Hardiknas 2017; Analisa Kritis dan Strategi Pelajar Islam Indonesia (PII)

Oleh : Husin Tasrik Makrup Nst *)

 

MASYARAKAT Indonesia umumnya mengetahui bahwa setiap tanggal 2 Mei adalah peringatan Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS). Momentum bersejarah biasanya disambut dengan nostalgia dan euforia. Kegiatan tersebut adalah hal yang wajar akan tetapi, jangan sampai kita melupakan hal-hal yang subtansial yaitu, evaluasi dan strategi kedepan.

Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan amanah UUD 1945, bahkan dipertegas dalam pasal 31 (ayat 3) UUD 1945 “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Karena pendidikan diatur dalam konstitusi Negara Republik Indonesia maka pemerintah bertanggungjawab atas pemenuhan sarana dan prasarananya. Apalagi pada ayat 4 dijelaskan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.

Sarana dan prasarana, kurikulum, kompetensi tenaga pengajar, pemerataan fasilitas dan bantuan dana bagi siswa adalah hal yang tidak luput untuk dievaluasi. Tidak bisa dipungkiri -meskipun tanpa data statistik- soal sarana dan prasarana yang memadai belum tersebar secara merata, juga soal kurikulum yang masih meraba-raba, apalagi kompetensi tenaga pengajar yang harus di upgrade akibat laju teknologi yang semakin canggih menjadi koreksi yang harus dicari jalan keluarnya. Dalam tulisan kali ini, beberapa poin tersebut tidak akan dibahas secara mendalam namun, setidaknya ada tiga poin yang akan menjadi perhatian khusus untuk dievaluasi yaitu, mengenai pendidikan karakter, kebijakan full day school, dan pendidikan vokasi.

Pendidikan karakter merupakan salah satu poros revolusi mental. Pada dasarnya pendidikan karakter merupakan reaksi terhadap semakin derasnya arus globalisasi. Terbukanya kran-kran kebudayan luar/asing secara cepat bersentuhan dengan kebudayaan Indonesia. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia dalam upaya filterisasi nilai-nilai budaya. Akan tetapi sejauh ini upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pasalnya nilai toleransi yang merupakan salah satu materi dalam pendidikan karakter malah dihadiahi tawuran antar pelajar baik dalam satu sekolah maupun antar sekolah di media-media. Belum lagi kasus beberapa guru yang terlibat penganiayaan bahkan melakukan pelecehan dan kekerasan seksual membuat wajah dunia pendidikan di Indonesia semakin rusak. Olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa nampaknya hanya sebatas jargon.

Full Day School (FDS) sejak awal wacananya bergulir sudah menuai pro kontra. Jika pendidikan karakter adalah aspek materil maka kebijakan FDS adalah aspek formilnya. Disini kita tidak akan mengevaluasi implementasinya karena masih dalam tahap uji coba terhadap beberapa sekolah, akan tetapi evaluasi konsep sangat diperlukan, mungkin lebih tepatnya analisa kritis terhadap rancangan FDS. Seperti yang pernah dikemukakan Mendikbud bahwa orientasi FDS adalah mencegah siswa dari pergaulan bebas, narkoba, tawuran, dan hal-hal negatif lainnya. Dengan adanya FDS siswa akan lebih terjaga karena dalam pantauan sekolah.

Ada beberapa kritik terhadap konsep FDS ini, pertama, secara teori sudah bertentangan dengan semangat pendidikan. Misalnya Paulo Freire yang merupakan pemikir sekaligus aktivis pendidikan yang cukup terkenal di dunia. Menurutnya “sekolah yang serius dan progresif tidak akan menyia-nyiakan waktu yang dimiliki anak untuk memperoleh pengetahuan”. Ia juga berpendapat bahwa empat jam belajar saja sudah terlalu lama. Bahkan dengan kritik yang lebih tajam ia mengatakan “sekolah yang secara formal membutuhkan waktu sehari penuh berarti membuang-buang waktu”.

Kedua, pertimbangan keadilan (pemerataan). FDS bertujuan agar siswa tetap terawasi dilingkungan sekolah sambil menunggu orang tuanya pulang bekerja. Pertimbangan ini adalah bacaan atas masyarakat perkotaan, lalu bagaimana dengan masyarakat pedesaan? Kalaupun FDS berhasil untuk masyarakat perkotaan dan hanya diterapkan di daerah perkotaan, bukankah akan berdampak semakin senjangnya dunia pendidikan perkotaan dengan pendidikan di pedesaan?

Ketiga, pertimbangan mental dan psikologi. FDS mengharuskan siswa untuk tetap berada di lingkungan sekolah. Dampaknya adalah psikologi siswa terganggu, bahkan menimbulkan stress. Selain itu terlalu lama berada dalam lingkungan sekolah berdampak pada mental yang tidak siap menghadapi dunia nyata di luar sekolah yang penuh tantangan. Alhasil akan terbentuk mental penyendiri dan budaya individualis.

Selanjutnya mengenai pendidikan vokasi. Pendidikan yang berbasis keahlian (kejuruan) ini memang cukup menggairahkan ditengah-tengah pembangunan negara yang sedang berkembang. Berbagai kerjasama dengan beberapa negara terus digalakan. bahkan karena terlalu massifnya program tersebut, hampir tidak ada yang sempat menganalisa dengan kritis bahkan mengkritik.

Disini ada dua hal analisa kritis terhadap program pendidikan vokasi. Pertama, pendidikan vokasi sangat terfokus pada dunia industri. Indonesia memang sedang dalam proses pembangunan akan tetapi jangan sampai melupakan apalagi meninggalkan identitas bangsa, dalam hal ini maksudnya bahwa jatidiri Indonesia adalah sebagai negara agraris, ada juga yang mengatakan negara maritim, ditambah citra Indonesia yang pesona alamnya sangat indah dari Sabang sampai Merauke, belum lagi citranya tentang kekayaan alam yang berlimpah. Kedua, program pendidikan vokasi hanya melibatkan hubungan sekolah dengan pemerintah dan industri, sehingga program ini sangat minim partisipatif. Maksudnya, dunia pendidikan hendaknya melibatkan partisipasi masyarakat agar siswa tetap memiliki kesadaran sosial, tidak melulu memikirkan kerja yang berdampak pada individualisme.

Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai organisasi masyarakat yang konsen dibidang pendidikan atau lebih tepatnya organisasi pelajar tentunya berperan aktif dalam upaya membangun dunia pendidikan menjadi lebih baik. PII bersama-sama dengan pemerintah bahu-membahu menciptakan pendidikan yang semakin baik. Hal ini tertuang dalam Khittah Perjuangan (KP) PII dalam Khittah Perjuangan Perjuangan Keluar pada poin Garis Kebijakan terhadap Pemerintah “bahwa Pelajar Islam Indonesia (PII) bersedia atau dapat membantu kebijakan Pemerintah secara pertisipatif, korektif dan konstruktif selama sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan kepentingan umat Islam”.

PII dapat berperan aktif membantu pemerintah dalam upaya filterisasi nilai-nilai kebudayaan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dalam bingkai keislaman. Hal ini dapat mendukung untuk mewujudkan pendidikan karakter. Dengan aktivitas-aktivitas di PII yang positif tentunya dapat mengurangi kekhawatiran pemerinta kepada siswa ketika berada diluar sekolah.

Untuk menjalankan hal tersebut tentunya memerlukan ruang dan waktu yang cukup, maka kebijakan full day school tidak sesuai dengan semangat kebersamaan dan partisipatif. Lingkungan yang sempit tentunya tidak akan menciptakan iklim pendidikan yang baik, maka dengan beraktifitas di PII (pertemanan lintas sekolah dan lintas angkatan) tentu akan tercipta iklim pendidikan yang seimbang antara kwoledge dan skill. Untuk melaksanakan hal tersebut tentu perlu adanya kepercayaan dari pemerintah kepada organisasi PII, karena dengan adanya rasa saling percaya akan terbentuk hubungan yang harmonis. Alhasil, cita-cita bersama dapat terwujud. 

Pendidikan vokasi merupakan potensi yang sangat besar dalam upaya mewujudkan bangsa yang semakin maju. Dalam kacamata keindonesiaan pendidikan vokasi menjadi tantangan sekaligus peluang pembangunan bangsa. Semangat pembangunan kearah yang lebih baik sesuai dengan Falsafah Gerakan (FG) PII dalam poin Konsepsi Pendidikan Yang Sesuai Dengan Islam yang mengatakan “bidang pendidikan mempunyai posisi yang amat strategis untuk mengubah dan membangun masyarakat. Rekayasa peradaban sebagai salah satu jalan dalam perubahan dan pembangunan masyarakat memerlukan kesiapan anggota masyarakat yang bersangkutan. Anggota masyarakat dituntut memiliki kesiapan dan kemampuan antara lain: daya adaptasi, terhadap nilai-nilai baru, kreatifitas untuk melakukan upaya inovasi dan daya saing untuk tetap eksis ditengah arus perubahan global yang terjadi. Kemampuan diatas dipersiapkan dan dibentuk melalui proses pendidikan.” 
Karena bersifat keahlian, maka memerlukan skill khusus. Untuk menumbuhkan skill khusus tersebut, tidak cukup hanya dengan materi pelajaran dan sedikit latihan, perlu ruang dan waktu yang lebih. Dalam hal ini pemerintah dapat bekerja sama dengan PII dalam pra pengkondisian siswa dan supporting lini untuk mempersiapkan dan memberikan ruang yang lebih banyak dalam meningkatkan skill. Dalam Falsafah Gerakan PII tersebut terdapat semangat yang sama dengan pemerintah, yaitu semangat pembangunan baik pembangunan institusi maupun peningkatan kualitas SDM. Masih dalam poin yang sama (poin Konsepsi Pendidikan Yang Sesuai Dengan Islam dalam Falsafah Gerakan PII) disebutkan bahwa “pendidikan berfungsi sebagai agen perubahan sosial dalam arti akan berlangsung penyiapan sumberdaya manusia sebagai pelaku dan pelopor perubahan sosial tersebut. Perubahan ini dimaksudkan untuk membangun masyarakat baru yang lebih baik dan mempersiapkan diri dan berkembang sesuai dengan potensi diri dan lingkungannya. Untuk mengantisipasi perubahan yang akan terjadi maka dalam setiap proses pendidikan berlangsung proses transformasi dan sosialisasi.” 

Demikianlah pandangan PII terhadap dunia pendidikan saat ini. Di moment bersejarah pada Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) 2017 ini, PII mengajak kepada pemerintah dan elemen-elemen lainnya untuk bersinergi membangun pendidikan yang lebih baik. Semoga apa yang kita cita-citakan bersama tentang pendidikan yang lebih baik dapat terwujud. Amin. (*)

*) Penulis adalah Ketua Umum, Dewan Formatur ; Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PII),  Periode 2017-2020
HardiknasPelajar Islam Indonesia (PII)
Comments (0)
Add Comment