Sejatinya Santri Adalah Pejuang, Bukan Alat Peruntungan Dalam Dulangan Suara Pemilu

Oleh : Raukhil Aziz S (SantriAlumni Ponpes La Tansa Mashiro)

Tepat pada tanggal 22 Oktober itu selalu ada fenomena baru di belahan negara Indonesia, ya kita sering menyebutnya sebagai Hari Santri Nasional (HSN).

Tapi perlu sedikit kita ketahui, ada banyak kejanggalan yang sangat amat mendalam bagi santri seantero pasantren yang ada di nusantara, yang mana di saat para pejabat tinggi atau pemerintahan mulai dari tingkat daerah hingga nasional yang turut dalam merayakan hari ceremonial itu, yang mulai digagas semenjak 73 tahun silam sebagai resolusi jihad Nahdlatul Ulama oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan penuh bahagia dan suka cita yang tertuang pada perpres Ir. H. Joko Widodo pada tanggal 15 Oktober tiga tahun silam bahwa hari santri nasional ditetapkan pada tanggal 22 Oktober, tapi nyatanya masih banyak santri yang berjuang di dalam penjara sucinya (tempat pemondokan).

Hati kecil mereka mungkin ingin berkata: “Andaikan aku berada di sana pasti aku akan merasakan kebahagiaan yang sama”.

Pada dasarnya santri itu tidak butuh dengan yang namanya perayaan dan legitimasi oleh para pejabat tinggi negara, yang mereka butuhkan hanyalah ridho Allah dan guru semata, tak butuh perayaan yang mewah tapi yang mereka butuhkan adalah kesadaran beribadah bagi setiap warga negara.

Para santri bukan hanya sekedar redaksional saja sebagai orang menuntut ilmu agama di pondok pesantren, tapi lebih dari itu santri memiliki makna filosofis yang amat mendalam dengan keikut sertaannya dalam memerdekakan bangsa dan negara indonesia.

Para santri sering menyebut dirinya sebagai ‘Sun’ yang mana layaknya matahari yang mampu menyinari bumi di dalam gelapnya kehidupan dunia, dan ‘Tree’ yang mana layaknya pohon yang mampu menyejukkan di tengah panasnya pergolakan dan dinamika duniawi.

Makna suci santri pada hari ini seolah ternodai oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, di saat santri sedang mengkaji dan mengharap ridho ilahi justru mereka menjadikan santri sebagai komoditi yang amat murah di negeri ini terlebih mitos hari ini adalah mereka dijadikan alat untuk mencapai sebuah kekuasaan yang nantinya menjadi ironi bagi negeri.

Perlu diketahui, santri sesunggahnya seperti singa yang lapar di padang pasir pada siang hari dengan mencari ilmunya dan menjadi manusia biasa pada malam hari dengan tangisannya di atas sajadah, bukan mereka dijadikan alat bagi penguasa untuk meraih lumbung suara. Santri adalah palang pintu terakhir bagi agama dan negara, santri berdiri di tengah sebagai perekat bukan peretak.

Oleh karenanya semoga nilai-nilai santri tetap terus tumbuh dijiwa rakyat Indonesia bukan hanya sebatas perayaannya saja agar sesuai dengan semboyan yang digaungkan pada kali ini ‘Bersama Santri Damailah Negeri’.(***)

[socialpoll id=”2521136″]

Hari Santri
Comments (0)
Add Comment