Marshel dan Andra Soni vs Politik Formalitas

 

Oleh Uten Sutendy*

Marshel, nama komedian ini kian populer setelah dimunculkan oleh Partai Gerindra sebagai Calon Wakil Walikota Tangerang Selatan.

Hampir setiap hari muncul di medsos dengan segala aktivitasnya di tengah- tengah warga kota Tangsel. Mengunjungi rumah- rumah warga di pinggiran kota, menyalami setiap orang dengan wajah ceria dan tubuh membungkuk, seolah ia tak peduli dengan kritikan dan bulian teman-teman artis dan nitizen yang beberapa waktu lalu kerap muncul di medsos.

Mereka menganggap Marshal tidak pantas jadi calon Wakil Walikota Tangsel.

“Terlalu cengengesan dan urakan,” kata salah seorang nitizen.

Ia terus bekerja. Cara kerja politik Marshel sebagai figur politik baru seakan malah menawarkan angin segar.

Marshel hadir seperti untuk memecah kebekuan politik di wilayah Tangsel dengan strategi yang jauh dari kesan formal dan seremonial.

Gerindra, sebagai partai yang mencalonkan Marshel, cukup cerdas membaca peluang sekaligus memberi pesan bahwa politik tidak selalu harus identik dengan seragam formal atau selebaran amplop putih.

Sebaliknya, kehadiran Marshel di tengah rakyat, bersalaman, dan menyapa warga secara langsung merupakan pendekatan yang jauh lebih membumi, seolah ia sedang mendobrak tradisi politik formalitas yang sudah lama berkembang di Tangsel dan wilayah Banten.

Pertanyaannya kemudian, apakah strategi yang dimainkan Marshel akan membawa kemenangan? Ya masih belum pasti juga, tergantung kepada bagaimana lawan-lawan politiknya merespons.

Jika pasangan Ben-Pilar (Benyamin Davnie -Pilar Saga Ichsan) tetap bertahan dengan cara-cara berpolitik yang elitis dan formal, tidak mustahil mereka akan tergulung oleh pendekatan baru yang lebih merakyat.

Dalam konteks yang lebih luas, situasi serupa juga terjadi di Banten.

Airin, dengan dinasti politiknya, merupakan simbol politik formalitas dan elitis yang seringkali dikesankan atau dianggap oleh banyak orang mengandalkan pencitraan, kekuasaan, transaksional, tentu saja selain kerja keras.

Perubahan zaman yang kembali mengarahkan praktek politik menuju ke akar rumput, maka pendekatan yang dilakukan kubu Airin ke depan mungkin tidak lagi bisa relevan.

Andra Soni yang saat ini menjadi rival politik Airin, bukan berasal dari dinasti bisnis atau politik melainkan berasal dari rakyat biasa.

Ia muncul sebagai sosok yang menantang dominasi politik bermindset lama.

Meskipun popularitas Airin sangat tinggi tapi dalam era politik dengan mindset baru membuat hasil survei dan popularitas rasanya sulit untuk bisa lagi menjadi ukuran utama.

Popularitas yang dibangun di atas pencitraan dan kekuasaan transaksional belumlah cukup untuk maju menjadi calon gubernur atau memenangkan hati para elite partai dan hati rakyat.

Sebaliknya, politik dengan mindset baru menekankan bahwa politik seharusnya menjadi alat untuk membangun negeri dan daerah, bukan sekadar menyediakan kursi-kursi nyaman bagi para penguasa.

Dalam kerangka berpikir ini, kekuasaan memang bukan hanya harus direbut, tetapi juga harus dengan tujuan yang jelas dan berdasarkan nilai-nilai luhur. Jika tidak, praktek politik yang cenderung mengorbankan banyak orang akan menjadi tidak bermakna dan sia-sia.

Seiring dengan berjalannya waktu, segala kemungkinan masih bisa terjadi dalam percaturan politik di Tangsel dan Banten.

Namun, yang pasti, logika dan cara berpikir formalitas politik mungkin sudah tidak relevan lagi. Sudah saatnya semua pihak memakai kacamata baru dalam melihat realitas politik dan menjalankan kerja -kerja politik.

Sebab, pendekatan politik formalitas yang kaku sedang dan sudah berada di ambang batas usianya. **

* Budayawan, tinggal di BSD city.

Comments (0)
Add Comment