Perempuan Indonesia: Antara Harapan Kartini dan Kenyataan yang Terkoyak

Perempuan Indonesia: Antara Harapan Kartini dan Kenyataan yang Terkoyak

 

Oleh : Nasrullah, S.IP, Ketua Bidang Pendidikan Dasar dan non formal Pengurus Besar Mathla’ul Anwar

Raden Ajeng Kartini adalah simbol perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia.

Ia lahir dalam masa di mana perempuan Jawa hidup dalam belenggu adat dan patriarki yang menutup akses terhadap pendidikan, kebebasan berpikir, dan hak hidup yang setara.

Lewat surat-suratnya yang terkenal dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menyuarakan harapan besar: agar perempuan Indonesia bebas dari kebodohan, bisa bersekolah, bersuara, dan berdiri sejajar dengan laki-laki.

Harapan itu adalah cahaya yang ditinggalkannya untuk generasi setelahnya.

Namun lebih dari seabad setelah kepergiannya, kenyataan hari ini sering kali jauh dari harapan yang ia titipkan.

Di satu sisi, perempuan Indonesia telah menorehkan banyak prestasi. Di sisi lain, sebagian dari mereka justru memilih jalan hidup yang mencederai nilai-nilai luhur perjuangan Kartini.

Perempuan dalam Era Kartini

Pada awal abad ke-20, perempuan pribumi tidak memiliki hak untuk memilih pendidikan secara bebas.

Mereka lebih banyak disiapkan untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga tanpa kesempatan mengembangkan potensi diri.

Kartini menjadi tokoh penting yang menggugat ketidakadilan ini. Ia tidak menolak peran domestik perempuan, tetapi ia menuntut agar perempuan diberi kesempatan untuk belajar, berpikir, dan memilih jalan hidupnya sendiri.

Kartini adalah sosok yang progresif. Meski hidup dalam kungkungan adat dan akhirnya menikah dengan seorang bupati yang telah beristri, ia terus menulis, berpikir, dan berjuang dengan caranya sendiri. Ia percaya bahwa pendidikan adalah jalan pembebasan, dan ia bermimpi tentang lahirnya generasi perempuan yang berani dan merdeka.

Perempuan Indonesia Hari Ini: Dua Wajah Realitas

Perjuangan Kartini tidak sia-sia. Kini, perempuan Indonesia bisa menempuh pendidikan hingga jenjang tertinggi.

Mereka bisa menjadi menteri, gubernur, CEO, peneliti, aktivis, dan pemimpin di berbagai lini kehidupan. Kesetaraan gender semakin digaungkan, dan suara perempuan semakin didengar dalam ruang publik.

Namun pada saat yang sama, ada sisi gelap dari kenyataan yang muncul di balik kemajuan tersebut. Di tengah kebebasan dan akses informasi, sebagian perempuan justru terjebak dalam gaya hidup instan yang mengorbankan martabat.

Fenomena sugar baby, gundik, hingga perempuan yang rela menjadi simpanan pria beristri demi materi bukan lagi hal yang tabu.

Mereka hadir di media sosial dengan penampilan glamor, menjadi influencer dadakan dengan gaya hidup mewah yang tak sepadan dengan latar belakang pekerjaan.

Ironisnya, gaya hidup seperti ini justru dianggap keren oleh sebagian generasi muda. Banyak yang menormalisasi pola pikir “yang penting kaya, urusan harga diri nanti saja.” Ini bukan hanya tentang tubuh yang dijadikan komoditas, tetapi tentang bagaimana nilai diri perempuan direduksi menjadi alat tukar dalam dunia yang mengagungkan kemewahan dan popularitas.

Faktor Pendorong Dekadensi Moral

Fenomena ini tentu tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Ada banyak faktor yang mendorong perempuan memilih jalan tersebut

Tekanan Ekonomi: Ketimpangan sosial dan kesulitan ekonomi membuat sebagian perempuan tergoda untuk mencari jalan pintas demi kelangsungan hidup.

Minimnya Pendidikan Karakter: Meski secara akademis perempuan kini lebih terdidik, pendidikan karakter dan moral tidak selalu sejalan. Banyak yang cerdas secara teori, namun miskin integritas.

*Pengaruh Media Sosial: Media sosial mempromosikan kehidupan serba glamor, membuat banyak orang merasa “tertinggal” jika tidak mengikuti gaya hidup konsumtif. Dalam upaya untuk tampil mewah, sebagian perempuan memilih jalan pintas.

Normalisasi Seksualitas: Budaya populer kini seringkali menggambarkan perempuan sebagai objek seksual. Ini menanamkan persepsi bahwa tubuh adalah aset utama untuk mendapat perhatian dan kekayaan.

Kurangnya Role Model Positif: Banyak tokoh perempuan yang seharusnya menjadi panutan justru terlibat dalam skandal atau mempromosikan gaya hidup yang dangkal.

Antara Kemerdekaan dan Kebebasan Semu

Kartini memperjuangkan kemerdekaan bagi perempuan—bukan sekadar kebebasan. Kemerdekaan berarti bebas dari penindasan dan memiliki kendali atas hidup sendiri, dengan penuh tanggung jawab dan nilai. Sedangkan kebebasan semu yang kini marak hanya menghasilkan generasi yang terjebak pada kenikmatan sesaat dan ilusi kesuksesan.

Perempuan yang menjual diri demi materi bukanlah cerminan dari kemerdekaan, tetapi justru bentuk lain dari penjajahan modern. Penjajahan atas tubuh dan nilai diri yang dibungkus dalam kilau kemewahan.

Menjemput Harapan Kartini Kembali

Harapan Kartini belum mati. Masih banyak perempuan tangguh di pelosok negeri yang berjuang sebagai guru, tenaga medis, aktivis sosial, petani, hingga ibu rumah tangga yang mendidik anak-anaknya dengan penuh cinta dan nilai luhur.

Mereka adalah Kartini masa kini yang berjalan diam-diam, tanpa sorotan media, namun memberi cahaya bagi sekitar.

Tugas kita adalah menghidupkan kembali nilai-nilai perjuangan Kartini: memperjuangkan pendidikan perempuan, menanamkan harga diri dan martabat sejak dini, serta menciptakan ekosistem sosial yang mendorong perempuan untuk tumbuh, bukan sekadar tampil.

Kartini tidak pernah memimpikan perempuan menjadi makhluk yang sempurna. Ia hanya ingin perempuan diberi hak untuk menjadi manusia seutuhnya: berpikir, bermimpi, dan memilih. Kenyataan hari ini mungkin mengecewakan, namun harapan masih bisa dijemput kembali. Dalam dunia yang gelap oleh ilusi dan glamor semu, sudah saatnya perempuan Indonesia kembali menjadi terang—bukan hanya kilau sementara, tapi cahaya yang menerangi bangsa.

Sebagaimana kata Kartini: “Tak ada awan di langit yang tetap selamanya. Tak mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis gelap datanglah terang.”***

RA Kartini
Comments (0)
Add Comment