YOGYAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII), Rafani Tuahuns, menyampaikan catatan kritis atas kinerja Menteri Nadiem Makarim di Periode kedua Presiden Joko Widodo. Hal itu disampaikan Rafani dalam sambutannya pada acara pelantikan Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia Yogyakarta Besar, di Kaliurang, Sleman, Jumat (16/4/2021).
Menurut Rafani, ada tiga hal mendasar yang menjadi catatan khusus atas kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang dipimpin oleh Nadiem Makarim. Kesatu, ketimpangan pendidikan yang terjadi di Indonesia.
“Hal pertama yang menjadi catatan khusus dalam kinerja Mas Menteri Nadiem Makarim, adalah soal ketimpangan pendidikan yang belum teratasi hingga saat ini. Di tengah Pandemi Covid-19, selain krisis ekonomi dan kesehatan, sektor pendidikan juga mengalami krisis yang memprihatinkan. Kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan Kebijakan Bantuan Kuota Belajar memang patut diapresiasi, namun kebijakan itu justru membuka ruang ketimpangan,” terang nakhoda PB PII itu dalam sambutannya.
“Kelompok masyarakat kota dan masyarakat menengah ke atas ekonominya, memang mendapat fasilitas belajar yang baik dengan adanya ruang digital yang terjamin. Namun, kelompok masyarakat menengah ke bawah dan masyarakat di pelosok negeri, justru mendapat ketidakadilan. Akses internet, akses jaringan, akses belajar, menjadi kendala utama, sungguh sangat memprihatinkan,” tegas Rafani.
Rafani Tuahuns juga menerangkan hasil riset dari ISEAS-Yusof Ishak Institut yang dirilis pada 21 agustus 2020. Hasilnya menggambarkan ketimpangan nyata di dunia pendidikan Indonesia selama musim pandemi Covid-19.
“Hasil Riset itu menyebutkan bahwa hampir 69 Juta siswa kehilangan akses pendidikan dan pembelajaran saat pandemi. Riset tersebut juga menemukan hanya 40 % orang Indonesia memiliki akses internet, artinya masih 60% yang belum terakses. Data ini membuka mata kita, bahwa kebijakan Mas Menteri justru belum menyentuh seluruh masyarakat pelajar. Ketidakadilan ini, membuka ruang ketimpangan. Jika sudah timpang, maka pembanguan Sumber Daya Manusia Indonesia jauh dari harapan,” jelas Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tadulako itu.
Masih dalam sambutannya, Ketua Umum PB PII asal Sulawesi Tengah tersebut menjelaskan catatan kritis kedua. Bahwa residu dari ketimpangan pendidikan itu kemudian menjadikan Pendidikan Indonesia dalam keadaan darurat. Salah satu variabel darurat pendidikan adalah angka putus sekolah anak Indonesia. Data dari Bappenas tahun 2020, bahwa angka putus sekolah anak Indonesia berada di angka 6% atau 4,3 juta anak Indonesia putus sekolah.
“4,3 juta angka putus sekolah anak Indonesia ini menjadi gambaran kritis wajah pendidikan kita, padahal amanat Konstitusi menjamin pendidikan setiap anak Indonesia. sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945, bahwa setiap warga negara wajib mengikuti Pendidikan Dasar dan Pemerintah Wajib membiayainya,” jelas Rafani.
“Ini amanat konstitusi, negara wajib membiayai Pendidikan Dasar setiap anak Indonesia. Jika tidak, maka negara yang kewenangannya ada di Kemendikbud harus bertanggung jawab penuh,” imbuhnya lagi.
Hal ketiga yang ia ungkapkan dalam sambutan tersebut adalah rencana Peta Jalan Pendidikan (PJP) Indonesia 2020-2035 yang ternyata dalam visi PJP itu tidak ditemukan frasa agama di dalamnya.
“Kemana arah pendidikan Indonesia jika PJP itu tidak menggunakan frasa agama di dalamnya? Jika itu disahkan dan nilai-nilai agama tidak menjadi pondasi pendidikan Indonesia, ini ambang kehancuran pendidikan negeri,” ungkap putra asli Banggai kepulauan tersebut.
“Kita apresiasi Peta Jalan Pendidikan itu dibuat, namun setelah dikaji, PJP itu sangat terlihat orientasi pasar atau industry oriented. Dalam agama tidak menafikan hal itu, namun bukan berarti pendidikan yang diarahkan ke ruang industri menjadi hal utama, itu bahaya,” tegasnya.
“Harusnya agama tetap menjadi pondasi utama pendidikan Indonesia, hal itu juga amanat Konstitusi. Pasal 31 UUD 1945 dalam ayat 3, bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelanggarakan satu Sistem Pendidikan Nasional, yang meningkatkan Keimanan dan Ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. ini jelas amanat Konstitusi,” terang putra kelahiran 22 september 1993 itu.
Tokoh Pimpinan Nasional PII tersebut menjabarkan lebih fundamental lagi, bahwa Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara, telah menegaskan sila pertama ketuhanan Yang Maha Esa, maka menurutnya tidak boleh ruang pendidikan Indonesia sebagai terputus dari nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan.
“Dari tiga hal mendasar yang menjadi catatan khusus tersebut, kondisi pendidikan kita berada dalam kondisi darurat, dan Kemendikbud masih belum mampu menjawab ketimpangan pendidikan yang terjadi, dan rancangan peta jalan mendidikan yang menjadi arah pembangunan manusia Indonesia justru sangat mengkhawatirkan. Maka kinerja Mas Menteri Nadiem Makarim sudah saatnya dievalusi secara besar-besaran. Rakyat yang langsung mengevaluasi, dan Pak Presiden juga punya kewenangan mengevaluasi kineja menterinya” terangnya di hadapan undangan pelantikan Pengurus Wilayah PII Yogyakarta Besar.
Dalam kesempatan itu, hadir pula secara online Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hadir secara langsung juga Nurhuda mewakili Kanwil Kementrian Agama Provinsi DIY, pimpinan ormas pemuda Islam dan tamu undangan. Proses pelantikan PW PII Yogyakarta Besar berlangsung khidmat dan dilanjutkan dengan Diskusi Publik bersama para pimpinan organisasi kepemudaan se-DIY. (*/Kanigoro)