*) Oleh: Ilung (Sang Revolusioner)
MALAM jelang Tahun Baru Hijriyah atau Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1440 ini, saya coba menuliskan suatu pandangan sejarah untuk mengajak bersama meneliti kisah Hijrahnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW dari Mekah menuju Madinah Munawwarah, yang kemudian pada masa kekhalifahan Sayyidina Umar bin Khatab, peristiwa hijrah tersebut ditetapkan menjadi hitungan penanggalan Tahun Hijriyah. Berbeda dengan Tahun Masehi, yang berdasarkan kelahiran Yesus Kristus.
Meski mungkin dalam penyambutannya tidak sesemarak Tahun Baru Masehi. Tapi bukan disitu letak persoalannya, apalagi kalau sampai menjadi perdebatan. Masih banyak umat Islam di berbagai daerah yang menyambut datangnya Tahun Baru Hijriyah dengan kegiatan-kegiatan tradisional yang lebih berbudaya, unik dan menarik. Dari mulai Pawai Obor, mengadakan Istighasah, Ceramah Agama dan Berdo’a.
Maka, ada baiknya pada momentum besar umat Islam ini, kita tidak terpaku pada perdebatan perayaan, kegiatan simbolik dan do’a semata. Sebagai manusia yang dibekali akal, sudah semestinya kita mendayagunakan akal pemberian Allah untuk; ‘afala tatafakarun’, ‘afala ta’qilun’, afala tatadzakaruun’, untuk memaknai nilai-nilai Hijriyah secara substansial yang lebih mendalam komperhensif.
Istilah ‘Masyarakat Madani’ sejak lama diucapkan oleh semua orang, dari Presiden sampai Ketua RT, dari veteran sampai ABG, dari sarjana sampai tukang becak. Itu persis sebagaimana kaum terpelajar dulu membohongi rakyat dengan istilah ‘Tinggal Landas’, ‘Era Globalisasi’ dan lain-lain, yang ditahayulkan dan menguap di angkasa waktu.
Masyarakat Madani bersumber dari Masyarakat Maddaniyah yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad SAW. sesudah beliau dengan pengikutnya berhijrah dari Mekah untuk bertempat tinggal di Madinah. Ketika itu belum ada ‘state’ dengan konstitusinya, sehingga kedatangan masyarakat penghijrah yang disebut Kaum Muhajirin tidak mengalami resiko konstitusional ketika kemudian harus memasuki ‘negara’ lain dan hidup bersama tuan rumahnya yang disebut Kaum Anshor.
Sekurang-kurangnya ada substansi clan pada peristiwa Hijrah itu.
Pada momentum hijrah itulah yang dipakai untuk menandai satuan waktu, awal tahun dan abad Islam, ‘Ilmunya’ di sini terletak pada kenyataan bahwa bukan hari atau tahun kelahiran Muhammad SAW, yang dipakai sebagai patokan awal abad Islam, sebab fokus ajaran Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada ajaran Allah yang dititipkan melalui beliau. Islam tidak bersikap feodal dan veded-interestdengan memonumenkan Muhammad sebagai manusia, karena yang terpenting adalah kasih sayang Allah yang dibawanya untuk seluruh ummat manusia.
Agama tidak didirikan oleh Nabi, Rasul atau manusia. Agama bukan bikinan atau ciptaan yang selain Allah. Otoritas atas kehidupan manusia seratus persen berada di tangan Allah, dan para Nabi hanya menyampaikannya.
Bagi sifat Allah, Nabi dan Rasul boleh tidak ada. Allah berhak tidak menciptakan Muhammad, tidak memilihnya sebagai kekasih, atau melakukan apapun. Jadi, sekali lagi, yang penting adalah ‘hijrahnya’, bukan ‘Muhammadnya’, meskipun karena etika historis dan logika cinta; Muhammad kita sayangi sesayang-sayangnya sebagaimana Allah menyayanginya melebihi sayang-Nya kepada apapun dan siapapun saja.
Maka, mari jadikan Hijrah sebagai acuan pokok ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam. Kalau kita jualan bakso, kita menghijrahkan bakso ke pembeli dan si pembeli menghijrahkan uang kepada kita. Kita buang air besar itu menghijrahkan sampah biologis ke lubang WC. Kita nikah dan bikin anak itu menghijrahkan sperma ke ovum istri.
Dan dalam Pilpres 2019 nanti, terserah anda mau menghijrahkan Jokowi atau menghijrahkan Prabowo ke singgasana presiden.
Dan sudah sepatutnya, dalam momentum Tahun Baru Hijriyah 1440 ini, kita menghijrahkan diri kita ke rumah Allah. Karena hidup adalah hijrah dari-Nya menuju keharibaan-Nya.
Hidup hanya berlangsung dalam konsep dan mekanisme hijrah. Tidak ada benda, makhluk, peristiwa atau apapun saja dalam kehidupan ini yang tidak berhijrah.
Namun, yang menjadi masalah dan pilihan manusia adalah pengakuan dari mana ia berhijrah, ke mana ia sedang dan akan menghijrahkan dirinya, dengan cara apa ia melakukan hijrah. Ketika kita menghijrahkan uang dari kas kantor ke kas keluarga: pertanyaannya terletak pada bagaimana konteks dan nilai (akidah, akhlak, hukum) hijrahnya uang itu.
Bagaimana nilai seseorang menghijrahkan dirinya, aspirasinya, political will-nya. Di situ terdapat langit nilai baik buruk, benar salah, indah dan jorok; serta terdapat acuan formal: legal atau illegal, sah atau tidak sah, halal atau makruh atau haram atau malah wajib, dan seterusnya.
Dan jelas bahwa empasis nilai Islam tidak pada Muhammad, melainkan pada nilai Hijrah. Muhammad wajib patuh kepada nilai hijrah, terikat untuk menjadiuswatun hasanah atau teladan, dan tidak boleh melanggar kasih sayang Allah yang sudah la rumuskan dalam AI-Qur’an, serta yang juga dicipratkan melalui subbah-nya atas Muhammad sendiri.
Dan yang perlu kita sadari juga adalah metodologi dan strategi hijrah. Yang dilakukan pertama-tama oleh Rasulullah SAW begitu tiba di Madinah adalah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dengan Kaum Anshor.
‘Mempersaudarakan’ ini sangat luas maknanya: mempersaudarakan dalam konteks transaksi kultural, sosiologis, politis dan lain sebagainya hingga terbentuknya ‘Piagam Madinah’ dengan 47 Pasal.
Akan tetapi, tentu saat ini kita dihadapkan oleh contoh paling aktual lainnya yang menjadi tema kita kali ini adalah overlapping konsep Masyarakat Madani di satu pihak dengan pemahaman mainstream masyarakat modern yang lebih berorientasi pada nilai-nilai matrealistik, orang orang jawa menyebutnya ‘Ilmu Katon’.
Masyarakat Madani bukan hanya secara teknis waktu dimulai pada momentum hijrahnya Rasulullah SAW, tapi juga substansi nilai yang dibawanya sangat berbeda dengan Masyarakat Masehi. Pandangan hidupnya berbeda, jam kerjanya berbeda, konsep budayanya berbeda, aspirasi politiknya berbeda, konsumsi seninya berbeda, hati dan akalnya berbeda.
Artinya bukan sekedar pengikut konsep Masyarakat Madani, tapi juga secara ideologis Masyarakat Madani memperjuangkan nilai yang sama sekali berbeda dengan kenyataan Peradaban Masehi yang sekarang sedang berlangsung.
Dan dalam momentum Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram 1440 Hijriyah yang jatuh pada Senin (10/9/2018) malam ini ayo kita berupaya untuk menjadi Masyarakat Madani yang menjadi jargon-jargon, sebatas kembang plastik semata. Jadilah masyarakat Banten, Rakyat Indonesia yang Madani sebagaimana sudah diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. (***)
*) Penulis adalah Jurnalis Fakta Banten Online (Tulisan Ini terinspirasi dari Emha Ainun Nadjib)