Menakar Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati Kabupaten Serang 

Oleh: Irkham Magfuri Jamas, Sekretaris HMI Badko Banten

Pilkada sebagai sarana demokrasi dan kedaulatan rakyat merupakan kegiatan pemilihan umum kepala daerah yang diselenggarakan ditingkat provinsi dan kabupaten kota.

Penyelenggaraan pemilukada serentak 2024 khususnya di provinsi Banten meninggalkan rekam jejak sejarah perselisihan hasil pemilukada atau dalam bahasa hukum disebut dengan
Perselisihan Hasil Pemilihan Pemilihan (PHP).

Sengketa yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi dalam perselisihan tersebut kemudian menyebabkan kepala daerah terpilih tidak dilantik pada 20 Februari 2025 lalu.

Setidaknya ada 3 daerah di Provinsi Banten yang terdapat perselisihan hasil pemilihan umum antara lain: Pilkada Kota Tangerang Selatan, Pilkada
Kabupaten Serang dan Pilkada Kabupaten Pandeglang.

Hal tersebut sebagaimana disampaikan
oleh ketua KPU Provinsi Banten Muhamad Ihsan pada halaman berita online kompas.com, (30/01).

Dalam pembahasan ini penulis menyajikan kajian singkat terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati Kabupaten Serang dengan pendekatan analisis deskriptif dan
menggunakan metode pengumpulan data berdasarkan hasil observasi/studi literatur melalui halaman website resmi Mahkamah Konstitusi, pemberitaan media bersumber dari Detikcom,
Tempo, Kompas.com berdasarkan pengamatan berita dan informasi yang didapat dari sumber sumber diatas, penulis coba menguraikan informasi yang didapat untuk mengulas hasil
keputusan MK tersebut.

Hal ini dirasa perlu untuk melatih ketajaman berfikir penulis dan pembaca sekalian. Tulisan ini murni dibuat sebagai wadah ilmiah untuk mengekspresikan hasil pemikiran sebagai pembuka diskursus kajian sosial pada khalayak umum untuk turut ikut serta peduli dan berkontribusi pada dinamika sosial di daerah.

Perlu kita ketahui, hasil Pilkada di Kabupaten Serang dengan 2 pasangan calon bupati menorehkan jumlah suara sah sebanyak 853.148 suara sah.

Pasangan Calon dengan nomor urut
satu yakni Dr.H. Andika Hazrumy, S.Sos.,M.AP., dan H. Nanang Supriatna, S.Sos., M.Si. memperoleh 254.494 suara sedangkan pasangan calon dengan nomor urut dua yakni Hj. Ratu Rachmatuzakiyah, S.Pd, MM Dan Muhammad Najib Hamas, SE, MM memperoleh 598.654 suara.

Bila kita analisa singkat
hasil perolehan suara dari pasangan calon 1 dan 2 terpaut sangan jauh yakni 344.160 suara.

Dalam PHP yang diajukan paslon 1 selaku pemohon memberikan beberapa tuntutan yaitu: 1) mengabulkan
permohonan seluruhnya, 2) membatalkan keputusan KPU Kabupaten Serang tentang penetapan perolehan suara hasil pemilihan bupati tahun 2024, 3) mendiskualifikasi paslon 02, 4) memerintahkan KPU Kab. Serang untuk menerbitkan surat keputusan penetapan paslon 01 sebagai pemenang, 5) dan memerintahkan KPU Kab. Serang untuk melaksanakan putusan ini.

Atau apabila MK berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya.

Poin menarik dalam proses putusan MK ini diketahui berdasarkan gugatan yang diajukan paslon 1 menggunakan dalil pelanggaran TSM (Terstruktur Sistematis Masif) dalam persidangan.

Secara sederhana kita dapat ketahui bahwa gugatan yang dilayangkan bukanlah gugatan hasil perhitungan
tetapi gugatan adanya tindak pelanggaran TSM.

Berdasarkan ketentuan pada Pasal 158 ayat (2) huruf d UU 10/2016 yang menyatakan tentang syarat permohonan pembatalan haruslah terpenuhi unsur unsurnya.

Lebih lanjut pasal tersebut berbunyi “Peserta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasilnhasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan: d. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Kabupaten/Kota”.

Berdasarkan data yang kita ketahui di atas, bahwa syarat untuk dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Serang Tahun 2024 dapat diajukan apabilabselisih suara antar calon hanya terpaut kurang dari sama dengan 0,5% dari jumlah suara sah.

Jumlah perbedaan perolehan suara antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak adalah
paling banyak 0,5% x 853.148 suara (total suara sah) = 4.265 suara.

Sedangkan selisih paslon 2 dengan
paslon 1 sangatlah jauh yakni 598.654 suara – 254.494 suara = 344.160 suara (40,34%) atau lebih dari
4.265 suara.

Dengan demikian, Paslon 1 tidak memenuhi ketentuan pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (2) huruf d UU 10/2016.

Maka dari itu, paslon 01 memberikan dalil lain yakni adanya alasan untuk menunda berlakunya Pasal
158 UU 10/2016, yaitu apabila adanya kondisi atau kejadian khusus berupa pelanggaran pemilihan
yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Serang Tahun 2024 sehingga merusak asas Pemilukada langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam hal ini diduga melibatkan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto yang
merupakan suami dari Calon Bupati Nomor Urut 2 Hj. Ratu Rachmatuzakiyah, S.Pd., M.M. dan dinilai mempengaruhi hasil pemilihan.

Hal tersebutlah yang kemudian menjadi alasan yang cukup bagi MK untuk menunda berlakunya Pasal 158 UU 10/2016 dengan kata lain permohonan perselisihan ditindaklanjuti.

Sehingga kita ketahui dalil TSM atas keterlibatan mentri PDT Yanri Susanto lah yang menjadi ujung tombak paslon 1 menggugat adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif pada
pemilukada di kabupaten Serang.

Akan tetapi bila kita amati, kewenangan TSM dikatakan bukan kewenangan Mahkamah berdasarkan keterangan dalam eksepsi termohon. Akan tetapi hal tersebut dijawab oleh MK dengan dasar kurang lebihnya adalah dikarenakan Mahkamah konstitusi adalah
lembaga peradilan yang mengadili masalah hukum pilkada yang terkait dengan tahapan pemilukada berkenaan dengan penetapan suara sah hasil pemilukada, sepanjang hal demikian
memang terkait dan berpengaruh terhadap hasil perolehan suara peserta pemilukada.

Sehingga dapat dipahami, manakala terdapat indikasi bahwa pemenuhan asas-asas dan prinsip pemilukada tidak
terjadi pada tahapan pemilukada sebelum penetapan hasil, apapun alasannya, hal tersebut menjadi
kewajiban bagi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi untuk memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final dan mengikat.

Beranjak pada sudut pandang lainnya, bila kita lihat duduk perkara perselisihan, paslon 1 setidaknya
menyampaikan 4 duduk perkara yakni:

1. Mempermasalahkan Yandri Susanto selaku mentri PDT sekaligus suami dari paslon 2 Hj. Ratu Rachmatuzakiyah, S.Pd., M.M. yang menggerakkan para kades di Kabupaten Serang sehingga dinilai mempengaruhi hasil pemilihan.

2. Terjadinya ketidakprofesionalan
Bawaslu Kabupaten Serang dan Bawaslu Provinsi Banten dalam menangani laporan pelanggaran yang pada
acara Rakercab APDESI tanggal 3 Oktober 2024 yang dilaporkan dengan Laporan Nomor 010/PL/PG/Prov/11.00/X/2024 tanggal 9 Oktober 2024.

3. Bahwa adanya ketidaknetralan aparat
penegak hukum di wilayah Kabupaten Serang yakni dengan melakukan politisasi kasus hukum terhadap kepala desa di Kabupaten Serang yang diduga melakukan penyalahgunaan Dana Desa dan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari Pemerintah Pusat, serta penghentian
penyidikan terhadap Ketua APDESI Muhammad Maulidin Anwar berdasarkan Surat Pemberitahuan
Penghentian Penyidikan Nomor B/198.a/XI/2024 yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan Tindak Pidana Pelanggaran Pemilu dalam acara Rakercab APDESI di Hotel Marbela tanggal 3 Oktober 2024.

4. Bahwa terjadinya politik uang oleh paslon 2 yang dibagikan sebelum pencoblosan dengan nominal Rp. 100.000.

Ada beberapa rangkaian kronologis peristiwa yang dipaparkan paslon 1 sebagai pemohon sebagai bukti penguat tuntutan yang diberikan diantaranya:

1. Adanya peristiwa Penggunaan Kop surat Resmi Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal pada surat kegiatan Undangan Haul, Hari Santri dan Tasyakuran dijadikan dalil
adanya bentuk pelanggaran netralitas. Hal ini pula yang kemudian diyakini oleh MK bahwa dugaan penggunaan surat resmi Menteri dalam undangan kegiatan yang melibatkan para kepala desa serta perangkat desa sebagaimana didalilkan Pemohon adalah satu rangkaian kegiatan yang benar-benar terjadi.

2. Berdasarkan rangkaian peristiwa yang disampaikan paslon 1 pada persidangan yang menyatakan adanya kegiatan konsolidasi pemenangan paslon 2 dalam acara rakercab APDESI Kabupaten Serang.

Hal ini pula kemudian yang diyakini oleh MK berdasarkan bukti yang
dipaparkan ahwa benar telah terjadi adanya pernyataan permintaan dukungan bagi Pasangan Calon Nomor Urut 2 yang ditanggapi oleh para peserta kegiatan acara Rakercab APDESI
tersebut pada tanggal 3 Oktober 2024.

Meskipun demikian, pada kegiatan Rakercab tersebut, H. Yandri Susanto yang hadir bersama Calon Bupati dari Paslon Nomor Urut 2 belum ditunjuk
dan dilantik sebagai Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal.

3. Selain itu paslon 1 yang menyatakan peristiwa yang berkenaan dengan pertemuan para kepala desa di Kabupaten Serang dengan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal di
rumahnya, yaitu Kepala Desa Wirana, Desa Sangiang, Desa Binong, Desa Pudar, Desa Pasir Limus dan Desa Kampung Baru.

Setelah Mahkamah mencermati serangkaian bukti yang diajukan para Pihak berkenaan dengan dugaan tersebut, yang berupa file screenshot aplikasi Whatsapp bergambar foto-foto para kepala desa tersebut bersama H. Yandri Susanto.

Bukti tersebut tidak didukung dengan bukti lain yang cukup meyakinkan Mahkamah mengenai relevansi foto tersebut dengan peristiwa yang didalilkan. Terlebih dalam uraiannya, Pemohon tidak menguraikan secara jelas mengenai waktu, kejadian, serta identitas orang yang dapat digambarkan dengan foto tersebut, sehingga Mahkamah tidak dapat meyakini kebenaran mengenai dalil tersebut.

4. Kemudian paslon 1 juga menyampaikan adanya peristiwa pelanggaran netralitas kepala desa
yang memberikan dukungan kepada paslon 2 dalam bentuk video akan tetapi Bawaslu menyatakan pelanggaran itu tidak termasuk dala pelanggaran pemilu melainkan pelanggaran netralitas.

Dari 4 poin diatas kemudian MK memberikan uraian pertimbangan hukum berdasarkan serangkaian bukti dan fakta hukum MK menyatakan bahwa telah terjadi kegiatan-kegiatan yang melibatkan H. Yandri Susanto selaku Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, baik selaku pejabat yangnmengundang, maupun selaku tamu undangan di mana pada kegiatan tersebut terdapat aktivitas yang
mengandung pernyataan-pernyataan dukungan terhadap Pasangan Calon Nomor Urut 2 yang notabene adalah istri dari H. Yandri Susanto selaku Menteri Desa dan Pembangunan Daerah
Tertinggal.

Selain itu, dari bukti tersebut, terdapat fakta adanya rekaman video yang
menggambarkan terjadinya peristiwa pernyataan pemberian dukungan kepada Pasangan Calon Nomor Urut 2 oleh sejumlah kepala desa, di mana rekaman video tersebut telah tersebar di media sosial dan situs pemberitaan daring. Fakta mengenai rekaman video tersebut telah terkonfirmasi melalui bukti yang dilampirkan oleh Bawaslu Kabupaten Serang yang pada pokoknya menyatakan bahwa benar telah terjadi ketidaknetralan kepala desa dalam Pilkada Kabupaten Serang, namun kemudian disimpulkan oleh Bawaslu ketidaknetralan tersebut sebagai bentuk pelanggaran Terhadap undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU 6/2014).

Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah meyakini bahwa ketidaknetralan aparat kepala desa yang melakukan pernyataan dukungan kepada Pasangan Calon Nomor Urut 2 dalam batas penalaran yang wajar bukan sekedar pelanggaran UU 6/2014 sebagaimana yang dinyatakan Bawaslu, namun ketidaknetralan tersebut juga merupakan bentuk pelanggaran yang dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu, sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 yang menyatakan bahwa “Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon”

Sehingga berdasarkan uraian diatas MK menyatakan bahwa hal demikian merupakan fakta hukum yang tidak terbantahkan bahwa H. Yandri Susanto selaku Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal memiliki hubungan pernikahan dengan Hj. Ratu Rachmatuzakiyah selaku Calon Bupati dari Pasangan Calon Nomor Urut 2 (Pihak Terkait).

Sehingga MK meyakini terdapat peristiwa, H. YandrinSusanto, dalam posisinya sebagai Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal telah
menyelenggarakan atau menghadiri kegiatan yang di dalamnya terdapat pernyataan bersifat meminta
atau mengarahkan kepala desa untuk mendukung Pasangan Calon Nomor Urut 2.

Atas dasar itulah MK meyakini adanya pertautan erat kepentingan antara para kepala desa dan aparat pemerintahan desa dengan kegiatan yang dihadiri oleh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah
Tertinggal. Sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan di atas, pernyataan dukungan kepala desa
kepada Pasangan Calon Nomor Urut 2 nyata-nyata merupakan bentuk pelanggaran pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.

Norma ini juga berlaku kepada H. Yandri
Susanto selaku Menteri, di mana Menteri selaku Pejabat negara, dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Tidak dapatndipungkiri bahwa tindakan H. Yandri Susanto selaku Menteri Desa dan Pembangunan DaerahnTertinggal dapat secara signifikan mempengaruhi sikap kepala desa selaku subjek yang menerima manfaat dalam kegiatan dan program Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal
sehingga berdampak secara signifikan pada tindakan yang menguntungkan atau merugikan pihak
tertentu dalam Pilkada.

Sehingga MK menyimpulkan ketidaknetralan Kepala Desa dalam
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Serang Tahun 2024 adalah beralasan menurut hukum untuk
sebagian.

Pisau kritis

Bila kita analisa pelanggaran TSM perlu dibuktikan dengan memenuhi 3 unsur yakni pelanggaran yangTerstruktur, Sistematis dan Masif. Menurut Ratna Dewi Pettalolo selaku anggota DKPP makna terstruktur adalah pelanggaran yang dilakukan melibatkan aparat struktural.

Seperti penyelenggara pemilu, struktur pemerintahan, atau struktur aparatur sipil negara (ASN). Sedangkan yang dimaksud dengan sistematis adalah pelanggaran yang dilakukan dengan perencanaan yang matang, tersusun, dan rapi.

“Contohnya (pelanggaran sistematis) bisa dibuktikan misalnya berhubungan dengan politik uang, ada rapat-rapat yang bisa dibuktikan dengan dokumen yang membuktikan pasangan calon untuk merencanakan melakukan politik uang. Yang disebut dengan pelanggaran masif adalah dampak pelanggaran bersifat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilu dan paling sedikit terjadi di setengah wilayah pemilihan.

Sebagai contoh pelanggaran secara masif yaitu pelanggaran atau perbuatan itu terjadi lebih di 50 persen wilayah.”

Pada unsur terstruktur yang dimaknai pelanggaran yang dilakukan berasal dari struktur pemerintahan maka sangat dimungkinkan adanya pelanggaran TSM justru dilakukan oleh petahana atau partai koalisi petahana.

Namun pada kasus di Kabupaten Serang justru tuntutan TSM diajukan dari partai koalisi petahana dengan satu lain hal kondisi yang dianggap dapat memungkinkan hal ini terjadi yaitu adanya campur tangan mentri PDT yang diputuskan oleh MK sebagai pangkal pada unsur pelanggaran yang terstruktur.

Maka publik perlu mengkritisi hal ini,
apakah benar adanya mentri PDT mempengaruhi hasil Pilkada di Kabupaten Serang? Tentu
berdasarkan data berupa bukti yang diajukan pemohon (paslon 01) yang melampirkan bukti adanya kehadiran Yandri pada acara APDESI tanggal 3 oktober 2024 dengan gugatan bahwa Yandri mengumpulkan kepala desa tersebut dalam rangka kampanye.

Tapi perlu digaris bawahi bahwasannya gugatan ini tidak sepenuhnya benar, sebab pada tanggal 3 oktober 2024 Yandri tidak berstatus sebagai mentri.

Sebab dia baru dilantik menjadi mentri pada tanggal 21 Oktober 2024.
Terlebih berdasarkan keterangan saksi Yandri hadir sebagai undangan bukan sebagai pelaksana acara APDESI.

Sehingga menurut penulis agenda APDESI tersebut belum cukup bukti untuk memenuhi unsur terstruktur yang dimaksud dalam pelanggaran TSM.

Adapun pelanggaran dukungan kepala desa di Kecamatan Mancak yang disertai dengan bukti video yang beredar menjadi bukti kuat dan dapat diyakini terjadinya pelanggaran Kepala Desa.

Namun berkenaan dengan hal tersebut, Bawaslu Kabupaten Serang mengklasifikasikan hal tersebut sebagai pelanggaran netralitas akan tetapi kemudian Bawaslu Kabupaten Serang
menyatakan hal tersebut tidak terbukti pelanggaran Tindak Pidana Pemilihan, namun ditindaklanjuti sebagai informasi awal dan direkomendasikan kepada Bupati Serang sebagai dugaan Pelanggaran perundang-undangan lainnya.

Namun, MK berpendapat lain. MK berpendapat bahwa pelanggaran yang dilakukan kepala desa tersebut telah mempengaruhi hasil meskipun tidak terdapat bukti mengenai keterlibatan langsung Pihak Terkait dalam dugaan pelanggaran netralitas kepala desa.

Ini lah yang kemudian menjadi titik kritis kita. Bagaimana mungkin tidak adanya bukti mengenai keterlibatan langsung pihak terkait dalam dugaan pelanggaran netralitas ini dapat meyakinkan MK bahwa adanya pelanggaran yang terstruktur? Karena ini tentu bertolak belakang dengan hasil penyelidikan dari Bawaslu. Tentu Bawaslu telah melakukan klarifikasi dan seterusnya kepada pihak pihak yang dianggap melanggar dan kemudian dinyatakan oleh bawaslu bukan sebagai pelanggaran pemilu.

Dalam politik sangat sulit mengidentifikasi lawan dan kawan, kita tidak pernah tahu apakah betul kepala desa di Mancak itu benar-benar mendukung paslon 2 sebagai pihak yang dianggap oleh MK diuntungkan, atau justru perilaku kades-kades di mancak itu bagian dari siasat tertentu yang sebaliknya dapat merugikan paslon 2 sebagaimana hasil akhir dari putusan MK ini.

Maka dengan disampaikannya kalimat “meskipun tidak ada bukti mengenai keterlibatan langsung” yang dibacakan oleh MK membuat masyarakat mempertanyakan keputusan MK tersebut. MK menggunakan dalil dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 yang menyatakan bahwa “Pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon”.

Atas dasar tersebut kemudian MK menetapkan dalil Pemohon berkenaan dengan ketidaknetralan Kepala Desa dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Serang Tahun 2024 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Beranjak pada pisau bedah sistematis, adanya bukti dokumen-dokumen baik dokumen berupa pembagian uang dsb dapat menjadikan unsur pelanggaran sistematis terpenuhi.

Akan tetapi tuduhan adanya money politik yang dilakukan oleh paslon 2 dikatakan tidak terbukti oleh MK. Akan
tetapi MK tetap menyatakan bahwa tidak terdapat keraguan bagi Mahkamah untuk meyakini telah terjadi praktik keberpihakan yang dilakukan oleh Kepala Desa sehingga hal tersebut merupakan pelanggaran pelanggaran Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016.

Dasar MK menyatakan demikian karena MK menilai menteri PDT pasti ada hubungannya dengan Kades dan Mentri PDT adalah suami dari paslon bupati nomor urut 2. Maka hal demikian dapat mempengaruhi netralitas dari kades.

MK menilai, Seharusnya, dalam
kondisi di mana salah satu pasangan calon peserta pemilukada memiliki hubungan pernikahan atau hubungan keluarga dengan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, maka sudah semestinya Menteri tersebut menghindari kegiatan atau aktivitas apalagi mengeluarkan kebijakan
yang dapat mempengaruhi netralitas para aparat desa dengan cara menghindari segala kegiatan yang
dilaksanakan di lingkungan Kabupaten Serang sejak ditetapkannya Pasangan Calon Peserta Pilkada Kabupaten Serang Tahun 2024 hingga selesainya tahapan pemilukada.

Disatu sisi penulis setuju dengan sudut pandang MK bahwasannya mentri desa seharusnya tidak cawe cawe, akan tetapi disisi lain sangat disayangkan apabila atas dasar hubungan pernikahan menjadikan hal yang memberatkan satu sisi.

Padahal kita ketahui tidak terdapat rekomendasi atau Putusan Bawaslu yang menyimpulkan adanya keterlibatan aktif Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam upaya pemenangan Pasangan Calon Nomor Urut 2, namun bagaimana bisa Mahkamah meyakini dengan adanya hubungan antara Calon Bupati Nomor Urut 2 dengan H. Yandri Susanto selaku Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dalam batas penalaran yang wajar yang mana hal demikian dinilai oleh MK menimbulkan hubungan kausal yang pada akhirnya berdampak pada keberpihakan para kepala desa secara masif dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Serang Tahun 2024.

Maka titik kritisnya adalah bagaimana bila anak dari walikota maju sebagai anggota legislatif di wilayah/dapil yang sang ayah pimpin, bagaimana bila anak presiden mencalonkan menjadi wapres?

Rakyat kemudian mempertanyakan hal tersebut, dikarenakan MK memutuskan tanpa bukti yang nyata dan sebatas meyakini menjadikan titik kritis pada tulisan ini.

Pisau bedah Masif.

Pelanggaran TSM yang masif tentunya harus meliputi 50% wilayah pelanggaran, sedangkan bukti pelanggaran yang dianggap meyakinkan oleh MK adalah bukti pelanggaran berupa vidio kades-kades di kecamatan Mancak.

Kita ketahui dalam vidio dimaksud hanya terdapat 10 desa
dalam vidio tersebut.

“Saya Irfan Kepala Desa Mancak, Saya Rahmat Hidayatullah Kepala Desa
Ciwarna, Saya Ahmad Nuriman Kepala Desa Angsana, Saya Bayu Solihin Kepala Desa Talaga, Saya Ahmad Fathoni Kepala Desa Waringin, Saya Bayu Saputra Kepala Desa Sigedong, Saya Sabil Kepala
Desa Batukuda, Saya Khairul Salam Kepala Desa Bale Kencana, Saya Herman Kepala Desa Cikedung, Saya Iwan Kepala Desa Labuan yang juga sebagai Ketua APDESI Kecamatan Mancak, “Kami siap untuk seluruh Kepala Desa se Kecamatan Mancak siap mendukung terhadap Pasangan Calon Nomor Urut 2
(Andra Soni dan Dimyati Natakusumah) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur dan (Hj. Ratu Rachmatuzakiyah dan Bapak Muhammad Hajib Hamas) sebagai Calon Bupati Kabupaten Serang dan
Wakil Bupati Serang, Mancak, Menang, Menang, Menang” sumber: Putusan MK no 70/PHPU.BUP-XXIII/2025.

Sedangkan terdapat 326 desa di kabupaten Serang. Maka hemat penulis unsur masif belum dapat dibuktikan secara terang karena setidaknya perlu 163 wilayah desa yang terbukti adanya pelanggaran.

Tentu tulisan ini masih banyak perlu disempurnakan sehingga segala bentuk masukan dapat disampaikan dan dijawab dalam bentuk kajian-kajian dalam rangka watawa shaubil haq,
watawa shaubissabr.

Meskipun banyak hal yang dapat kita kritisi dalam putusan MK ini,
menyangkut hak suara pemilih dan nama baik penyelenggaraan pilkada di daerah, putusan MK tetap kita hormati sebagai mana amanat undang-undang yang menyatakan bahwa putusan MK adalah bersifat final dan mengikat.

Maka dari itu penulis mengajak masyarakat sekalian untuk mengawal pesta demokrasi dengan datang ke TPS menggunakan hak pilih berdasarkan hati nurani masing-masing tanpa intervensi pihak manapun.

Mari kita kawal penyelenggaraan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dengan berkontribusi aktif baik dalam pengawasan maupun pelaksanaan pemilihan.

Mari kita buktikan suara kita, suara rakyat adalah berdaulat dan sama-sama kita buktikan apakah putusan MK ini benar adanya atau kesalahan manusia yang penuh dengan kelalaian dan khilaf dosa.

Seraya tak lupa panjatkan doa kepada yang maha kuasa untuk menuntun kita kejalan yang benar.

Karena pada akhirnya kebenaran hanya lah milik yang maha esa dan kedaulatan ada ditangan kita sebagai rakyat, warga negara dan bangsa Indonesia.

YAKIN USAHA SAMPAI!

Comments (0)
Add Comment