FAKTA – Kemajuan teknologi telah membawa masyarakat pada fenomena baru dalam berinteraksi. Media sosial hari ini menjadi dunia baru bagi masyarakat untuk berkomunikasi dan mencari informasi.
Media sosial adalah media daring yang berfungsi sebagai penghubung antara satu orang dengan orang lain, baik melalui media chatting, blog, Mail elektronik, forum diskusi, dunia virtual, dan lain sebagainya.
Bagaimana kalau seseorang membuat akun palsu media sosial, seperti akun bodong atau fake account di Facebook, Twitter, Instagram, Telegram, dan lain sebagainya.
Ternyata, pembuatan akun palsu ini pernah disinggung dalam kitab Masyuratu Ijtima’iyah. Berikut isinya:
“Aku masuk dunia internet dengan memakai nama palsu dan kata-kata orang lain tanpa sepengetahuannya. Apakah hal demikian tidak dibenarkan? Benar. Hal tersebut tidak dibenarkan.” (Masyuratu Ijtima’iyah, terbitan Darul Fikri, halaman 91)
Dalam redaksi di atas dijelaskan bahwa pembuatan akun palsu diharamkan dalam Islam, apabila tujuannya untuk menipu pihak lain.
A.H. Ibnu Rahman Al-Bughury, S.Hi, dalam Kajian Hukum Islam, bertajuk “Fiqih Medsos” menjelaskan, bahwa kebebasan media sosial saat ini acap kali tidak dibarengi akurasi, ketelitian, integritas, dan keadilan dalam penyampaian berita. Media sosial hari ini tak sedikit menyuguhkan berbagai fitnah dari orang yang tidak bertanggung jawab.
Terkait adanya akun palsu di medsos yang acap kali digunakan untuk Namimah atau mengadu domba, hal itu adalah perbuatan paling buruk diantara perbuatan buruk.
“Maukah kalian aku beritahu siapa yang terburuk di antara kalian? Yaitu orang yang suka kesana-kemari menebarkan desas-desus, merusak (hubungan) diantara orang-orang yang saling mencintai, dan berusaha menimbulkan kerusakan serta dosa di tengah-tengah orang yang bersih,” ujar Ibnu Rahman mengutip hadist Rasulullah SAW.
Islam melarang menghina orang lain. Namun di sisi lain, kata Ibnu, medsos sukses menjadikan bullying marak.
Perbuatan tercela di medsos dan akun-akun palsu tersebut erat kaitannya dengan aktivitas Buzzer, mereka merupakan akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan. Buzzer biasanya lebih ke kelompok tidak jelas siapa identitasnya. Memiliki motif ideologis atau motif ekonomi dengan menyebarkan informasi tidak benar.
“Buzzer ini haram di media sosial. Merusak kemaslahatan umat,” tegas Ibnu Rahman lagi.
“Para buzzer negatif ini mencari keuntungan dengan cara menyediakan atau menyebarkan informasi hoaks, ghibah, fitnah, adu domba, ujaran kebencian, dan menebarkan permusuhan yang bernuansa SARA. Pelaku (buzzer) dan orang yang mendanai kegiatan buzzer hukumnya haram,” ujar penulis buku ‘Bagi Warisan Sesuai Syariat’ ini.
Para buzzer justru sengaja mengedepankan hal-hal yang bersifat furu’iyah (perbedaan) pandangan, pola fikir, faham, dan berbagai perbedaan lain yang seringkali memicu ikhtilaf (perselisihan; perpecahan).
“Oleh karena itu jika ingin menyampaikan pendapat harus adil. Perbedaan memungkinkan melahirkan beragam pendapat. Menghadapi hal ini seharusnya kita bisa berlapang dada. Kita tetap menghormati orang lain yang pendapatnya berbeda. Keragaman pendapat harusnya membuka cakrawala berpikir kita,” jelasnya.
Sementara Ust M Shiddiq Al Jawi menekankan pembahasan tentang hukum syar’i akun palsu di medsos bergantung pada faktanya (manath), yakni sebagai berikut;
Pertama, hukumnya makruh jika nama yang digunakan nama samaran (pseudoname/ nick name), yang bertujuan untuk menyembunyikan nama asli, dan nama itu bukan nama sehari-hari. Misalkan orang bernama asli “Yono”, sehari-hari dipanggil “Yono”, tapi di Facebook akunnya “Simbah Maridjon”.
Dalilnya riwayat Jabir bin Abdillah RA yang berkata, “Aku pernah datang kepada Nabi SAW untuk menyelesaikan urusan utang ayahku kepada Nabi SAW. Lalu aku mengetuk pintu. Kemudian Nabi SAW bertanya, ”Siapa ini?” Aku menjawab, ”Saya.” Nabi SAW berkata, ”Saya, saya,” seakan-akan beliau membenci jawabanku itu.” (HR Bukhari No 5896).
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin berdalil dengan hadits di atas sebagai dasar makruhnya seseorang menjawab “saya”, yakni tidak menyebut nama, ketika seseorang bertanya siapa nama kita. Maka dari itu, menurut kami, dalil ini dapat juga dijadikan dalil makruhnya seseorang yang tidak menyebut nama aslinya di media sosial.
Kedua, hukumnya mubah dan tidak apa-apa, jika nama yang digunakan adalah nama baru (new name), yakni bukan nama asli tetapi sudah menjadi nama baru dan digunakan sebagai nama sehari-hari. Misalkan orang bernama asli “Sigit”, tapi di Facebook namanya “Shiddiq”, dan nama ini sudah menjadi nama barunya dan digunakan sehari-hari.
Dalilnya hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan (istihbab) mengganti nama menjadi nama lain yang maknanya lebih baik. Imam Nawawi telah menyebutkan hadits-hadits tersebut dalam kitabnya Al Adzkaar pada bab yang berjudul Istihbaab Taghyiir Al Ism Ila Ahsan Minhu (Kesunnahan Mengganti Nama Dengan Nama Yang Lebih Baik). (Imam Nawawi, Al Adzkaar An Nawawiyyah, hlm. 249-250).
Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW telah mengganti nama perempuan bernama ‘Aashiyah (artinya perempuan yang bermaksiat), menjadi nama baru yaitu Jamiilah (artinya perempuan yang cantik). (HR Muslim no 2139).
Dari Sa’id bin Al Musayyab RA dia berkata, “Bahwa ayahnya (bernama Hazn, artinya kesedihan) pernah datang kepada Nabi SAW lalu Nabi SAW bertanya, ”Namamu siapa?” Maka Hazn menjawab, ”Namaku Hazn (kesedihan).” Nabi SAW bersabda, ”Gantilah namamu menjadi Sahl (artinya kemudahan)!” Hazn pun menjawab, “Aku tidak akan mengganti nama yang telah diberikan ayahku kepadaku.” Lalu Sa’id bin Al Musayyab RA berkomentar, “Maka sejak itu kesedihan selalu terjadi pada keluarga kami.” (HR Bukhari no 5836).
Dalil-dalil di atas menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan untuk mengganti nama seseorang dengan nama lain yang maknanya lebih baik. Maka jika seseorang di Facebook menggunakan nama lain yang bukan nama aslinya, tapi nama itu sudah menjadi nama baru baginya dan menjadi panggilannya sehari-hari, hukumnya boleh dan bahkan sunnah jika nama baru itu maknanya lebih baik dari yang lama.
Ketiga, hukumnya haram jika nama itu adalah nama atau identitas orang lain (false name), baik orang itu sudah meninggal atau pun masih hidup. Hal itu tidak boleh karena termasuk kedustaan (al kadzib) atau penipuan (al ghisy) yang telah diharamkan oleh syara’.
Misalkan membuat akun dengan nama Taqiyuddin An Nabhani. Jelas ini tidak boleh, karena pemilik nama itu sudah meninggal tahun 1977 (semoga Allah merahmatinya). Atau membuat akun dengan nama Ismail Yusanto. Itu juga tidak boleh, karena pemilik nama itu sama sekali tidak pernah membuat akun di Facebook.
Jadi membuat akun palsu dalam arti menggunakan nama orang lain, baik yang sudah meninggal maupun masih hidup, haram hukumnya, karena merupakan kedustaan (al kadzib) atau penipuan (al ghisy) yang telah diharamkan Islam. Sabda Rasulullah SAW ”Barangsiapa menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR Bukhari no 164).
Sedangkan dalam kajian di website Abu Syuja menilai dari di sisi lain, pembuatan akun palsu tidak serta merta dipatenkan selalu haram.
Maksudnya, pembuatan akun palsu ini bisa saja dianjurkan bagi mereka yang memiliki wewenang untuk memancing seseorang agar mau keluar dari identitas aslinya. Misal, seorang polisi yang menyamar menggunakan akun palsu agar ia memiliki akses untuk menipu penjahat yang menutupi identitasnya.
Kalau tujuan pembuatan akun tersebut untuk memancing agar seorang polisi bisa berkomunikasi dengan penjahat agar tidak dicurigai, maka hal tersebut dibenarkan.
Tidak hanya itu saja, di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juga dijelaskan:
“Kebohongan yang sudah diketahui khalayak umum dan tidak dimaksudnya untuk menipu, bukanlah tergolong yang diharamkan.” (Ihya’ Ulumuddin, terbitan Darul Kutub, Juz 2: 456)
Misal, kita membuat akun Instagram dengan nama pena atau nama samaran untuk membagikan quote-quote bijak dan bermanfaat, maka hukumnya boleh meskipun nama akunnya bukan nama asli kita.
Dan lazimnya, orang-orang pun akan tahu, meskipun nama pena tersebut bukan nama asli kita, tetapi berhubung tujuan kita tidak untuk menipu dan melakukan perilaku yang diharamkan, maka sah-sah saja hukumnya.
Atau mungkin kita memakai nama Tokoh, seperti Imam Ghazali untuk menyebarkan petuah-petuah beliau. Dan orang-orang pun pastinya tahu kalau Imam Ghazali sudah wafat, maka akun fake seperti ini masih dimaklumi dan diperbolehkan, karena tidak adanya unsur yang diharamkan.
Berbeda kalau untuk hiburan. Misal, seseorang membuat akun palsu dengan foto profil pria tampan, agar para wanita terpancing dan mau chatting dengannya. Maka hal ini tidak dibenarkan.
Dan sebaliknya, seorang perempuan yang memakai akun palsu dengan foto profil wanita yang lebih cantik darinya, agar para lelaki mau mendekatinya. Maka, hal ini pun juga tidak dibenarkan.
Itulah hukum membuat akun palsu di media sosial lengkap dengan dalil-dalilnya. Semoga apa yang disampaikan bermanfaat. Wallahu A’lam. (***)