Ramadhan Kali Ini, Benarkah Kita Sudah Ber-Puasa?

*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)

FAKTA BANTEN – ADA yang bilang, puasa adalah sebagai proses peragian jiwa dan raga manusia. Spiritualitas jiwa kita perlu dilatih untuk berproses menuju cinta dengan Allah SWT. Dari sekian banyak bentuk (ibadah) percintaan dengan Allah, percintaan yang paling mesra, paling spesial dan eksklusif adalah dengan laku puasa.

Bahkan Allah sampai berfirman dalam sebuah hadits qudsi: “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung”.

Medis Barat yang mulai mengakui jika puasa juga bisa menyehatkan, karena raga kita juga perlu istirahat setelah sebelas bulan kita tak henti-hentinya mengisi perut dengan berbagai makanan. Organ-organ dalam kita juga perlu istirahat, dan banyak sekali referensi dari persepektif kesehatan yang menjelaskan tentang itu.

Lalu, bagaimana dengan proses peragian kita selama bulan Ramadhan 1440 hijriyah kali ini? Berhasil atau tidaknya tentu itu mutlak menjadi wewenang Allah, akan tetapi urusan gagalnya kita tentu bisa merasakan.

Dari sekian tahun kita berpuasa, apakah itu membuat kita menjadi semakin dekat dengan Allah? Menjadi lebih mesra dengan Sang Pencipta? Biasa saja? Atau malah semakin jauh?

“Manusia, manusia. Setiap tahun ketemu Ramadhan kok tak pernah meningkat, Puasa kok suasananya lebih ribut dibanding tidak puasa. Puasa cap apa itu?” mungkin seperti itu ejekan dari Malaikat atau Jin yang melihat puasa kita.

Mengutip tulisan guru saya Mbah Nun, bahwa puasa itu shiyam dan shoum. Shiyam adalah puasa kuliner Ramadhan tidak makan minum dari Subuh hingga Maghrib. Shoum adalah segala kegiatan, inisiatif atau upaya untuk membatasi diri, menahan gairah supaya tidak menyentuh garis keberlebihan, atau mengendalikan agar tidak terseret oleh perilaku melampiaskan.

Di puasa Ramadhan yang kita jalani sejauh ini mungkin kita sudah patuh kepada Shiyam, tapi mungkin penuh pelanggaran terhadap Shoum. Indikatornya, bisa kita lihat dan merasakannya mungkin. Misalnya kebutuhan anggaran kuliner selama bulan puasa untuk berbuka dan sahur yang berlipat ganda. Atau munculnya budaya “cengengesan” yang serba lebai di tayangan-tayangan acara Ramadhan di televisi.

Rabalah kembali, lalu rasakanlah, di penghujung bulan suci ini, apakah kita sudah benar-benar puasa atau masih dominan menuruti puas (hawa nafsu)?

Jangan sampai kembali suci atau fitri di Hari Kemenangan 1 Syawal hanya menjadi harapan kosong, lantaran kita mengabaikan substansi puasa itu sendiri.

Ada baiknya, di sisa bulan mulia yang penuh berkah ini kita merenung sejenak, berkontemplasi dalam merefleksikan bulan Ramadhan ini, agar bisa menemukan kedalaman makna dan kedalaman laku ibadah puasa kita.

Jangan sampai ritual puasa yang dijalani malah menambah kedekatan kita pada dunia dan mengurangi kedekatan dan kemesraan kita kepada Allah SWT. (***)

*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online

Berkah RamadhanHari Raya Idul FitriPuasa Ramadhan
Comments (0)
Add Comment