Oleh: Fitria Zahra Daidha As-Syifa
Penulis adalah mahasiswi Fakultas Hukum, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
BENCANA hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor merupakan fenomena yang kerap muncul di Indonesia, khususnya di wilayah Aceh dan Sumatera, dan sering menimbulkan dampak serius.
Ketika bencana tersebut terjadi, kerusakan infrastruktur, ancaman terhadap keselamatan manusia, serta degradasi lingkungan menjadi konsekuensi yang sulit dihindari.
Kondisi iklim Indonesia yang bersifat tropis, ditambah dengan karakteristik topografi dan geologi yang beragam, membuat banyak daerah memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap bencana.
Curah hujan ekstrem dan kerusakan lingkungan memperburuk situasi ini. Aktivitas manusia seperti alih fungsi hutan menjadi kawasan industri menghilangkan fungsi hutan sebagai penahan air alami, sehingga meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir maupun tanah longsor.
Oleh karena itu, peran pemerintah menjadi sangat penting dalam upaya perlindungan masyarakat. Kesiapsiagaan dan langkah-langkah mitigasi bencana harus diperkuat agar risiko serta kerugian akibat banjir dan tanah longsor yang merupakan bencana paling umum di Indonesia dapat diminimalkan.
Aturan Bencana Nasional
Respon Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, terhadap bencana banjir dan longsor di Aceh dan Sumatera belakangan dinilai cukup membaik.
Beliau mengatakan “Kami monitor terus. Saya kira kondisi yang sekarang ini (bencana daerah) sudah cukup”.
Namun, melihat luasnya dampak bencana ini, banyak pihak mendorong pemerintah pusat untuk segera menetapkan status bencana nasional, guna memastikan penanggulangan dampak banjir dan longsor di Aceh serta Sumatera berjalan tepat sasaran, serta meningkatkan upaya rekonstruksi yang dapat memulihkan kondisi wilayah pasca bencana.
Landasan Hukum yang mengatur mengenai wewenang pemerintah dalam menetapkan status bencana, tercantum pada:
– Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 7 Ayat 1.
– Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 7 Ayat 2, penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah mengacu pada beberapa indikator yang meliputi:
a. Jumlah korban;
b. Kerugian harta benda;
c. Kerusakan sarana dan prasarana;
d. Luas wilayah yang terkena bencana; dan
e. Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Sejumlah indikator sudah terpenuhi untuk menetapkan bencana banjir dan longsor di Aceh dan Sumatera berstatus sebagai bencana nasional, mulai dari pernyataan kepala daerah atas ketidakmampuan dalam melaksanakan upaya darurat bencana sebagaimana mestinya, meningkatnya jumlah korban jiwa meninggal dan laporan korban hilang, banyaknya wilayah pelosok yang masih terisolasi, gangguan sosial-ekonomi yang signifikan, ribuan korban mengungsi, bahkan tidak sedikit korban bencana menyatakan bahwa mereka membutuhkan bantuan dari pusat yang tak kunjung datang.
Bencana hampir serupa pernah terjadi di Negara Pakistan tepatnya pada tahun 2022. Banjir monsun ekstrem di Pakistan yang menyebabkan lebih dari 33 juta orang, dengan curah hujan 3-4 kali liputan normal. Hal ini menyebabkan banjir bandang, longsor, dan kerusakan infrastruktur di wilayah seperti Sindh dan Punjab.
Pemerintah (di bawah PM Imran Khan) mendeklarasikan darurat nasional yang menyoroti tingkat keparahan situasi, perlunya respons terkoordinasi, mengerahkan militer untuk evakuasi, distribusi bantuan, serta mengalokasikan sekitar 1,5 miliar USD. Koordinasi internasional (dari PBB, China, Turki) turut membantu.
Ini membuktikan bahwa Pemerintah Pakistan telah menunjukkan kepedulian dengan meluncurkan respon darurat dan meminta bantuan internasional untuk bencana banjir monsun ini, meskipun terdapat kritik mengenai kesiapsiagaan jangka panjang dan manajemen infrastruktur.
Kesimpulan
Dalam menjawab efektivitas respon pemerintah terhadap bencana banjir dan longsor di Aceh dan Sumatera, dinilai cukup baik melalui pernyataan oleh Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto yakni melalui pemantauan secara terus-menerus.
Namun dorongan kuat untuk menetapkan status bencana nasional guna memastikan penanggulangan yang lebih tepat sasaran dan rekonstruktif yang lebih efektif.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, peran pemerintah dalam mengambil keputusan status bencana sangat krusial, dengan indikator seperti jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan infrastruktur, luas wilayah terdampak, dan dampak sosial-ekonomi yang telah terpenuhi dalam kasus ini.
Contoh dari Pakistan pada 2022, di mana pemerintah mendeklarasikan darurat nasional dan mengkoordinasikan respons cepat dengan bantuan internasional, menunjukkan bahwa penetapan status yang tepat dapat mempercepat evakuasi, distribusi bantuan, dan pemulihan.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu memperkuat kesiapsiagaan dan mitigasi jangka panjang untuk meminimalkan risiko bencana di masa depan, memastikan perlindungan masyarakat yang lebih optimal.
Setelah penetapan status bencana, pemerintah juga perlu melakukan evaluasi rutin terhadap efektivitas penanggulangan, dengan melibatkan masyarakat sipil dan ahli independen, untuk memastikan akuntabilitas dan perbaikan di masa depan.
Pemerintah dalam menerapkan regulasi ketat terhadap deforestasi dan urbanisasi liar harus dilakukan secara insentif bagi daerah yang berhasil menjaga kelestarian lingkungan, untuk mengurangi frekuensi bencana hidrometeorologi.
Setelahnya pemerintah harus fokus pada pembangunan infrastruktur tahan bencana, seperti sistem drainase yang lebih baik dan reboisasi hutan, untuk mengurangi dampak alih fungsi lahan yang memperburuk banjir dan longsor.
Pemerintah dalam hal ini memegang peranan dan tanggung jawab yang tinggi, terutama dalam memastikan perlindungan masyarakat akibat bencana yang terjadi. ***