Oleh : Hamdan Suhaemi
Jika pergi ke Cilegon, hati terpaut ke Cibeber. Ada yang menyejarah di dalamnya. Sosok ulama besar yang wara’, produktif menulis kitab Arab Jawa ( pegon ), karya-karyanya sangat manfaat bagi umat Islam di Banten, penjelasannya mudah dan langsung bisa dipahami.
Ulama besar ini adalah keturunan ulama pejuang, ayahnya adalah Syaikh Muhammad Ali, yang kelak dikenal sebagai pendiri Pesantren Jauharotunnaqiyah Cibeber, Cilegon. Beliau adalah KH Abdul Latif yang lahir pada tahun 1878 M atau bertepatan tahun 1299 H ini. Kiai Latif ini pun berasal dari turunan ulama pejuang. Ayahandanya adalah ulama yang ikut berjuang melawan Belanda. Kakeknya, KH Said juga adalah ulama terpandang dan terkenal karena karomahnya.
Menurut catatan historis dari Abdullah Alawi , bahwa waktu kecilnya Abdul Latif kecil tinggal di rumah orang tuanya di kampung Pakisaji Kelurahan Bulakan, Kecamatan Cibeber. Dalam usia kanak-kanak tersebut dalam diri dia telah tertanam jiwa Kiai Haji Muhammad Ali, jiwa seorang pejuang kemerdekaan.
Dikisahkan bahwa Kiai Haji Muhammad Ali adalah salah seorang pejuang kemerdekaan pada perang Geger Cilegon di tahun 1888 M. Dalam peperangan melawan kompeni Belanda tersebut KH Muhammad Ali oleh kompeni Balanda diasingkan ke Digul dan selanjutnya dibuang ke Ambon, tepatnya di Bontaen. Ia wafat di sana pada tahun 1898 dan dimakamkan di Ambon di Puncak Ali.
Menurut Abdullah Alawi, saat muktamar kedua di Surabaya, tahun 1928, hanya beberapa kiai dari Jawa Barat dan Banten yang hadir. Di antaranya KH. Mas Abdurrahman Janake Menes Banten, KH Muhyi Bogor, KH Abdullah Cirebon, dan KH Abdul Halim Leuwimunding, Majalengka. Namun, kiai yang disebut terakhir itu memang waktu itu beraktivitas di Surabaya sebagaimana KH Idris Kamali asal Cirebon yang hadir di Muktamar kedua di kota yang sama. Waktu itu Kiai Idris tidak beraktivitas dari kota asalnya, melainkan di Jombang, karena ia adalah menantu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Barulah pada muktamar ketiga di Semarang, tahun 1929 kiai dari Jawa Barat bertambah. Selain yang disebutkan sebelumnya, kecuali KH Muhyi Bogor, hadir di antaranya KH Ahmad Dimyati Sukamiskin Bandung, KH Abdullah Kuningan, KH Abdullah Indramayu, Penghulu Junaidi Batavia, Guru Manshur Batavia (Jakarta), KH Abdul Aziz Cilegon (Banten), Abdul Khair Cirebon, KH Dasuqi Majalengka dan Syekh Ali Thayib yang mewakili Tasikmalaya.
Saat muktamar NU yang ke-3 tahun 1929 di Semarang, KH. Abdul Latif dari Cibeber Cilegon ikut hadir dalam muktamar tersebut, sebagai wakil dari Karesidenan Banten. Sahabat dekat Hadrotusyaikh Hasyim Asyari ini termasuk yang ikut membidani lahirnya NU 31 Januari 1926 silam di Surabaya.
Yang tak kalah sebagai figur yang menyejarah, KH. Abdul Latif Cibeber adalah juga sebagai ulama penulis. Banyak karyanya amat sangat manfaat bagi umat Islam yang masih awam.
Seperti yang biasa diucap oleh ibu-ibu majlis taklim, dengan menyebutnya Taudlihu al-Ahkam dengan sebutan “kitab rukun- rukunan”.
Beberapa karya tulis KH Abdul Latif di antaranya adalah
1. Taudlikul Ahkam,
2. Irsyadul Anam,
3. Bayaanul Arkaan,
4. Adaabul Marah,
5. Tauqil Tauhid,
6. Kifaayatul Sibyaan,
7. Mu’aawnatullkhwan,
8. Matanus Sanusiyyah,
9. Siirah Sayyidil Mursalin,
10. Munabbihaat,
11. Manaqib Syeikh Abdul Qodir Jaelani,
12. Sejarah Banten,
13. Tajwid Jawa (bahasa jawa Banten),
14. Ma’waadzul ‘Ushfuryah,
15. Tafsir Surat Yaasin (bahasa Jawa Banten)
16. Tafsir surat Juz ’Amma (bahasa Jawa Banten),
17. Tafsir Surat Alif Lam Tanziil (bahasa Jawa Banten), 18. Tafsir Surat Al Baqarah (bahasa Jawa Banten). ***