Mengajar Tanpa Kelas

*) Oleh: Mokhlas Pidono

(Sebuah Refleksi)

BAPAK, sosok yang sekarang mulai renta dan memasuki masa tuanya tetaplah tak mengurangi rasa hormat dan sayangku kepadanya. Bagiku, apa yang sudah ditorehkan dalam jejak-jejak langkah kakiku sampai saat ini adalah hasil dari jerih payahnya mendidikku.

40 tahun dalam pengabdiannya sebagai seorang guru, dari awal lulus sekolah, sampai cucunya sekolah, tetap menjadi guru, tak naik jadi kepala sekolah apalagi kepala dinas. Baginya, profesi guru adalah mulia, ladang meraup pahala, bukan pekerjaan pengumpul harta, karena guru yang jujur pada profesinya, sangat jarang ada yang kaya materi, namun insya Allah kaya hati.

Aku, sejak dilahirkan 34 tahun yang lalu oleh ibuku, tak mengenal hiruk pikuk perkotaan. Kampung nun jauh di pelosok daerah paling tertinggal di Banten saat itu yakni Kabupaten Lebak, menjadi tempat tugas bapak, entah berapa bus tenaga guru yang dikirim berbarengan dengan ditugaskannya bapak tahun 1978 dari D.I Yogyakarta sana. Sebuah pengabdian anak bangsa terhadap tugas negaranya, tanpa tawar menawar, tanpa bayaran besar, bahkan tanpa sanak saudara di tempat penugasan, namun sampai pensiun menjelang, tak ada niat mutasi, tak ada keinginan pindah ke Kota, bagi bapak, ladang pahala ada di mana saja, bahkan di pelosok desa sekalipun.

Itulah perbedaan antara pengabdian dan mencari lapangan pekerjaan, antara tulus dan bulus, antara SDM berintegritas dengan SDM oportunis yang disodori SK 10 tahun tak boleh mengajukan mutasi saja, mulai meringis, mundur teratur dan menangis.

Aku akan selalu ingat, tak akan pernah lupa sampai tua menyapa, bapak selalu memandikanku, menggendongku di atas pundaknya subuh hari dari rumah bilik mungil bertiang bambu, yang kalau tiangnya dipegang rumahnya ikut bergoyang seperti mau roboh. Subuh hari aku seperti naik kuda di pundak bapak, menuju mata air di bawah pohon duren sana, mungkin 500 meter dari rumah berjalan kaki. Mata air itu mengepul di subuh hari, hangat menyiram badan meski bukan air panas, terkadang menemukan durian yang jatuh akibat tertiup angin semalam.

Pulang ke rumah, aku disiapkan sekolah. Dengan busana Gatot Kaca yang terbuat dari karton atau kertas bekas, menaiki sepeda kecil hasil jerih payah bapak, untuk anaknya yang sempat menangis meraung-meraung menginginkannya, aku masih ingat bapak. Rabbigfirli Wa lii Wa lii daaya.

Aku juga masih ingat, bapak.. ketika aku diajak ke kantor pos untuk mengambil kiriman dari Pak Tuo kakekku di Yogyakarta sana, berjalan kaki berkilometer di jalan setapak hutan belantara, sebagai tanda bahwa penghasilanmu sebagai guru hanya cukup untuk beberapa minggu kala itu, 12 ribu gajimu dapat apa? Tapi, semangatmu menjadi guru, mendidik anak bangsa banyak memberikan tanda, beberapa sudah jadi dosen disana, banyak yang menjadi pegawai Negara sepertimu, banyak yang sudah menjadi pengusaha, kau lahirkan juara cerdas cermat meski hanya sampai tingkat kecamatan, SD mu terkenal banyak melahirkan siswa unggul di kecamatanmu, sampai masamu pensiunpun, bagiku engkau tetaplah seorang guru.

Dulu, aku sempat punya mimpi menjadi penerusmu. Jejakmu adalah guru pertama dalam hidupmu, bukankah anak adalah nomor satu dalam hal meniru. Anak adalah penggemar nomor satu untuk orang tua yang baik, anak adalah orang nomor satu yang selalu ingin menjadi penerus pengabdian bapaknya, aku sempat menginginkannya bahkan sempat melakukannya.

Aku tahu, di hati bapak yang terdalam pasti ingin melihat salah satu anaknya menjadi guru, menjadi penerus perjuangan mendidik anak bangsa. Aku sempat melakukannya, 3 tahun lamanya mengajar dan mendidik siswa, namun ternyata tantangannya berbeda pak, tak seekstrim bapak, di tengah Kota dengan fasilitas ada, bukan sekolah bilik berlantai tanah dan semen yang sudah terkelupas, bukan sekolah tak berbayar dan Cuma-Cuma untuk siswanya. Sekolahku berbayar mahal, siswanya orang berada, makna perjuangan yang aku pelajari darimu tidak ada di sana bapak, maaf aku keluar.

Kadang, kebanyakan kita salah mengartikan bahwa mengajar dan mendidik hanya bisa dilakukan di sekolahan. Iya, secara formal memang pendidikan ada di sekolah. Namun sejatinya, pendidikan itu bermula dari rumah. Bukankah ibu itu madrosatul Ula’, madrasah pertama bagi anak-anak dan bapak adalah pemimpinnya. Maka, bisa dikatakan bahwa sebelum bertemu guru di Sekolah, bapak dan ibu adalah guru pertama bagi anaknya.

Asupan pendidikan yang baik di rumah, maka akan baik pula anak-anaknya, pun sebaliknya. Jadi, sekarang aku sadar pak bahwa aku tetap bisa menjadi guru di kelas yang berbeda. Bagi orang tua yang menganggap sekolah adalah tempat menitipkan anak, memasrahkannya agar ditempa sedemikian rupa menjadi anak yang shalih, anak yang berbakti, anak yang pintar, sebaiknya jangan berkhayal terlalu tinggi jika pendidikan di rumah, oleh orang tua, sama sekali tak mendukung semua cita-cita tersebut.

Bapak, aku memang punya cita-cita meneruskan perjuanganmu. Menjadi guru yang mendidik putra-putri bangsa agar menjadi manusia berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa. Sempat aku mencobanya, sempat aku berusaha, tapi jalanku bukan jadi guru, takdirku bukan untuk itu. Allah SWT menuntun langkah kakiku bukan untuk menjadi guru saat ini. Tapi, Bapak tetap harus bangga, aku tetap menjadi guru yang mengajar, mendidik dan transfer ilmu bagi istri dan anak-anakku, bagi teman-temanku, bagi keluargaku, bahkan bagi orang yang ingin berbagi denganku, siapapun.

Aku tetap menjadi guru, meski tanpa bangku dan meja, tanpa papan tulis dan kapur, tanpa buku materi dan LKS, tanpa raport dan rangking, aku menjadi guru di kamar, di rumah, di saung, di tempat kerja, aku mengajar tanpa kelas, kelasku berbeda, kelasku alam semesta. Yang terpenting aku ingat nasehat bapak, bapak tak bisa mewariskan harta apapaun karena bapak tak punya harta, bapak hanya bisa mewariskan ilmu, mewariskan pengetahuan, itu makanya kalian bapak sekolahkan.

Aku berharap, bapak masih tetap semangat dan tersenyum, meski sampai saat ini, anakmu yang dulu ada dipundakmu dan sekarang sudah dipundaknya memanggul cucumu, masih tetap terus merepotkanmu. Semoga berkah panjang umur Bapak/Ibu, bisa menyaksikan kesuksesan anak-anakmu kelak.

Semoga Allah jaga dan sayangi bapak/Ibu, sebagaimana kalian menyayangi dan menjaga anak-anakmu. (***)

Serang, 28 Januari 2019

*) Penulis adalah warga Kota Serang, pengagum pendidik baik.
GuruMokhlas PidonoPendidikan
Comments (0)
Add Comment