FAKTA BANTEN – Di tanggal 10 Muharram Tahun Hijriyah yang kerap disebut dengan istilah ‘Lebaran Anak Yatim’ ini, saya ingin menulis sedikit mengenai anak yatim. Karena saya pikir ini menarik dengan adanya mainset yang keliru pada pandangan mainstream kepada anak yatim.
Bila melihat negara kita yang segini besar dan kayanya, orang tua yang mampu sangat banyak, dana-dana sosial juga sudah tersedia, panti-panti asuhan sudah sangat banyak, mungkin mestinya anak yatim ini tidak ada atau paling tidak sudah sangat minimal. Artinya, begitu anak yatim atau piatu atau yatim piatu kita bawa ke panti asuhan, tujuan utamanya adalah begitu ia menginjakkan kaki di pintu panti asuhan, maka dia bukan yatim lagi. Karena ia sudah punya bapak ibu sosial dan sudah ada yang nanggung mereka.
Akan tetapi, mungkin harus ada perubahan nama yang selama ini disebut atau dimaknai panti asuhan anak yatim itu, sebab hal itu secara psikologis bisa saja membuat anak itu justru bisa makin menderita; ketika setiap hari ia pulang sekolah membaca tulisan di depan ‘Panti Asuhan Anak Yatim. Bisa saja sang anak bergumam: “Saya ini yatim, yaa Allah”.
Nah kita ini sebenarnya mau menolong hatinya menjadi bapak-ibunya, atau mau menyiksa dia dengan terus menerus, menusuk-nusuk mata, hati dan pikirannya dengan menegaskan (dalam tulisan di depan panti asuhan tersebut) bahwa mereka anak yatim.
Dan kalau tidak ada perubahan nama atau mengganti nama panti asuhan anak yatim-yang bisa saja membuat bathinnya menderita, mungkin ada baiknya tulisan tersebut dipasang pada tempat yang tidak bisa terbaca oleh anak yatim yang berada di dalam panti asuhan tersebut.
Dan yang lebih esensial lagi dan mungkin ini tidak terpikirkan oleh kita, wahai saudara-saudaraku. Ingatlah bahwa kita ini tidak punya jasa apapun kepada anak yatim. Jangan pikir kita mampu menolong anak yatim di hadapan Allah. Kita ini yang ditolong mereka.
Anak yatim ini yang menolong kita, karena ada mereka nasib kita belum tentu mulia di hadapan Allah.
Maka, jangan sekali-kali. Saya sendiri tidak berani merasa pernah menolong mereka, anak yatim yang menolong saya, saya sedang ditolong mereka. Bahkan ketika saya punya kesulitan macam-macam, mereka yang menolong saya langsung dengan do’a dan wirid-wirid mereka.
Dan kalau umpamanya saya mengasih makan atau sedikit uang kepada mereka, bukan berarti saya menolong mereka. Tapi saya sedang menyelamatkan diri saya. Sebab kalau saya tidak lakukan itu maka Allah akan mempersalahkan saya. Ayatnya jelas : “Aro`aitallazii yukazzibu bid-diin. Fa Zaalikallazii yadu”ul yatiim…” (QS. Al-Ma’un)
Jadi, wahai saudaraku semua khususnya yang berurusan dengan anak yatim, jangan lagi sebut mereka yatim. Karena mereka adalah anak-anakmu, dan jangan sampai mereka ingat bahwa mereka yatim.
Dan itulah tujuan setiap penanganan kepada anak yang semula kita sebut yatim itu, kita tangani karena ia adalah anak kita. Dan kata yatim, kata piatu mari kita buang sejauh-jauhnya. (*/Ilung)