Dari sisi ideologi, warna, gerakan, dan kader, banyak yang beranggapan PDI Perjuangan dan PKS ini sangat berlainan. Tapi, dalam politik praktis ternyata kedua partai ini tak selamanya seperti minyak dan air. Buktinya, kedua partai ini bisa bersatu di 13 pilkada serentak yang digelar pada Desember 2020 lalu. Kendati begitu, PKS adalah partai yang paling sedikit diajak koalisi oleh PDI Perjuangan di Pilkada 2020. Sebaliknya, PDI Perjuangan paling banyak berkoalisi dengan Partai Golkar di 46 daerah. Lalu dengan PKB di 37 daerah, dengan PAN di 34 daerah, dengan Partai Gerindra di 33 daerah, dengan Partai Demokrat di 32 daerah, dan dengan PPP di 19 daerah.
Pun demikian dengan pemerintahan di tingkat nasional. Bagaimana kemudian, Partai Golkar, PPP, dan PAN kemudian bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, pada periode 2014-2019. Padahal, pada Pilpres 2014, ketiga parpol tersebut sama sekali tidak mendukung Jokowi-JK. Dan apalagi yang menarik adalah atraksi dari Partai Gerindra.
Sebegitu keras mereka menjadi penantang serius Jokowi-Maruf Amin pada Pilpres 2019, kemudian dua pentolan Partai Gerindra, yang kali itu didapuk menjadi capres-cawapres, justru kini menjadi anggota kabinet Jokowi-Maruf Amin. Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan dan Sandiaga Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Apapun dalih dan pertimbangannya, bergabungnya Prabowo dan Sandi menjadi anggota kabinet, adalah bentuk pengelolaan ideologi di partai yang mereka naungi.
Menjadi penguasa dan oposisi sejatinya sama-sama terhormat dan bermartabat. Sekuat apapun sistem presidensial yang kita jalani, sekelompok oposisi tetap harus ada dan menghiasi jalannya pemerintahan. Disitulah kemudian fungsi keseimbangan terjadi. Konsistensi PDI Perjuangan menjadi oposisi selama dua periode pemerintahan SBY, tahun 2004-2014, layak mendapat apresiasi. Pun demikian yang sedang dilakoni Partai Demokrat dan PKS sekarang.
Secara disiplin, Partai Demokrat dan PKS tetap menobatkan diri menjadi parpol oposisi sejak Jokowi berkuasa tahun 2014 silam sampai sekarang. Sikap demikianpun layak mendapat angkat topi.
Setelah Pemilu 1999 sampai sekarang, Indonesia sudah dipandu oleh 4 presiden dengan afiliasi parpol yang berbeda. Presiden Gus Dur sebagai pendiri PKB menjabat mulai Oktober 1999 sampai dengan Juli 2001. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, menjabat mulai Juli 2001 hingga Oktober 2004. Lalu Presiden SBY, Ketua Umum Partai Demokrat, menjabat sejak 2004 hingga 2014.
Dan Presiden Jokowi, kader PDI Perjuangan, menjabat sejak 2014 hingga nanti 2024.
Semua corak pemerintahan berlangsung sama. Ekonomi dikelola secara liberal, supremasi hukum tak kunjung membaik, praktek tindak pidana korupsi semakin menjadi, dan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia, sama sekali belum terasa di kancah internasional.
Setiap pemerintahan mewarisi kesalahan yang sama. Penulis meyakini ini semua karena pemimpin itu sama sekali tidak berkenan menjalankan ideologi yang dianutnya. Atau bahkan mereka sama sekali tidak memiliki ideologi yang diyakini, sehingga menjalankan pemerintahan sebatas ritual politik sambil mengais banyak keuntungan.
Menjadi benar apa yang disampaikan Achmad Munjid, pengajar Fakultas Ilmu Budaya UGM. Ideologi dalam politik itu mirip kompas moral yg menjadi petunjuk arah ke mana urusan publik mau dibawa menurut prinsip-prinsip moral tertentu.
Liberalisme berkeyakinan bahwa kemerdekaan individu menjadi syarat mutlak bagi kemakmuran ekonomi dan kedaulatan politik. Karena itu, semua urusan publik harus diatur untuk menjamin kemerdekaan individu itu, termasuk jaminan kebebasan bicara, kebebasan beragama, kepemilikan individual, dan lainnya. Negara tidak boleh ikut campur, kecuali untuk memastikan tidak adanya pelanggaran hak individu yg satu oleh individu lainnya. Dalam urusan ekonomi, pasar dan tangan-tangannya yang tak kelihatan menjadi aturan main yang dianggap menjamin kemerdekaan individu tadi. Tidak heran, liberalisme kemudian identik dengan kapitalisme.
Sebaliknya, sosialisme berkeyakinan bahwa kemakmuran ekonomi dan kedaulatan politik yg sesungguhnya hanya bisa dicapai secara bersama-sama dan itu berarti individu harus tunduk kepada kepentingan kolektif. Kepentingan kolektif, negara, berdiri di atas semua kepentingan anggota-anggotanya. Tentu saja ada spektrum yang luas pada kedua ideologi tersebut, bahkan ada kombinasi keduanya. Begitu juga, tak terhitung jumlah kombinasi antara salah satu atau kedua ideologi tersebut dengan ideologi lain, termasuk dengan agama.