Oleh: Salim Rosyadi
Sejak empat belas abad silam, Alquran merupakan saksi sejarah yang melintasi zaman sebagai bukti perkembangan risalah kenabian. Namun, siapa sangka bahwa Alquran yang biasa umat muslim baca, sebetulnya hanya salah satu ragam mushaf yang berkembang pada masa sahabat.
Lantas, di mana mushaf lainnya yang seolah hilang ditelan zaman?
Tradisi penulisan mushaf sebetulnya telah berlangsung sejak zaman kenabian. Selain menugaskan sahabat tertentu sebagai sekretaris yang khusus mencatat hal ikwhal surat menyurat, Nabi juga membentuk tim penulis dan penghafal wahyu Alquran seperti Ali ibn Abi Thalib, Sa’id ibn Ubayd, Abu Darda, Mu’adz ibn Jabal, Zayd ibn Tsabit dan ‘Ubayd ibn Mu’awiyah, (Ibn al-Nadim: al-Fihrits, 47).
Semasa hidup hingga menjelang kewafatannya, Rasul mampu membuktikan persebaran agamanya telah berkembang hingga ke penjuru jazirah Arab selain Madinah dan Makkah seperti Yaman, Hijaz, Irak, Suriah dan Mesir. Hal ini menuntut pada sahabat untuk menyebar ke beberapa daerah tersebut dalam upaya perpanjangan tangan risalah kenabian. Di samping itu, beberapa sahabat yang memahami Alquran masing-masing mulai menulis manuskrip berdasarkan daya hafal dan petunjuk Nabi sebelumnya demi kebutuhan pribadi dan umat.
‘Ali ibn Abi Thalib umpamanya, ia menulis mushaf Alquran berdasarkan kronologi wahyu, bukan dimulai dari al-Fatihah sebagaimana yang tertera dalam mushaf Utsmani. Hal senada pula dilakukan Ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Ibn ‘Abbas dan Abu Musa al-Asy’ari. Dengan pengetahuan masing-masing mereka menulis mushaf dengan varian berbeda satu sama lain. Baik berdasarkan peletakan susunan surat, nama dan jumlah surat, bahkan sejumlah kasus dikemukakan terdapat beberapa varian bacaan yang berbeda pula.
Jika mushaf Ibn ‘Abbas dan ‘Ali ibn Abi Thalib menempatkan al-‘Alaq sebagai susunan surat pertama, maka Ibn Mas’ud metelakan surat tersebut pada urutan kedelapan puluh enam dan ketujuhpuluh tiga pada mushaf Ubay ibn Ka’b. Sementara mushaf yang biasa kita baca berada pada urutan kesembilan puluh enam. (Taufik Adnan Amal: Rekonstruksi Sejarah Alqur’an, 173).
Sebetulnya, mushaf-mushaf yang ditulis sahabat tersebut mulanya diperuntukkan simpanan pribadi, namun hal tersebut nyatanya sebagian masyarakat saat itu menjadikan mushaf tersebut sebagai pegangan. Di Irak umpamanya, sebagian kota Kufah dan Bashrah mayoritas berpegang kepada mushaf Ibn Mas’ud dan sebagiannya kepada mushaf ‘Ali ibn Abi Thalib. Sementara di Madinah dan Suriah sebagian besar mengambil mushaf yang disusun Zayd ibn Tsabit dan sebaginya dari Ubay ibn Ka’ab. Sementara di Makkah sendiri, mushaf standar berpegang kepada Ibn ‘Abbas.
Keadaan seperti ini berlangsung sepeninggal Nabi hingga puncaknya pada kekhalifahan Utsman ibn ‘Affan. Khalifah ketiga ini menerima laporan dari Hudzaifah terkait terjadinya perselisihan antara umatnya tentang perbedaan Alquran. Kemudian ia menanggapi laporan tersebut dan bermusayarawah hingga ia membentuk tim kodifikasi Alquran, sekalipun sebelumnya telah dilakukan pada kekhalifahan Abu Bakar dan Umar yang kemudian mushaf tersebut disimpan Hafsah binti Umar.
Menurut Manna’ al-Qaththan, dalam pengkodifikasian tersebut Khalifah Utsman memerintahkan Zayd ibn Tsabit, ‘Abdullah ibn Zubayr, Sa’id ibn al-‘Ash dan ‘Abd al-Rahman ibn al-Harits ibn Hisyam yang dibantu lima orang dari Qurays serta lima puluh dari Anshar untuk menyusun Kitab Induk (Mushaf al-Imam) dari tangan Hafsah untuk ditranskip dengan dialek Quraisy. (Mabāhits fi ‘Ulûm al-Qur’an, 129).
Keseriusan Utsman dalam pengkodifikasian mushaf induk telah membuahkan hasil. Sebanyak empat mushaf sebagian keterangan mengatakan sembilan mushaf salinan telah siap didistribusikan ke Kufah, Bashrah, Makkah, Suriah, Bahrain, Yaman, Mesir dan Hijaz. Sementara mushaf asli dikembalikan kepada Hafsah dan satu Salinan disimpan Khalifah di Madinah.
Itikad Utsman dalam penyusunan mushaf resmi dari varian berbeda-beda sebelumnya, dilakukan dengan penarikan mushaf dari tangan penulis untuk selanjutnya dilakukan pembakaran dengan disaksikan banyak orang dan tanpa keberatan dari pihak manapun termasuk pemiliknya. Sekalipun dalam beberapa catatan, Ibn Mas’ud sempat menolaknya.
Jalan ini ditempuh sebagai langkah cerdas dalam upaya menjadikan mushaf resmi serta menghindari perselisihan bahkan mungkin fitnah besar dalam perkembangan sejarah umat islam karena banyaknya varian al-Qur’an. Tindakan Utsman dibenarkan ‘Ali ibn Abi Thalib sebagaimana tertutur dalam kitab al-Mashāhif, “Seandainya Utsman tidak melakukan yang demikian itu, maka akulah yang melakukannya.” (Ibn Abi Dawud Sijistani: al-Mashāhif, 177)
Dengan demikian, mushaf ustmani yang sampai ke tangan kita, merupakan buah jerih payah Khalifah Utsman dalam penyeragaman mushaf Alquran. Sehingga di bulan Ramadhan ini selain gemar membacanya, lebih dari itu dapat memetik hikmah sejarahnya.