# Oleh: Salim A. Fillah
HAKIKAT perniagaan di negeri ini sering saya gambarkan dalam cerita tentang seorang pengusaha kecil yang memiliki produk, katakanlah keripik ubi. Untuk dapat masuk ke sebuah supermarket besar, produk ini harus melewati sekian uji-saring ketat, dari kualitas hingga kemasan. Dan akhirnya iapun diterima, terpampang agak tersembunyi di salah satu sudut raknya.
Tapi sistem pembayaran keripik ubi itu adalah konsinyasi; tiga bulan dipajang baru dihitung berapa yang laku. Laporan bisa diambil sekaligus sisa barang. Lalu pembayaran tunai baru akan diterima secepat-cepatnya sebulan kemudian. Total perlu waktu empat bulan bagi pengusaha kecil untuk mendapatkan hasil usahanya, dengan catatan kalau laku.
Tapi kalau si pemilik usaha amat kecil pengolah ubi ini, pada saat menyetorkan dagangannya hendak beli beras atau gula di supermarket itu, bisakah ia minta dihitung nanti dari hasil dagangannya? Tidak! Dia harus membayar tunai. Saat itu juga.
Inilah tata ekonomi, di mana orang miskin membiayai orang kaya. Pemilik usaha kecil itulah yang menopang bisnis para pemodal besar supermarket.
Maka kita selalu bahagia pergi ke pasar tradisional, karena kita akan menemukan nilai-nilai yang amat mahal. Saking mahalnya, 500 orang terkaya di dunia versi Forbes bersekutupun takkan sanggup membelinya.
Tempo hari, terlihat di Pasar Prawirotaman Yogyakarta, seorang ibu penjual bawang merah dan putih yang asyik mengupasi sebagian dagangan yang sudah keriput kulitnya. Tak banyak yang disandingnya, hanya setampah kecil sahaja.
Lalu seorang lelaki yang lebih muda, sambil tersenyum ke sana kemari menjajakan pisang satu lirang saja, yang dilihat keadaannya memang hanya akan bagus kalau dimakan hari ini segera. Besok tidak.
Dan tetap asyik dengan pisaunya, sang ibu mendongak, lalu berkata dengan tawa ringan yang memamerkan giginya, “Tolong pisangnya gantungkan di cantelan motorku itu ya Dik, ini uangnya ambil ke sini.”
“Ya Mbak, lima ribu saja buat Njenengan.”
Maka ketika Si Mas usai menaruh pisang itu, sang ibu menyumpalkan tiga uang lima ribuan ke tas plastik si Mas yang berisi jajanan ketika dia mendekat.
Semula lelaki itu tak menyadarinya, tapi setelah berjalan beberapa langkah dia kembali. “Weh, kebanyakan Mbak”, katanya.
“Tidak apa-apa, buat jajan anakmu lho Dik. Lagi pula pisang segini banyak ya ndak mungkin 5.000 to.”
“Ndak. Memang segitu harganya Mbak. Jajannya juga sudah ada kok ini.” Lalu uang itu dikembalikannya.
Tak mau kalah, Si Ibu segera menyusul Si Mas yang berlari. Memasukkan lagi uang lebihan 10.000 itu ke tas plastiknya. Si Mas tersenyum geleng-geleng kepala. Lalu dengan penuh kesopanan, dia pamit pergi.
Siang hari ketika Si Ibu hendak pulang, seorang pedagang bakso menghampirinya. “Ini mbak, baksonya.”
“Lho saya tidak pesan itu?”
“Lha tadi Mase penjual pisang yang memesankan itu. Terus dia bilang diracik sama ngasih-kannya nanti saja kalau Njenengan mau pulang.”
“O Allah… Rejeki. Sembah nuwun Gustiiii…”
Adakah engkau temukan di tempat belanjamu orang saling berebut untuk membahagiakan sesamanya seperti ini?
Ah, mungkin sesekali kau perlu pergi ke pasar yang kau lihat becek dan sumpek itu. Sebab di sana ada yang tak dapat kau beli dengan harta, tapi dapat kau rasakan mengaliri hatimu dengan sejuta haru dan makna.
Mari beralih ke pasar tradisional, dan menjadi kaya bersama-sama, bukan memperkaya yang sudah super kaya. (*)
Penulis buku-buku Islam.
Sumber: Kanigoro.com