Mahfud MD Mundur Untuk Pembelajaran Moral Menteri Lain

Oleh : Henry Subiakto

Mundur dari kabinet itu bagi Prof. Mahfud MD adalah persoalan pilihan moral daripada taktik politik. Tanpa mundurpun sebenarnya tidak apa-apa seperti yg lain, bahkan kedudukannya tetap kuat dari sisi kewenangan, pengaruh, dan kesempatan. Hanya sebagai sosok yg dikenal teguh pemegang prinsip dan idealisme, Mahfud punya pertimbangan etika untuk mundur.

Sebagai Menkopolhukam sejak awal sudah menekankan pada jajarannya agar selalu bersikap netral, jujur dan adil. Iapun memberi contoh cuti dan tidak menggunakan fasilitas negara saat kampanye.

Kenyataannya justru pimpinannya yaitu Presiden Jokowi malah terang-terangan menyatakan tidak netral dalam Pilpres 2024.

Hal ini menyebabkan Mahfud berada pada posisi sulit. Jajaran aparat di bawah koordinasinya tentu lebih melihat ke sikap Presiden dari pada dia. Maka, Mahfud tidak bisa menjamin netralitas, sehingga baik baginya untuk mundur dibanding bertahan sebagai menteri.

Dengan mengundurkan diri tanggung jawab moralnya sebagai Menkopolhukam, jika benar-benar mencuat kasus-kasus ketidakadilan dan ketidaknetralan aparat di lapangan, bukan lagi menjadi tanggung jawab Mahfud MD sebagai menteri koordinator. Conflict of interest terhindarkan.

Namun sebagai bawahan yang menghormati Presiden yang memilihnya, Prof. Mahfud nampaknya akan melaporkan sikapnya ini dengan tetap menghormati presiden Jokowi.

Itulah mengapa Mahfud akan minta izin langsung pengunduran dirinya ini dalam waktu dekat. Bagi Mahfud mengundurkan diri bukanlah sikap pembangkangan, bukan pula sikap lari dari tanggung jawab, tapi persoalan pilihan moral.

Sebagai gerakan moral, mundurnya Mahfud dari kabinet, punya makna mengingatkan pada menteri-menteri lain, bahwa ada masalah moralitas jika tetap bertahan di pemerintahan yang presidennya sudah mengabaikan etika, melanggar kepatutan, bahkan merekayasa regulasi UU lewat keputusan di MK, serta mengabaikan rasa keadilan di masyarakat dalam berpolitik.

Dengan mundur, Mahfud MD tidak mendukung pelanggaran adab bernegara yang sudah dan sedang berlangsung.

Ini pesan untuk rakyat sekaligus pesan untuk menteri-menteri lain, khususnya yang berbeda posisi politik dengan Pemerintah Jokowi. Termasuk pada menteri-menteri dari PKB, anak buah Cak Imin, misalnya.

Sejak awal mereka mengatakan, paslon Anies-Imin itu simbol Perubahan. Tapi sampai sekarang menteri-menteri dari koalisi perubahan tersebut masih adem sebagai anak buah Jokowi di pemerintahan. Itu terkesan tak hanya inkonsisten, tapi juga dinilai oportunis.

Begitu pula Menteri dari Nasdem, tetap menjabat, tak beda dengan menteri-menteri pendukung koalisi Prabowo. Padahal Nasdem dan PKB itu sudah mendeklarasikan sebagai bagian dari antitesis Jokowi.

Lalu apa bedanya dengan Prabowo dan menteri-menteri dari Golkar dan PAN? Kalau mereka mundur tokoh-tokoh Partai Demokrat atau yang lain bisa merasakan jabatan menteri di sisa waktu ini.

Kalau mengikuti pertimbangan moral yang dicontohkan Mahfud MD, seharusnya mereka dari PKB dan Nasdem juga mundur dari kabinet.

Begitu pula menteri-menteri dari PDIP, juga selayaknya mundur seperti Prof. Mahfud, karena partainya sudah dikhianati Jokowi.

Walau PDIP tidak menyebut sebagai antitesis Jokowi. Namun sebagai pendukung paslon yang akan memperbaiki pemerintahan, sudah selayaknya secara moral menteri-menteri PDIP juga mendukung langkah mundur Mahfud MD dengan mengikutinya. .Ini bukan alasan baper karena dikhianati Jokowi, tapi ini merupakan gerakan moral tidak ingin menjadi bagian dari rezim yg melakukan pengrusakan demokrasi.

Persoalan moral dalam berpolitik itu bukan hal sederhana, tapi merupakan persoalan mendasar, terkait komitmen penghormatan pada norma agama, norma adab kepatutan, etika dan tata krama berpolitik bagi bangsa besar ini. Ini yang sekarang sedang dicontohkan oleh seorang Mahfud MD.

Persoalannya maukah para menteri meninggalkan jabatan yang empuk dan membawa banyak kenikmatan? Rakyat yang akan melihat dan menilai. ***

Comments (0)
Add Comment