PANDEGLANG – Ujung Barat Pulau Jawa menjadi satu daerah yang hingga kini masih menyimpan misteri yang belum terungkap, salah satunya adalah keberadaan mahluk purba yang hingga kini mendiami daratan tersebut.
Ujung Kulon memang sekilas mirip dengan Jurassic Park, dengan keanekaragaman hayatinya dan keunikan bentang alamnya pantas daerah ini jadi benteng terakhir pelarian Badak Jawa.
Badak Jawa (Rhinoceros Sondaicus) merupakan salah satu hewan prasejarah yang kini masih hidup dan hanya tersisa beberapa puluh ekor saja di muka bumi dan dalam kondisi terancam punah.
Hewan bercula tersebut merupakan satwa paling terancam punah dan termasuk dalam red list IUCN karena populasinya yang berjumlah kurang dari 100 ekor.
Saat ini hewan yang dikenal soliter tersebut sedang mengalami ancaman kepunahan yang luar biasa, bukan saja karena perburuan namun juga faktor lain seperti erupsi Gunung Krakatau dan bencana lain yang mungkin saja bisa menenggelamkan semenanjung Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang merupakan rumah terakhir Badak Jawa karena sebagian kawasannya berkontur rendah.
Dahulu Badak Jawa tidak hanya menghuni daratan Pulau Jawa, sebarannya sampai ke benua Asia, terutama Asia Tenggara seperti Thailand, Myanmar, Laos dan Vietnam dan beberapa Badak Jawa lainnya hidup berdampingan dengan Badak India (Rhinoceros Unicornis).
Badak terakhir yang pernah hidup di luar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon adalah di Taman Nasional Cat Tien (Vietnam) walaupun pada akhirnya mati diburu, dan dinyatakan punah pada tahun 2011 silam, setelah sebelumnya saudaranya yang lain juga turut punah di India se-Abad yang lalu.
Meski berkerabat dekat dengan Badak India, namun satwa yang berperilaku penyendiri ini memiliki ciri fisik yang berbeda termasuk cara mereka mendapatkan makanan.
Badak Jawa tidak merumput seperti Badak India. Ia dikenal sebagai pemakan daun, ranting dan kulit pohon, sehingga bibir depan hewan ini berbentuk seperti paruh dan gigi pengait. Badak Jawa juga memerlukan garam untuk memenuhi kebutuhan mineralnya.
Secara umum, Badak Jawa bisa dibedakan jenis kelaminnya dari bentuk cula yang dimilikinya. Badak Jantan dewasa memiliki cula yang lebih panjang dari betinanya.
Selain itu ciri fisik lainnya adalah lipatan kulit yang menyerupai sirah di seluruh badannya, yang membuat mahluk yang diperkirakan sudah hidup dari jaman purba tersebut terlihat gagah dan kuat, meskipun sebenarnya tidak sekuat yang terlihat.
Ancaman kepunahan Badak Jawa tidak hanya berasal dari lingkungannya, namun juga secara genetik hewan tersebut berisiko inbreeding karena faktor keturunan dan wilayah jelajahnya yang memungkinkan badak ini kawin dengan saudara sedarahnya.
Menyadari ancaman tersebut pihak pengelola Taman Nasional Ujung Kulon, yakni Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Taman Nasional Ujung Kulon (BTNUK) dan mitranya tengah mempersiapkan upaya-upaya penyelamatan badak jawa tersebut.
Upaya penyelematan badak jawa tersebut tertuang dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK).
“Ada beberapa metode yang akan kami lakukan untuk melindungi spesies ini, mulai dari manajemen habitat, penguatan proteksi, JRSCA hingga nanti second habitat,” demikian dikatakan Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Mamat Rahmat, Sabtu (9/9/2017).
Sebagai benteng terakhir, Ujung Kulon juga memiliki beberapa persoalan yang kini tengah diselesaikan, salah satunya ekspansi tumbuhan langkap yang menggeser tanaman pakan Badak Jawa.
Selain itu persaingan lahan dengan satwa lain seperti Banteng (Bos Javanicus) membuat Badak Jawa semakin kritis.
“Pengendaliani langkap tengah kita lakukan, semoga ini bisa menjadi solusi pengkayaan pakan badak,” jelasnya. (*/Yar)