentukan karakter sejatinya dimulai dari lembaga pendidikan informal terpenting dalam kehidupan anak. Jika lembaga ini terabaikan maka sama saja mengabaikan masa depan generasi bangsa. (***)