WHO Solusi Atau Ancaman Bagi Umat Islam

 

Oleh: Benz Jono Hartono

WHO sebagai solusi atau ancaman bagi kesehatan umat Islam di seluruh dunia, bisa mengangkat berbagai perspektif yang relevan dengan peran dan pengaruh WHO dalam konteks kesehatan global dan keyakinan Islami

Namun demikian, ada beberapa tema yang menjadi perhatian bagi umat Islam terkait dengan kebijakan dan praktik kesehatan yang diadvokasi oleh WHO.

Salah satunya adalah kepatuhan terhadap hukum Islam, seperti hukum halal dalam proses produksi obat-obatan dan vaksin. Selain itu, kebijakan imunisasi yang kontroversial seperti penggunaan gelatin hewan babi dalam vaksin dapat menimbulkan kekhawatiran bagi umat Islam yang mengikuti aturan syariah harus halal.

Selain itu, dalam konteks pandemi global seperti COVID-19, WHO memiliki peran yang krusial dalam menyediakan pedoman dan dukungan teknis bagi negara-negara anggota untuk menangani krisis kesehatan.

Namun, ada juga kritik terhadap respons WHO terhadap pandemi ini, termasuk dalam hal koordinasi global, transparansi, dan penanganan informasi yang akurat, yang dapat mempengaruhi persepsi dan respons umat Islam terhadap ancaman kesehatan ini.

Jadi, sementara WHO dapat dianggap sebagai solusi dalam meningkatkan kesehatan umat Islam di seluruh dunia melalui upaya kesehatan globalnya, juga perlu diperhatikan bagaimana organisasi tersebut mengakomodasi nilai dan kepercayaan Islami dalam kebijakan dan praktik kesehatannya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah lama menjadi tonggak utama dalam memerangi penyakit dan mempromosikan kesehatan global.

Namun, dalam konteks umat Islam di seluruh dunia, peran WHO dapat dilihat sebagai solusi yang menguntungkan atau ancaman yang menimbulkan kekhawatiran, tergantung pada perspektif yang diambil.

*Rebutan pemasaran* obat-obatan melalui WHO mencerminkan persaingan sengit antar perusahaan farmasi di dunia. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi dinamika ini termasuk perubahan regulasi, inovasi teknologi, dan strategi pemasaran global.

Perubahan Regulasi

Regulasi ketat dari WHO dan badan pengawas lainnya, seperti FDA di Amerika Serikat, mengharuskan perusahaan farmasi untuk mematuhi standar tinggi dalam pemasaran dan distribusi obat-obatan. Misalnya, aturan baru tentang transparansi harga dan iklan langsung ke konsumen (DTC) yang lebih jelas tentang efek samping dan harga​ (S&P Global)​.

Di sisi lain, undang-undang seperti “Drug-price Transparency for Consumers Act” di AS menambah tekanan pada perusahaan untuk mengungkapkan harga secara lebih transparan, yang dapat meningkatkan persaingan berbasis harga​ (S&P Global)​.

Inovasi Teknologi:
Penggunaan teknologi digital dan analitik dalam operasional dan pemasaran farmasi semakin meningkat. Perusahaan harus berinvestasi besar dalam infrastruktur digital untuk tetap kompetitif, yang mencakup penggunaan alat analitik canggih untuk memahami pasar dan perilaku konsumen​ (McKinsey & Company)​.

Teknologi juga memungkinkan kolaborasi lebih erat antar perusahaan melalui kemitraan strategis, seperti kolaborasi Pfizer dan BioNTech dalam teknologi mRNA, yang mempercepat inovasi dan pengembangan produk baru​ (McKinsey & Company)​.

Strategi Pemasaran Global:
WHO memainkan peran penting dalam menetapkan pedoman global yang diikuti oleh banyak negara. Perusahaan farmasi berlomba-lomba mendapatkan persetujuan dan dukungan dari WHO untuk memperkuat kredibilitas dan akses pasar mereka secara global.

Kompetisi ini juga terlihat dalam upaya mendapatkan status “prequalification” dari WHO, yang membantu obat-obatan masuk ke program-program bantuan kesehatan global dan pasar negara berkembang​ (Brookings)​.

*Dinamika Pasar dan Kolaborasi:*
Pasar farmasi global juga dipengaruhi oleh dinamika seperti paten obat yang kedaluwarsa, yang membuka jalan bagi obat generik yang lebih murah dan meningkatkan persaingan harga​ (Brookings)​.

Selain itu, perusahaan besar seringkali bekerja sama dengan perusahaan lain untuk meningkatkan efisiensi dan memperluas jangkauan pasar mereka. Contohnya, kemitraan antara AstraZeneca dan Huma dalam inovasi kesehatan digital menunjukkan bagaimana kolaborasi dapat menjadi strategi penting dalam industri farmasi yang kompetitif​ (McKinsey & Company)​.

Dalam konteks ini, WHO berfungsi sebagai pengawas dan fasilitator yang memastikan obat-obatan yang dipasarkan memenuhi standar keamanan dan efektivitas global. Perusahaan farmasi harus terus berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan regulasi dan teknologi untuk mempertahankan dan memperluas pangsa pasar mereka dalam lanskap kompetitif ini.

Solusi: Meningkatkan Kesehatan Masyarakat
Islam Sebagai keyakinan yang menekankan pentingnya kesehatan dan kesejahteraan, umat Islam secara inheren menghargai upaya-upaya yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat secara luas. WHO memainkan peran utama dalam mengoordinasikan respons global terhadap penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis, dan sekarang, pandemi COVID-19. Upaya-upaya ini dianggap sebagai solusi yang berpotensi memberikan manfaat besar bagi umat Islam di seluruh dunia, yang sering kali rentan terhadap penyakit-penyakit ini karena kurangnya akses terhadap perawatan kesehatan yang berkualitas.

Ancaman: Kebijakan yang Tidak Sesuai dengan Nilai-Nilai Islam
kesehatan global dihargai, ada juga kekhawatiran bahwa beberapa kebijakan dan praktik kesehatan yang diadvokasi oleh organisasi ini mungkin bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam. Salah satu contohnya adalah masalah halal dalam produksi obat-obatan dan vaksin. Beberapa vaksin mengandung bahan-bahan yang mungkin dianggap haram dalam keyakinan Islam, seperti gelatin babi, yang dapat memicu ketidakpercayaan dan penolakan terhadap imunisasi di beberapa komunitas Muslim.

Gesekan Politik Non Islam dan Islam di WHO
Gesekan kepentingan politik di WHO antara Islam dan non-Islam mencerminkan dinamika yang lebih luas antara politik agama dan internasionalisme sekuler. Di WHO, serta organisasi internasional lainnya, kepentingan politik sering kali dipengaruhi oleh identitas agama dan nilai-nilai budaya masing-masing negara anggota.

Dalam organisasi seperti WHO, perbedaan kepentingan sering kali muncul dalam bentuk kebijakan kesehatan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama. Negara-negara Islam mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang isu-isu seperti kesehatan reproduksi dibandingkan dengan negara-negara sekuler. Selain itu, dalam situasi krisis, respons dari negara-negara dengan mayoritas Muslim dan non-Muslim dapat berbeda, yang mencerminkan pandangan moral dan etika yang beragam​.

Gesekan kepentingan politik ini tidak hanya terjadi di WHO, tetapi juga dalam forum internasional lainnya, di mana nilai-nilai agama dan budaya sering kali mempengaruhi keputusan politik. Upaya untuk menyelaraskan berbagai kepentingan ini memerlukan dialog dan kompromi yang berkelanjutan di antara negara-negara anggota.

Tantangan dalam Respons Terhadap Pandemi
Pandemi COVID-19 telah menyoroti tantangan yang dihadapi WHO dalam menyediakan panduan yang relevan dan efektif bagi umat Islam di seluruh dunia. Meskipun upaya untuk menyediakan informasi yang akurat dan saran-saran kesehatan yang dapat diterima oleh semua komunitas, terdapat juga kekhawatiran tentang bagaimana WHO mengakomodasi kebutuhan khusus komunitas Muslim dalam hal praktik-praktik seperti ibadah di masa pandemi.

Dengan demikian, sementara WHO menawarkan solusi bagi kesehatan umat Islam di seluruh dunia melalui upaya kesehatan globalnya, perlu ada kesadaran dan upaya untuk memastikan bahwa kebijakan dan praktik kesehatan yang diusulkan sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan agama. Ini memerlukan dialog terbuka antara WHO dan komunitas Muslim serta pengakuan akan keragaman budaya dan agama dalam upaya kesehatan global.

Penulis adalah praktisi media massa
REPRESENTATIVE ASPIRASI INDONESIA

Comments (0)
Add Comment