Kaum Buruh hari ini dan jutaan rakyat Indonesia lainnya, dihadapkan pada posisi yang sangat dirugikan seperti pelanggaran hak-hak normatif buruh, pemutusan hubungan kerja (PHK), buruh yang tidak dibayar lantaran harus melakukan isolasi mandiri atau dirawat di rumah sakit akibat dari terpapar covid-19, pemotongan upah, akses vaksin yang sulit, dan rendahnya perhatian dan perlindungan terhadap kesehatan serta keselamatan bagi para pekerja.
Kondisi carut marut serta gagapnya Pemerintah dalam hal menanggulangi penyebaran virus Covid-19 yang semakin massif terjadi, dibuktikan dengan masih bertambahnya angka kasus positif covid dan bahkan harus meregang nyawa. Peristiwa ini juga ditandai dengan semakin masifnya klaster pabrik sebagai salah satu penyumbang meningkatnya angka penyebaran covid-19, hal ini diakibatkan meskipun kebijakan PPKM telah memberikan pembatasan terhadap kegiatan masyarakat, memberlakukan kebijakan wfh 100% bagi sektor non esensial, wfo 50% bagi sektor esensial, dan wfo 100% bagi sektor kritikal menegaskan bahwa sektor industri masih tetap diberlakukan bekerja di pabrik, namun hal tersebut tidak dibarengi dengan adanya fasilitas kesehatan dan protokol kesehatan yang ketat, seperti tidak tersedianya Alat perlindungan diri (APD), Vaksinasi gratis bagi pekerja dan anggota keluarga, obat-obatan dan vitamin, menjaga jarak, pemberlakuan shift kerja yang sistematis, serta pemenuhan upah penuh bagi pekerja yang dinyatakan positif covid dan harus menjalani karantina baik secara mandiri maupun di rumah sakit.
Hal ini menyebabkan para pekerja harus memenuhi segala kebutuhan kesehatannya secara mandiri, memaksa mereka bertanggungjawab seorang diri. Sehingga, kondisi kesehatan dan kondisi perekonomian para pekerja semakin memburuk, berada pada titik terendahnya. Industri tekstil, garmen, sepatu, dan kulit tercatat telah menjadi klaster penyebaran covid-19 yang massif. Belum lagi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, pekerja dirumahkan yang tidak dibayar, serta hak-hak dasar para pekerja lainnya yang abai menjadi perhatian pemerintah.
Catatan merah terhadap kebijakan Pemerintahan Indonesia perlu direkonstruksi ulang. Absennya pemerintah dalam menghadirkan solusi yang terukur, sistematis, dan kontekstual dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus covid-19 menjadi urgensi yang mendesak. Khususnya terhadap pencegahan adanya PHK massal pada sektor buruh, kepastian upah pekerja di masa pandemi, perlindungan kesehatan dan keselamatan para pekerja.
LBH Rakyat Banten memandang, bahwa diterbitkannya Surat Edaran Menaker Nomor M/9/HK.04/VII/2021 Tentang Optimalisasi Penerapan Protokol Kesehatan di Tempat Kerja dan Penyediaan Perlengkapan Serta Sarana Kesehatan Bagi Pekerja/Buruh oleh Perusahaan Selama Pandemi, dan Surat Edaran Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 Tentang Perlindungan Pekerja/ Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penyebaran Covid-19, tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap para pekerja di Indonesia. Pasalnya, produk Surat Edaran tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang memaksa khususnya kepada para pengusaha, poin-poin terkait pengupahan yang diarahkan agar terjadinya ruang-ruang diskusi secara bipatrit, faktanya kerapkali para pekerja tidak berada pada posisi tawar yang seimbang antara buruh dan pengusaha, tidak jarang para pengusaha mengambil keputusan sepihak dalam penentuan upah di masa pandemi bagi perusahaan yang perlu menyesuaikan tanpa melibatkan pekerja atau serikat pekerja, tidak adanya ukuran minimal dan maksimal mengenai pemotongan upah dalam kebijakan tersebut juga memberi kerugian bagi para pekerja.
Tidak adanya sanksi yang tegas juga bagi para pengusaha yang tidak mematuhi Surat Edaran Kemenaker terkait tanggungjawab untuk memenuhi fasilitas kesehatan dan keselamatan kerja, adalah bentuk nyata dari lemahnya produk kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
Oleh karena itu, pengaturan-pengaturan yang memiliki jaminan kepastian dan keadilan mengenai kewajiban-kewajiban dalam rangka pemenuhan hak dasar bagi para pekerja di tengah masa pandemi ini, merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, mengingat kehadiran Negara adalah bentuk manifestasi dari amanat pasal 27 ayat (2) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, senada dengan pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Komitmen Negara tersebut harus dilakukan, agar rakyat tidak mengalami ancaman yang lebih mengkhawatirkan dari gangguan kesehatan akibat pandemi, tidak lain dan bukan yakni tenggelamnya rakyat Indonesia dalam lautan kemiskinan yang sistemik. (***)