PANDEGLANG – Miris sekali nasib Novita Ariana (40), janda beranak dua warga Kampung Banjarsari, Desa Cimanis, Kecamatan Sobang ini. Setelah almarhum suaminya meninggal dunia sekitar dua bulan yang lalu, Ia bersama kedua anaknya kini harus tinggal di sebuah gubuk reot.
Padahal saat sang suami masih ada, Novita tinggal di rumah kontrakan di Pantai Cinta, Ciheru, Kecamatan Panimbang. Namun setelah suaminya meninggal Novita bersama kedua anaknya harus pindah ke gubuk yang ada di kebun yang dipercayai oleh bos suaminya untuk menjaga kebun di kampungnya.
Novita mengaku tidak sanggup lagi membayar kontrakan, akhirnya ia mengambil keputusan sekitar dua bulan yang lalu untuk tinggal di gubuk sambil meneruskan menjaga kebun yang dititipkan kepada almarhum suaminya.
Sebuah gubuk di dalam kebun yang disulap Novita menjadi rumah tinggal. Di gubuk yang luasnya hanya sekitar 6×7 meter ini juga belum dialiri listrik untuk penerangan saat malam hari. Gubuk itupun masih menggunakan bahan seadanya seperti papan dan plastik.
Bersama kedua anaknya Mawar Ineke Nurjanah (14) dan Ayunita Langi (3), Novita tinggal dalam istana yang sangat tidak layak ini. Anak pertamanya, Mawar Ineke Nurjanah masih sekolah duduk di kelas satu Madrasah Tsanawiyah (MTs) Miftahul Hidayah di Kecamatan Sobang dan agak jauh dari rumahnya dan si bungsu Ayuanita Langi, yang masih kecil selalu setia menemani ibunya di rumah.
Kegiatan sehari-hari Novita hanya di rumah saja karena ia mengaku masih kebingungan, paling terkadang jarinya iseng saat merasa sepi, mereka bersama membuat hiasan asbak dari tanah yang ada.
Novita yang mengaku tidak mempunyai saudara ini awalnya tidak berniat menjadikan gubuk tersebut sebagai tempat tinggal, karena ini dulunya hanya saung kebun yang dipakai saat Almarhum suaminya mengurus kebun.
“Semenjak suami saya meninggal saya kesini, nggak usaha apa-apa, tinggal bersama anak-anak saya, awalnya nggak niat bikin rumah, cuma saung kebun aja, tapi si bapaknya almarhum dua bulan yang lalu ya terpaksa saya harus numpang tinggal disini. Baru satu bulan, keterpaksaan karena saya tidak punya tempat. Saya jug tidak punya keluarga disini, sekolahnya anak saya tadinya di Citereup terus dipindahkan kesini ke Songgom,” katanya.
Saat ini ia masih kebingungan untuk bekerja untuk menghidupi kedua anaknya dan mereka masih mengandalkan bantuan orang lain.
“Untuk makan sehari-hari sementara masih mengandalkan bantuan karena saya baru dan belum tau disini seperti apa, anak sekolah juga jalan kaki aja, kalau ada milik dari orang ya dibeliin untuk kebutuhan sehari hari, belum ada bantuan dari pemerintah,” jelasnya.
Ia berharap pemerintah bisa melihat keadaannya, dan mau membantu dirinya agar bisa berwirausaha, misalnya, membuka warung.
“Saya mah seandainya kalo ada yang bantu ya saya betah disini kalau nggak dibantu ya saya mau ngumpulin uang untuk pulang, kalau dibantu saya pengen buka warung,” ungkapnya.
Walau begitu, Mawar anak pertama Novita, mengaku merasa betah tinggal di rumah tersebut dari pada rumah yang sebelumnya ia tinggali. Tapi mirisnya ia terkendala saat belajar di malam hari karena tidak adanya listrik yang bisa menerangi rumah ini.
“Disini nyaman, enak disini dari pada sebelumnya, belajarnya siang, kalau malem nggak ada lampu paling pake lampu itu lampu minyak, saya bantu ibu tiap hari, masak, cuci piring dan apa aja, saya pengen sekolah sampai selesai, pengen jadi dokter, pengen naikin mamah haji, pengen sih main tapi kasian mamah,” ungkapnya.
Sementara Ade Yayan, salah satu warga membenarkan bahwa gubuk yang direnovasinya itu merupakan saung kebun peninggalan almarhum suami Novita, mereka saat ini numpang di tanah milik bos suami Novita.
“Saya prihatin melihat keluarga ibu Novita karena ia tidak punya suami dan punya anak dua masih kecil kecil, ia kan pendatang dari Manado, sehari harinya aja ia membutuhkan bantuan dari tetangga, mungkin mau kerja juga bingung karena punya anak kecil,” ujarnya.
Hingga berita ini turunkan, Kepala Dinsos dan Bupati Pandeglang belum bisa dikonfirmasi. (*/David)