Shalat Malam dan Rasa Bersalah

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Sebagai adzab, Covid-19 menghancurkan jasad dan kehidupan, merusak mental dan perekonomian dunia. Sebagai rahmat, Coronavirus mendekatkan jiwa setiap manusia untuk mendekat ke Tuhan, kecuali manusia yang dulunya menciptakan dirinya sendiri, membikin bumi dan menyusun alam semesta, sehingga tidak ada hubungan kesadaran dengan adanya Tuhan.

Petarung MMA paling populer karena kekotoran mulutnya kehilangan Bibinya oleh serangan Coronavirus dan dia memaki “Fucking stupid Corona!”. Andaikan saya adalah subjek di belakang proyek semesta Coronavirus, saya tidak terima dibodoh-bodohkan dan didancuk-dancukkan. Saya akan halangi jadwal pertandingan 18 April Khabib Nurmagomedov dilawan oleh Tony Ferguson, supaya McGregor kehilangan peluang untuk tanding ulang melawan Khabib.

Coronavirus tidak punya kesalahan dan dosa apapun. Ia bukan makhluk pikiran dan hati yang punya kemungkinan untuk berniat sesuatu, merancang kebaikan atau keburukan, menyatakan dukungan atau perlawanan atas kehidupan ummat manusia di muka bumi. Covid-19 bukan bagian dari Jin atau Manusia, yang di ujung zaman kelak harus mempertanggungjawabkan perilakunya di forum Hisab Allah. Corona dipancing, dirangsang dan direkayasa sendiri oleh budaya manusia, oleh ilmunya yang angkuh, oleh pengetahuannya yang congkak dan oleh peradabannya yang penuh kibriya`.

Di Maiyahan saya sering menanyakan kepada Jamaah siapa pelaku utama perubahan? Allah menyatakan “innalloha la yughoyyiru ma biqoumin hatta yughoyyiru ma bianfusihim”. Allah tidak mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mengubah nasibnya sendiri.

Ummat manusia menyelenggarakan perubahan sejarah dengan membangun peradabannya dengan karakter Iblis, ilmu Dajjal dan budaya Ya’juj dan Ma’juj — maka Allah mengabulkannya dengan memuncaki setiap tahap perubahan yang dilakukan oleh manusia. Dan tatkala hari-hari ini semua penduduk bumi cemas, panik dan paranoid oleh Coronavirus, tak seorang pun bertanya: “Apakah kita selama ini salah sebagai manusia? Apa salah kita? Apa dosa kita? Apa dismanajemen kita? Apa pengingkaran kita atas keseyogyaan hidup?”

Tidak ada berita online maupun offline yang menggambarkan bahwa manusia merasa bersalah. Tidak ada pemimpin Dunia, Negara atau bahkan Agama, yang menyesali terjadinya balasan Tuhan atas perbuatan-perbuatan buruk manusia. Tidak ada Presiden, kaum intelektual, budayawan atau jenis tokoh apapun yang mengajak ummat manusia untuk bercermin menatap wajahnya dan mencari kesalahannya.

۞ وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Semua manusia berpikir dengan kelegaan hati bahwa dengan pernyataan ini Allah menjamin rezeki siapapun saja yang Ia hidupkan di muka bumi. Mereka berpikir sepetak dan linier. Mereka rata-rata tidak berpikir cerdas dengan merambah seribu probabilitas di seputarnya. Tidak zig-zag, tidak dialektikal, tidak oval maupun siklikal. Bahwa kalau Allah “care” atas rezeki mereka, berarti juga semua yang terkait dengannya, bahkan yang bertentangan dengannya.

Kalau Allah menjamin rezeki, maka Ia berhak menimpakan penyakit. Naluri manusia adalah berpikir berdasar kebutuhan dan keuntungannya sendiri, sehingga ia lalai pada kemungkinan-kemungkinan di sekitarnya. Bahkan kalau Allah berkenan menghidupkan, Ia pun siap mematikan.

Allah Maha Penguasa Alam Nyata maupun Alam Maya. Alam Baqa maupun Alam Fana. “Mustaqarraha wa mustauda’aha”. Manusia berpikir bahwa ia bisa bersembunyi dari pengetahuan Tuhan. Manusia tidak perlu menyatakan pembangkangannya, tidak perlu melembagakan kekufurannya, serta tidak perlu menginstitusionalisasikan pengingkarannya — untuk “konangan” oleh Allah. Tak usah melawan Allah yang posisi-Nya “la tudrikuHul abshar wa Huwa yudrikul abshar wa huwal Lathiful Khobir”. Bahkan sekadar Virus Corona saja pun manusia tidak sanggup melihat dengan matanya.

Jamaah Maiyah optimis bahwa Coronavirus bukanlah adzab Allah. Mungkin sekadar indzar atau peringatan,pengeling atau piweling. “Ya ayyuuhal muddatstsir, qum faandzir”. Atau “ya ayyuhal muzzammil, qumillaila illa qalila”. Wahai orang yang nikmat hangat diselimuti oleh kesombongannya sendiri, bangunlah dan peringatkan dirimu sendiri. Bagunlah sejenak di tengah malam. Merenunglah. Bersemedilah. Bertafakkurlah. Tatap wajah kehidupanmu, temukan kebodohan dan kesalahanmu. (*/Red)

Emha Ainun Nadjib
Comments (0)
Add Comment