Kemana Sawah-sawah di Cilegon yang Dulu Ijo Royo-royo Itu?

 

Oleh: Sang Revolusioner (Ilung)

 

TANDUR adalah kata untuk menyebut para petani ketika mulai menanam bibit padinya di sawah. Sesudah menggemburkan sawah dengan di ‘waluku’ (bajak) dan dicangkul oleh para petani laki-laki, maka dimulailah tandur yang biasanya dikerjakan oleh para petani perempuan.

Pekerjaan dilakukan dengan berjajar membentuk barisan, membungkuk dan berjalan mundur sambil menancapkan batang padi di lumpur sawah. Sehingga mutlak butuh kehati-hatian dan presisi, baik untuk lurusnya tanaman dan terjaganya tubuh setiap melangkah.

Mungkin seperti itulah mata pencaharian utama di Kota Cilegon dahulu kala. Saat orang-orang di perdesaan menemukan musim tandur berarti musim kedamaian, bentangan sawah nan hijau ‘ijo royo-royo’ menandakan musim harapan dan tanam keyakinan bahwa sebentar lagi akan mengalami masa-masa sulit, paceklik atau musim merawat dan menyiangi tanaman, dan kemudian merasakan kebahagiaan yaitu ketika memasuki masa keemasan dengan menguningnya padi-padi di sawah tanda musim panen telah tiba.

Mungkin masyarakat yang dilahirkan Cilegon dan sekarang berusia 40 tahun keatas, sedikitnya pernah melihat dan merasakan kebersahajaan suasana masyarakat Cilegon dulu, pada saat bermain atau ketika berangkat atau pulang sekolah misalnya, yang umumnya masih berjalan kaki melintasi luasnya bentangan sawah.

Ada pepatah mengatakan, ‘Ibarat busur, semakin ditarik kebelakang ketika lepas ia akan lebih jauh jangkauannya”, pesan agar seseorang mengenali sejarahnya lebih jauh kebelakang agar ia kuat dan berkarakter, tak terpengaruh oleh angin (perubahan zaman) dalam melangkah kedepan.

Sebagaimana karakter orang-orang Cilegon dan umumnya Banten dahulu kala, yang tercatat tidak pernah mau tunduk dan menyerah kepada pemerintah kolonial Belanda dengan terus melakukan aksi pemberontakan-pemberontakan (bahasa versi Belanda) versi lokalnya ‘wani mati ngelawan’ dan versi khasanah Islamnya Jihad fii sabilillah.

Kisah akan keberanian orang-orang Cilegon dulu ini tercatat dalam sejarah, mengutip tulisan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam tulisannya ini mengulas Pemberontakan petani di Banten yang tidak menginginkan sistem mordenisasi. Dengan dibantu olah para bangsawan keturunan keraton Banten dan golongan elite agama (Islam) petani melakukan pemberontakan terhadap adanya kebudayaan Barat.

Buku tulisan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo ini merupakan bentuk terjemahan dari buku asli yang berjudul The Peasents’ Revolt of Banten in 1888 atau versi bahasa lokal Cilegonnya ‘Geger Tjilegon 1888’.

Eksistensi kehidupan masyarakat Cilegon dulu yang merupakan bagian dari Kesultanan Banten masih didominasi para petani ini juga ditulis dalam Bab II buku tersebut, yang membahas tentang latar belakang sosio-ekonomis. “Di Banten yang letaknya agraris membuat masyarakatnya mayoritas sebagai petani padi.” tulisnya.

***
Namun kemanakah sawah-sawah yang dulu ijo royo-royo itu?

Dari data antara tahun 2013 s/d 2015 di Dinas Pertanian, lahan pertanian sawah di Kota Cilegon hilang 100Ha lebih sampai 200Ha lebih dalam setiap tahunnya. Pada tahun 2013 sisa sawah yang tersisa di kota Cilegon 1965Ha, tahun 2014 berkurang menjadi 1818Ha dan tahun 2015 berkurang lebih drastis lagi tersisa 1627Ha. Lalu di tahun 2017 ini berapakah luas sisa sawah di Cilegon akan berkurang lagi?

Sawah yang merupakan lahan pertanian produktif sebagaimana diatur oleh Undang-undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Yang tujuannya adalah sebagai berikut:

1. Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.

3. Negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi setiap warga negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.

Makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.

Sesuai dengan pembaruan agraria yang berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria perlu perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan.

Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

***
Apa yang menyebabkan sawah-sawah di Cilegon hilang sampai ratusan hektar pertahunnya, padahal jelas-jelas dilindungi oleh Undang-undang Negara Republik Indonesia?

Berikut ini penulis coba mengurai faktor-faktor penyebabnya:

*Industrialisasi*

Masuknya dunia industri raksasa ke Cilegon yang sejak diawali oleh BUMN ‘Trikora’ pada tahun 1962 yang berganti nama menjadi ‘Krakatau Steel’ pada tahun 1970, dari awal ini saja 25 Kampung berikut sawah-sawah di sekitarnya direlokasi alias “Bedol Desa” oleh Pemerintah, yang kemudian terus bermunculan ratusan pabrik-pabrik raksasa lainnya yang sampai saat ini yang seakan begitu mudah mendapatkan izin dari sang pemerintah.

Yang perlu ditanyakan adalah, ketika Industri diselenggarakan oleh pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, sudah pada sejahterakah masyarakat Cilegon dengan keberadaan Industri?

Kenapa Pemerintah yang justru merestui pabrik yang dibangun dengan mengalihfungsikan sawah-sawah yang juga tempat usaha untuk kesejahteraan masyarakat?

*Perumahan*

Makin menjamurnya perumahan-perumahan di berbagai sudut Kota Cilegon yang menggusur lahan pertanian sawah. Maka, kita pun seakan tidak merasa kaget tatkala melihat atau mendengar banyak perumahan di Cilegon bahkan yang katanya elite itu, kebanjiran.

Terus bermunculannya perumahan ini, memang seakan wajar, karena dengan plot kota Industri, mau tidak mau konsekuensi akan kebutuhan papan bagi para pekerja khususnya kaum pendatang yang bekerja di industri. Maka, tak heran kalau pangsa pasar property banyak melirik ke Cilegon. Pertanyaanya, kenapa Pemkot Cilegon sebagai otoritas perizinan dan administrasi Negara di daerah, membiarkan, membolehkan atau menempatkan perumahan menggusur sawah-sawah yang di lindungi Undang-undang Negara nomor 41 tahun 2009 tersebut?

*Penambangan Pasir*

Keberadaan tambang pasir di Cilegon yang bermula dari dibangunnya JLS (Jalur Lingkar Selatan) yang masih berlangsung sampai sekarang ini. Memang hanya beberapa kasus saja tambang yang menerjang sawah, karena kebanyakan yang dieksploitasi para penambang adalah lahan cadas berupa dataran tinggi yang merupakan ladang atau tegalan yang dibeli dari warga sekitar, baik secara angkat surat maupun material tanah cadas dan lempungnya saja.

Namun, tambang-tambang pasir yang diduga banyak belum memiliki izin resmi tersebut berkembang, dengan mencuci pasir cadas untuk mengurangi kadar kapur dan menjual dengan harga yang lebih mahal. Maka, tidak sedikit juga oknum penambang nakal yang menggunakan air untuk mencuci pasir dari aliran anak-anak sungai yang merupakan saluran irigasi untuk pengairan sawah, dengan cara memindah alirannya. Walaupun dialirkan kembali tentu saja kadar airnya sudah terkontaminasi kadar kapur yang bisa mencemari sawah dan terusan anak sungai.

Pertanyaannya, kenapa Pemkot Cilegon masih saja membiarkan aktifitas tambang-tambang ini?

*Perubahan Status Desa jadi Kelurahan di Cilegon*

Dengan status Kota mau tidak mau Cilegon harus merubah tatanan, mulai diterbitkannya Peraturan Daerah Kota Cilegon Nomor 12 Tahun 2003
Tentang Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan dan mulai diterapkan pada tahun 2005 secara bertahap.

Otoristas Kepada Desa yang notabanenya di pilih masyarakat setempat secara langsung, tentu nilai kebijakan Sospolbudek (Sosial Politik Budaya Ekonomi) lebih memihak kepada sawah-sawah milik masyarakatnya, dan sangat berbeda dengan Lurah yang jabatannya ditunjuk oleh Pemkot. Jadi silahkan bayangkan sendiri tekanan dan posisinya.

*Masyarakat Yang Mulai Enggan Bertani di Sawah dan Peranan Pemerintah*

Akibat empat faktor diatas serta perubahan zaman dengan segala polarisasinya, membuat masyarakat kian terbiasa hidup pragmatis, hedonis dan glamour yang menjadikan masyarakat semacam tertanam rasa ‘gengsi’ untuk meneruskan dan mewariskan usaha tani disawah, sehingga terjadi minimnya regenerasi para petani yang membuat pihaknya bisa dengan mudah menjual sawahnya, apalagi saat ada pemilik modal besar datang mengiming-imingi gepokan uang.

Akan peranan Pemerintah, apakah kita pernah memerhatikan perannyanya terjadi dibalik hamparan sawah yang masih ada seperti bagaimana pertanian dan lingkungan tersebut dikelola?
Apakah hasil-hasil pertanian tersebut telah menyejahterakan petani yang terbebani harga pupuk dan kebijakan para tengkulak? Sejauh apa masyarakat kita menghargai petani yang mengolah asupan primer di kehidupan untuk kita dapat bertahan hidup? Siapa yang memiliki lahan-lahan garapan tersebut? Masih petanikah? Masih bangsa Indonesiakah? Bagaimana nasib keberlanjutan (sustainability ) lahannya?

Dan ada beribu pertanyaan lainnya yang perlu dijawab oleh Pemerintah yang selalu mengkampanyekan ‘Swasembada Pangan’ tapi selama bertahun-tahun ngimpor beras.

Dari kelima faktor tersebut, jelas, Negara yang menjamin perlindungan kepada para petani, namun kebijakan Pemerintah kota Cilegon yang ditugasi Negara justru “seakan” terbalik 180° terhadap keberadaan lahan pertanian sawah di Kkota Cilegon.

Mungkin inilah yang harus segera dievaluasi untuk menjaga sawah-sawah yang masih ada saat ini agar tidak terus hilang tergerus arus pembangunan yang ‘maju tapi mundur’.

‘Kembali ke Huma Berhati’ itulah idiom yang perlu ditekankan kembali, yang memiliki kandungan arti agar manusia mengembalikan peristiwa bercocok tanam (ziro’ah ) dan pertanian menuju kepada hakikatnya sebagai alam yang memberikan penghidupan kepada manusia sehingga adalah bentuk rasa syukur kepada Allah untuk kita mengolahnya dengan hati. (*)

Comments (0)
Add Comment