Tandang ke Gelanggang Walau Seorang!

Entah dari manalah mulainya slogan ini, sehingga tak pakai tim pun tak apa :

“Tandang ke gelanggang, walau seorang!”

 

Oleh: Elly Risman Musa

 

Kata bijak ini masuk kedalam jiwa saya ketika saya masih remaja dan bergabung dalam sebuah organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Situasi yang sangat sulit waktu itu untuk mengajak orang hidup benar secara Islam bukan hidup benar sesuai budaya, melahirkan slogan ini yang bermakna agar siapa saja anggota organisasi ini harus siap berjuang sendirian, apapun dan bagaimanapun situasi yang dihadapi.

Yang ingin ditularkan itu adalah kebenaran karena Allah jadi jangan pernah takut sendirian, karena ada Allah. Seelok eloknya sebuah permainan kan kalau ada tim, jadi bisa saling menunjang. Seumpama tim sepakbola: bisa saling lempar bola sehingga mampu mencetak goal ke gawang lawan. Entah dari manalah mulainya slogan ini, sehingga tak pakai tim pun tak apa : “Tandang ke gelanggang, walau seorang!”.

Dalam hidup saya selanjutnya, terutama ketika saya membesarkan anak anak saya di dalam maupun di luar negeri, saya terus menjadikan slogan ini sebagai pegangan. Saya fikir, selama saya benar mengapa takut?.

Karena kesepakatan kami mengasuh anak menjadikannya hamba Allah yang taqwa dulu, maka dimana saja saya berada saya mengajak ibu-ibu di sekitar saya bersedia mengirimkan anak anaknya ke rumah saya untuk mengaji. Saya perlu anak-anak lain untuk belajar bersama dengan anak anak saya, sehingga mereka tidak bosan dan bersemangat. Tentu jadi lebih repot, ya…konsekuensi lah.

Saya harus mengajar anak-anak yang lebih banyak dibandingkan dengan hanya dua orang (waktu itu) anak saya. Harus ngatur giliran dan mesti memikirkan kalau yang satu lagi diajar, yang lain harus diberikan tugas apa supaya nggak becanda, ribut, rebutan barang dan saling mengganggu. Harus ada waktu istirahat dan “snack time!”. Berarti saya kalau gak membuat sendiri maka harus beli… Belum kalau saya mau anak anak bersemangat dengan lomba, mesti sediakan hadiah…

Saya teringat suatu periode waktu saya tak bisa meneruskan menjadi “guru ngaji”, maka saya mintalah baik baik pada sulung saya yang waktu itu SMP untuk menggantikan saya. Meniru ibunya dia juga bikin lomba yang lebih heboh dari ibunya dengan hadiah yang juga heboh. Karena uang yang terbatas, maka dia memberi hadiah untuk juara 1 dan 2:1 buku tulis tebal, tapi pakenya separoh separoh, antar sang juara 1 dan 2.

Saya kaget dan mengomentari:”Hah bagaimana tuh ?” anak saya menjawab dengan santai: ”Yang penting mereka happy Ma!”, “Yang susah kan cuma mama!”.

Kami adalah satu satunya keluarga yang pertama dari kota kami tinggal yang membawa anak kami menyeberang beberapa state untuk ikut pertemuan keagamaan setiap tahun, sebelum keluarga lainnya ikut.

Banyak sekalilah hal yang saya lakukan yang membuat saya merasa saya sendiri dan berbeda serta sulit mulanya diterima oleh orang lain termasuk keluarga saya. Misalnya bagaimana ketika kami membangun kesepakatan dengan anak sulung kami untuk berhenti dulu kuliah di Amerika dan pulang ke Indonesia mengaji “nyorog” (menghadap satu – satu ke gurunya/lawan dari metode klasikal) di salah satu pesantren di Yogya, karena usianya sudah melewati usia anak yang bisa jadi santri. Kalau ada anggota keluarga yang bertanya, ”Sekarang kuliah dimana?” Anak saya akan menjawab: ”Oh nggak kuliah Budhe, lagi ngaji dulu di Yogya”. Pasti anggota keluarga atau teman yang mendengar akan kaget dan mengeluarkan komentar yang kadang tak nyaman bukan hanya di telinga tapi lebih lagi di hati. “Oh jauh jauh pulang dari Amerika, berenti kuliah, Ngajii? Ya ampuun!!”

Sudahlah pasti anak kami akan datang mengadu dan berkeluh kesah pada kami. Kami menghadapinya dengan santai mendengarkan rasanya dan kemudian mengingatkan dia pada komitmen kami sebelumnya. Kami memompa ulang semangat dan pengertiannya, bahwa kita memang berbeda. Tapi kenapa kita berbeda? Lalu kami uraikan, antara lain karena kami menganut “Life style” yang berbeda.

Orang di sekitar kami umumnya menganut Linear life style : TK- SD-SMP-SMA-Kuliah- Kerja atau kawin kemudian kuliah lagi. Sementara kami menganut “Blended Life style” : yang setelah level tertentu anak boleh berhenti dulu sekolahnya, melakukan hal lain yang bermanfaat atau berbagai aktifitas kegiatan sela termasuk kawin dan punya anak lalu melanjutkan studinya. Termasuklah berhenti kuliah untuk ngaji dulu… Semua ini dibicarakan sampai anak kami mengerti dan menerimanya kemudian mengadopsinya, sehingga dia merasakan berfikir sama seperti itu.

Kalau kemudian dia menghadapi situasi yang serupa, dia yang “own the problem” sehingga dia menggunakan semua kemampuannya untuk mempertahankan sikap dan keputusannya, karena kami tidak selamanya ada bersamanya. (*)

PIISloganTandang Ke Gelanggang Walau Seorang
Comments (0)
Add Comment