Mudik Konstitusi

Mudik Konstitusi

 

Oleh: TM Luthfi Yazid, Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI).

Fenomena Mudik sudah dikenal lama dalam masyarakat Indonesia terutama saat mudik lebaran Idul Fitri.

Masyarakat Muslim khususnya pada menjelang akhir Ramadan ini sudah berkemas untuk melaksanakan mudik ke kampung halamannya masing-masing.

Fenomena ini biasanya ditandai dengan menumpuknya kendaraan serta macetnya perjalanan, baik darat laut maupun udara.

Fenomena mudik alias pulang kampung ini dapat dijelaskan dari berbagai perspektif, baik sosiologis, kultural, religi, psikologis, politik dan lain sebagainya.

Dengan mudik biasanya mereka kembali ke kampung asalnya untuk berjumpa dengan keluarganya, sanak famili, maupun kawan-kawan lama semasa kecil.

Tulisan ini mencoba memaknai mudik dari perspektif yang lain yaitu perspektif Konstitusi, UUD 1945.

Di dalam pembukaan UUD 1945 terdapat kalimat seperti ini: “… Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan Makmur”.

Membaca pembukaan konstitusi tersebut maka para pendiri bangsa sepakat bahwa “kebahagiaan” merupakan tujuan penting dari kemerdekaan republik ini. Akan tetapi untuk menciptakan masyarakat yang berbahagia sebagaimana yang dicita-citakan itu, maka harus ada pra-kondisi yakni terwujudnya keadilan (justice). Dan ini merupakan mandat konstitusional yang harus dilaksanakan.

Jika kita menengok lebih jauh ke dalam batang tubuh UUD 1945 maka yang tertera disana adalah kata “kepastian hukum yang adil” sebagaimana tertuang dalam pasal 28 D ayat 1. Hanya dengan terciptanya kepastian hukum yang adil itulah maka masyarakat akan mencapai kebahagiaan.

Cara pandang pemimpin bangsa dengan menempatkan “kebahagiaan” sebagai sebuah asa serta harapan (hope), maka hal itu menunjukan cara pandang yang futuristik.

Bahkan sebelum organisasi-organisiasi internasional menyuarakan tentang Index of happiness, para founding parents kita telah berbicara tentang kebahagiaan dalam konteks konstitusi.

Artinya apabila kita ingin meraih kebahagiaan sebagai warga negara dan pemerintah, maka perjanjian luhur antara negara dengan rakyatnya yakni kontitusi haruslah ditegakkan. Lebih tegas lagi didalam konstitusi disebutkan bahwa negara kita adalah negara hukum (rechsstaat) bukan negara kekuasaan (machsstaat).

Adalah tanggung jawab negara untuk memenuhi semua kewajiban dan janji-janji yang ada di dalam konstitusi. Misalnya jaminan untuk kebebasan menyampaikan pendapat, jaminan memperoleh pekerjaan yang layak, jaminan atas hak-hak asasi manusia dan lain sebagainya.

Oleh sebab itu apabila ada pembungkaman atau terror terhadap pers seperti dialami majalah Tempo misalnya, maka menjadi tugas negara untuk membongkar dan menangkap pelakunya demi tegaknya keadilan. Atau jika terjadi pembunuhan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalisnya, seperti yang belum lama ini terjadi di Kalimantan, maka tugas negara juga melalui organ-organnya untuk menegakkan HAM.

Begitu juga jika para mahasiswa atau masyarakat menyampaikan aspirasinya atau menanyakan proses pembentukan sebuah regulasi agar transparan serta partisipatif, maka adalah kewajiban negara untuk melindungi kebebasan mereka. Dan bukan justru mengintimidasi atau menindasnya.

Jika filsuf jerman Martin Haeidegger berpendapat bahwa mudik bukan sekadar kembali ke tempat asal secara fisik melainkan ke hakikat diri yang otentik berupa datangnya kematian, Nurcholish Madjid (Cak Nur) mengibaratkan mudik sebagai sebuah perjalanan spiritual, bukan sekedar tradisi tahunan menjelang lebaran. Kata Cak Nur, Mudik selaras dengan ajaran Islam Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) mengatakan bahwa mudik adalah simbol perjalanan spiritual dan kultural. Cak Nun sering mengkaitkan mudik dengan konsep “sangkan paraning dumadi” yaitu manusia mesti kembali kepada asal-usul kehidupannya. Jika Haeidegger, Cak Nur dan Cak Nun memaknai mudik secara demikian, maka ijinkan saya memaknai mudik sebagai warga negara dan penguasa sebagai mudik konstitusi.

Dengan demikian setelah usai bulan Ramadhan ini hendaknya kita semua terutama penguasa segera kembali kepada fitrahnya yakni sebagai responsible provider bagi semua kepentingan rakyat, menjalankan kewajiban konstitusional yang dimandatkan oleh UUD 1945 terhadap siapapun tanpa kecuali demi terciptanya dan terwujudnya keadilan bagi semua (Justitia Omnibus).

Mudik Konstitusi– dalam arti menjalankan Konstitusi untuk melindungi rakyatnya– bagi penguasa adalah one way ticket, point of no return. Tak ada pilihan lain… ***

Comments (0)
Add Comment