Selamatkan Demokrasi Dengan Memperkuat Ideologi Partai

Makanya di Amerika Serikat yang semuanya menganut liberalisme/kapitalisme, sebagian anggota Partai Demokrat misalnya, juga punya ‘nuansa’ sosialis. Ketika kapitalisme menjadi ideologi arus utama di tengah masyarakat, sosialisme bisa digunakan sebagai cap untuk menjatuhkan seseorang, atau sebaliknya, kekuatan untuk mengangkatnya. Obama dituduh sosialis oleh kaum Republikan yang ingin menjatuhkannya, Bernie Sanders dan Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) ‘mengaku’ sosialis untuk meraup dukungan kalangan tertentu. Padahal dua-duanya, ya, kapitalis juga. Katakan saja Partai Republik itu kapitalis puritan atau konservatif, sedangkan Partai Demokrat itu kapitalis liberal.

Meski sama-sama kapitalis, arah kedua partai itu berbeda tajam dalam banyak kebijakan publik yang penting: pendidikan, asuransi kesehatan, pajak, kepemilikan/kontrol senjata, lapangan pekerjaan, imigrasi, dll. Perbedaan yang tajam itu timbul sebagai akibat dari perbedaan corak ideologi, meski masih sama-sama kapitalisme. Masing-masing punya kompas moral yang berbeda dalam melihat kenyataan dan merancang kebijakan.
Di Indonesia berbeda. Menurut Munjid, perbedaan dasar antara satu capres dengan capres lainnya adalah cuma “pilih aku atau dia”, kelompokku atau kelompok dia, bukan “kenapa”, “demi apa” dan “mau ke mana” memilih calon ini atau itu, karena pijakan nilai fundamental atau ideologis memang tidak menjadi urusan penting.

Tanpa pijakan ideologi, orang saling berebut, saling mencaci dan mencerca lebih menurut dasar “kita” atau “mereka” sebagai kerumunan. Siapapun yang mendapat giliran, arah dan terutama perilakunya sama saja dengan mereka yang semula dijadikan lawan.
Politik kita adalah politik tanpa ideologi, tanpa kompas moral. Pemilihan pemimpin atau wakil tingkat nasional pun jadi tidak lebih dari versi lebih besar dari pilihan lurah di kampung-kampung. Orang-orang berkerumun memilih partai “jagung” atau “singkong” tanpa tahu persis perbedaan mendasar arah yang hendak ditempuh para calon kelak, mereka akan melakukan apa saja untuk meningkatkan kualitas kehidupan bersama, dengan cara bagaimana, demi memperjuangkan nilai apa dan bagaimana mekanismenya kalau janji itu tak pernah ditunaikan.

Di kalangan elit, ideologi hanya menjadi kembang-kembang, abang-abang lambe, pemerah bibir, sebagai retorika. Seperti penjual obat di tengah pasar tradisional yang berjanji berapi-api akan segera mempertunjukkan “atraksi hebat” untuk membuat orang berkerumun dan membeli dagangannya, atau minimal menonton pertunjukannya.
Ke depan, perlu digagas sebuah pola penyederhanaan parpol di Indonesia. Sistem multi partai tanpa ideologi yang selama ini terjadi, akan semakin membuat demokrasi menjadi buruk. Setiap parpol diwajibkan taat atas ideologi yang mereka anut dan kemudian diaplikasikan ketika mereka berkuasa. Jika memang berhaluan nasionalis sekuler, maka setiap program kerja pemerintahannya harus mampu menunjukkan hal demikian. Pun demikian jika parpol berideologi Islam yang mendapat kesempatan berkuasa, maka itu harus tampak pada hari-hari dimana mereka mengelola pemerintahan. Tunjukan kepada publik, bagaimana corak politik Islam itu menghasilkan seperangkat kebijakan yang berbeda dengan ideologi lain.

Memang dibutuhkan reformasi politik. Setidaknya dilakukan dengan cara melakukan revisi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol. Syarat pendirian parpol pun harus ditinjau ulang. Sebuah parpol harus terlebih dahulu mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum dan HAM untuk dinyatakan sah sebagai parpol. Baru kemudian mendatarkan diri ke KPU RI untuk dinyatakan sah tidaknya menjadi peserta pemilu. Nah pada posisi verifikasi 3K (keanggotaan, kepengurusan, dan kesekretariatan) itulah yang kemudian begitu banyak kelonggaran.
Kelonggaran itu setidaknya terlihat dari 3 aspek.

Pertama, metode verifikasi faktual. Untuk calon perseorangan pilkada, dan calon perseorangan pemilu, atau DPD RI, verifikasi faktual data pendukung dilakukan dengan cara sensus. Semua calon pendukung didatangi satu persatu oleh petugas KPU. Berbeda halnya dengan parpol. Metode yang digunakan adalah sampel.


Kedua, kekurangan jumlah pendukung yang TMS. Untuk calon perseorangan pilkada, manakala terjadi kekurangan, maka kandidat harus mengganti dua kali lipat dari kekurangan saat masa perbaikan. Sementara untuk calon perseorangan pemilu, atau DPD RI, dan parpol, kekurangan hanya dilakukan sejumlah yang TMS.

Ketiga, waktu pelaksanaan verifikasi. Untuk calon perseorangan pilkada, verifikasi faktual hanya dilakukan selama 14 hari. Sementara untuk calon perseorangan pemilu, atau DPD RI, dan parpol verifikasi faktual dilakukan selama 30 hari.

Kondisi demikian membuat sekolompok orang dengan mudah mendirikan parpol. Dengan ragam motivasi. Dengan banyak kepentingan. Padahal, idealitas pendirian parpol itu terbilang sangat adiluhung. Pasal 10 ayat 1, UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol menyatakan, tujuan umum parpol adalah mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD tahun 1945; menjaga dan memelihara keutuhan NKRI; mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI; dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana mungkin, tujuan yang dikehendaki oleh pasal 10 itu kemudian dijalankan oleh sekelompok orang yang orientasinya hanya sebatas kekuasaan.
Sebagai bangsa, kita pernah punya pengalaman berpartai dengan ideologi. Yakni saat masa awal kemerdekaan hingga tumbangnya pemerintahan Presiden Soekarno. Pengaturan ideologi itu kemudian mendapat arena pada Pemilu 1955. Lukman Hakiem menggambarkan, dengan sikap ideologinya yang antikomunis, para pemimpin Masyumi di segala tingkatan berusaha keras mengingatkan kader dan anggotanya bahwa perbedaan Masyumi dan PKI adalah perbedaan ideologi. Oleh karena itu, pertarungan antara Masyumi dan PKI bukalah pertarungan fisik. Para pemimpin Masyumi tidak Cuma mengingatkan itu dengan kata-kata, tetapi juga dengan contoh untuk diteladani.

Banyak kesaksian, Ketua Umum Masyumi M Natsir, kerap terlihat minum teh bersama Ketua Umum PKI DN aidit, di kantor gedung parlemen. Juga popular kisah tentang AR Baswedan yang selama sidang Majelis Konstituante di Bandung memilih tidur satu kamar dengan anggota Konstituante dari PKI, bukan dengan anggota Konstituante sesama Masyumi. Perbedaan ideologi, tidak menyebabkan putusnya hubungan persahabatan di antara mereka. Betapapun memiliki perbedaan ideologi yang tajam, berbalas kunjungan rupanya menjadi tradisi di kalangan pemimpin Masyumi dan PKI di sejumlah daerah.

Catatan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) seolah mengharuskan kita kembali mengingat bagaimana indahnya pertarungan ideologi menjelang Pemilu 1955. Pada waktu itu, setiap parpol berusaha untuk mempengaruhi setiap individu agar mau bersikap dan mempunyai orientasi pikiran yang sesuai dengan ideologi partai tersebut. Sosialisasi yang bersifat indoktrinasi pada masyarakat yang pendidikannya relatif kurang tanpa disadari telah menyebabkan militansi berlebihan. Pada sisi yang lain, kondisi bangsa Indonesia sedang menghadapai ancaman dari dalam dan luar negeri menjadikan militansi tersebut, salah satu modal perjuangan di tengah segala keterbatasan. (***)

Comments (0)
Add Comment